Asas Pemikiran Pancasila
(Suatu Tinjauan Filosofis menurut Driyararkara)
A. Pendahuluan
Salah satu pertanyaan pokok yang
perlu dijawab adalah mengapa kita perlu pancasila sebagai pedoman hidup
sehari-hari? Apa perlunya berbicara mengenai Pancasila? Apa relevansinya? Apa
gunanya? Jawaban atas pertanyaan ini terkait dengan paham yang selama ini saya
anut bahwa Pancasila dipandang sebagai ideologi bangsa Indonesia dan acuan bersikap
dalam kehidupan sehari-hari. Tampak sekali di sini bahwa pancasila bukan melulu
menyangkut persoalan praksis/ teknis saja. Oleh karena itu, di sini kita akan memperluas cakrawala pemahaman
mengenai segi fundamental Pancasila yang mendasari norma-norma konkret yang di
tataran praksis.
Tidak bisa disangkal bahwa berbagai
masalah dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sebagian besar bersumber dari
kesalahan kaprah terhadap
Pancasila. Pancasila seringkali dijadikan alat politik ketimbang sebagai ideologi yang segi
hakikinya lahir dari human nature
masyarakat Indonesia sendiri. Di lain pihak, pemahaman terhadap Pancasila itu
sendiri masih begitu dangkal. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan masyarakat
mudah ikut arus dan berperilaku berakarkan pada kedangkalan pemahaman tersebut.
Dengan alasan-alasan demikian tak dapat dielak jika Pancasila mengalami
kejenuhan.
Barulah mulai tahun 1966 tersebar
kerinduan yang maha luas untuk memurnikan Pancasila. Kerinduan ini dipicu oleh
Gerakan 30S/PKI yang sarat dengan peristiwa polemik politis. Kerinduan tersebut tampak konkret dalam
Pembentukan Front Pancasila, Simposium Kebangkitan Semangat ’66, Menjelajah
Tracee Baru, dan sidang MPRS[1].
Adapun yang menjadi inti kerinduan tersebut adalah bahwa kehidupan kenegeraan
dan kebangsaan haruslah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dari manakah kita
memulai perubahan tersebut?
Menurut penulis, obat mujarab untuk
mengatasi krisis atau alienasi nilai-nilai luhur Pancasila itu adalah pembenahan
cara pandang dan perilaku hidup secara fundamental dan radikal dari manusia
Indonesia. Di butuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup yang baru yang tidak
hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara
keseluruhan. Artinya dibutuhkan cara pandang yang murni dan fundamental yang menuntun masyarakat
Indonesia dalam kehidupan Negara RI.
Terkait dengan hal itu,
kaidah-kaidah pemikiran yang jernih tentang Pancasila pada era ini dapat
ditemui dalam kecakapan berfilsafat seorang Driyarkara. Dia mampu membedah
Pancasila dengan disiplin analisis filosofis
yang ketat. Dalam tulisannya yang bertema “Pemikiran Pancasila Sesudah
1965”, ia mengumpas tuntas dan menyerambahi ruang Pancasila dengan
pertanggungjawaban yang rational-filosofis.
Untuk itu, dalam makalah ini penulis banyak menyadarkan diri pada
pandangan Driyakara tersebut dalam menganalisis Pancasila dalam dinamikanya
pada era sekarang. Namun, penulis menyadari gagasan Driyarakara mengenai
Pancasila amat luas dan kaya sehingga sulit dijangkau secara komprehensif. Oleh
karena itu dalam tulisan ini, penulis hanya menaruh perhatian pada sub tema
tentang “Pancasila dan Pedoman Hidup Sehari-Hari”(pernah dimuat sebagai 11 seri
tulisan dalam majalah Hidup Katolik,
edisi 5 Juni 1966-28 Agustus 1966).
Adapun tulisan ini dimulai dengan pendahuluan. Kemudian mengangkat soal
profile seorang Driyarkara. Disusul dengan situasi atau konflik-konflik yang
menandai gagasan dan praksis Pancasila dan analisis-analisis Driyarkara
mengenai isi sikap Pancasila yang terkandung dalam lima sila. Pada bagian
terakhir, penulis mengemukakan relevansi dan refleksi kritis dari judul yang
diangkat dalam tulisan ini.
B. Latar Belakang Driyarkara
1. Riwayat Hidup
dan Pendidikan[2]
Drijarkara lahir
di lereng pegungungan Menoreh, tepatnya di desa Kedunggubah, kurang lebih 8 km
sebelah timur Purworejo, Kedu, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juni 1913. Ia diberi
nama Soehirman. Saat kecil, ia lebih sering dipanggil Djenthu; yang berarti
kekar dan gemuk. Baru ketika masuk
novisiat SJ di Girisonta, Djenthu menamakan sendiri dirinya: Drijarkara.
Semula Drijarkara
bersekolah di Volksschool dan Vervolgschool di Cangkrep. Itu semua
harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Pada tahun 1929, Drijarkara masuk
Seminari Menengah di Yogyakarta. Setelah tamat ia melanjutkan pendidikan calon
imamnya dengan bergabung ke SJ. Ia menempuh dua tahun masa Novisiat (St.
Stanislaus Kostka, Girisonta) kemudian satu tahun masa Yuniorat: belajar bahasa
Latin, Yunani Kuno serta sejarah kebudayaan Timur dan Barat sebagai persiapan
studi filsafat. Sesudah itu selama tiga tahun (1935-1941) ia belajar filsafat
pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang waktu itu disebut Ignatius
College.
Sesudah tamat studi filsafat ia menjadi guru
bahasa Latin dalam program humaniora di Girisonta selama satu tahun. Ia belajar
kesusateraan Barat dan Timur. Selama di Girisonta ini, dalam bulan Maret 1942
ia mengalami masa-masa penyerahan tanpa syarat pemerintahan Hindia Belanda
kepada Bala Tentara Jepang. Antara tahun 1942-1943 ia belajar teologi di
Xaverius College Muntilan yang akhirnya pada tahun yang sama sekolah ini
akhirnya ditutup oleh Jepang. Driyarkara
sempat tinggal di beberapa waktu di Mendut dekat candi Borobudur. Dari situ, ia
dipanggil ke Yogyakarta berhubung para misionaris Belanda termasuk dan
dosen-dosen filsafat harus masuk interniran (tahanan kolonial). Driyarkara yang
adalah seorang pribumi harus
menggantikan peran mereka sebagai dosen filsafat di Seminari Tinggi. Sementara
itu, ia banyak belajar sendiri teologi sebagai persiapan untuk ditahbiskan. Ia
ditahbiskan pada tanggal 6 Januari 1947 oleh Mgr. Soegijapranata SJ. Drijarkara
melanjutkan kembali studi teologi pada 1947-1949 di Maastrich, Belanda. Kemudian pada 1950-1952
ia diutus untuk studi filsafat di Pontificia
Università Gregoriana, Roma dengan disertasi ‘Peranan Pengertian Partisipasi
dalam Pengertian Tuhan Menurut Malebranche.”[3] Ia meninggal dunia di RS Carolus, Jakarta pada 11 Februari 1967 karena sakit dan dimakamkan di Tanah
Abang, kemudian dipindahkan ke kompleks pemakaman “Getsemani” di Girisonta,
Jawa Tengah. Meski meninggal pada usia yang tergolong muda, 53 tahun, ia
menyumbangkan gagasan berharga bagi bangsa Indonesia dan kemanusiaan pada
umumnya.
2. Riwayat Pekerjaan:
Drijarkara dikenal
sebagai imam, filsuf, dosen, guru besar, pengisi pidato radio RRI, dan pejabat
pemerintahan. Secara kronologis, riwayat pekerjaannya ialah:
1955-1967 Pendiri
dan rektor FKIP Sanata Dharma
1960-1967 Dosen
filsafat di Universitas Indonesia, Universitas Hassanudin Makassar dan St Louis
University di Amerika Serikat
1962-1967 anggota
MPRS fraksi Golongan Karya
1965-1966 angggota
DPA
1969 piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian, dan Ilmu
Pengetahuan dari Mendikbud
1999 anugerah Bintang Jasa Utama dari presiden RI, B.
J. Habibie
C. Konflik-Konflik Mengikuti Gagasan dan Praksis Pancasila
Agar
mempunyai pemahaman yang jelas tentang pandangan filosofis Driyarkara mengenai
Pancasila, baiklah kita mengenal situasi umum Indonesia saat itu. Lantas yang
menjadi pertanyaan pokok adalah manakah motivasi Driyarkara untuk membangun
pemahaman filosofis mengenai Pancasila pada saat itu?
Pada
tahun 1966 tersebar kerinduan akan pemurnian Pancasila baik dalam pemikiran
maupun pengaktualisasianya. Praktik-praktik kenegaraan dan kehidupan
kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah mendorong
dilakukannya perubahan-perubahan yang tidak saja mendasar tetapi juga
menyeluruh dalam tata kehidupan bangsa dan negara RI. Perubahan itu tidak hanya
di bidang ideologi dan politik tetapi juga di bidang-bidang lain yang berkaitan
dengan masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial budaya[4].
Ada
sekurang-kurangnya dua alasan substansial yang dapat menerangkan munculnya
kerinduan untuk pemurnian Pancasila. Pada prinsipnya alasan-alasan tersebut
sangat kompleks dan saling kait mengait sehingga tidak bisa disederhanakan
begitu saja. Misalnya tidak bisa dikatakan bahwa alasannya adalah kepentingan
politik Orde Lama.
Alasan
pertama yang mungkin munculnya semangat kembali kepada Pancasila adalah
ketidakpuasan dan kekacauan di bidang politik. Pada era sebelum tahun 1966,
masyarakat Indonesia terkotak-kotak dalam pemisahan politik ideologis, yang
berhadapan sebagai lawan politik. Suasana revolusioner, pertentangan antar
kelas dan ganyang-menggayang antar-kekuatan politik atau kelompok dalam
masyarakat[5].
Yang
paling membahayakan adalah menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam
masyarakat. Komunis tidak pernah merupakan salah satu paham politik biasa,
melainkan ideologi yang mencari kekuasaan eksklusif. Lenin, seorang komunis,
secara eksplisit menolak demokrasi. Ia mendasarkan kekuatan mutlak pada teori
tentang “kediktatoran prolektariat”. Dengan demikian, partai-partai komunis di
seluruh dunia dianggap tidak termasuk kekuatan-kekuatan demokratis. Dengan kata
lain, kaum komunis sejak semula disadari sebagai suatu bahaya, suatu kekuatan
yang dikendalikan dari jauh, yang dengan segala caranya sendiri berusaha untuk
mengarahkan perkembangan masyarakat ke tujuan komunisme[6].
Dengan
tujuan yang demikian, menjadi jelas bahwa indoktrinasi adalah bagian yang tak
terpisahkan dari strategi komunisme. Indoktrinasi, sebagaimana yang dipandang
Driyarkara adalah menyebabkan
pikiran sempit, mengurangi kemampuan dan selera berpikir kritis, menyebabkan
berpikir dengan skablon (sablon) dan lama-kelamaan menyebabkan depersonalisasi[7].
Indoktrinasi juga tidak lain
adalah perkosaan human mind[8]. Inilah yang menjadi sasaran “celotehan” kritis
Driyarkara yang mengakui paham humanisme yang religius dan sosialistis.
Alasan
kedua yang mungkin adalah kelemahan lembaga kepemerintahan. Ada sinyalemen yang
memperlihatkan bahwa sejak pasca
kemerdekaan, kharisma Pancasila sebagai ideologi negara mencapai ambang
kejenuhan. Sebab Pancasila lebih dominan
dipandang sebagai alat politik oleh kaum elite negara untuk membentuk taktik politis, seperti
misalnya hanya sebagai alat pemersatu, yang membawa konsekuensi bila Indonesia
telah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Kebanyakan orang juga memandang
Pancasila hanyalah sampai taraf legal formal saja , tetapi tidak dalam praktik
sehari-hari[9].
Kelemahan
kepemerintahan itu juga terlihat nyata dalam acara gonta-ganti sistem ketatanegaraan.
Demokrasi Parlementer yang menjenuhkan beralih ke Demokrasi Terpimpin ternyata
hasilnya sama saja. Tidak ada perubahan
yang substansial dalam kehidupan negara RI. Selain itu, korupsi dilembaga
pemerintahan menjadi borok yang
menebarkan isu tak sedap bagi negara yang masih belia karena baru saja merdeka. Driyarkara menjuluki korupsi sebagai
“penyakit”. Tentu saja, jika mengharapkan berdirinya suatu negara yang sehat,
syarat yang paling mutlak adalah pemberantas penyakit ini[10].
Kurang
lebih dua alasan ini tersebut
menjadi biang dari penyimpangan terhadap Pancasila. Penyimpangan tersebut dalam
pandangan Driyarkara disebut sebagai deviasi. Driyarkara menggolongkan deviasi
menjadi tiga bentuk, yakni pengurangan, penambahan, dan penggantian
(substitusi). Deviasi pengurangan, misalnya Pancasila dikatakan hanya sebagai
alat pemersatu saja, sedangkan deviasi penambahan di dalam Pancasila terkandung
dalam Nasakom (Nasionalisme, agama, dan Komunisme). Adapun deviasi
substitusi terjadi kalau orang mengganti
arti-arti dari Pancasila.
Dengan demikian, dua alasan tersebebut
tidak menutup kemungkinan adanya sebab-sebab lain yang menjadi asal gairah munculnya pemahaman filosofis Driyarkara
mengenai Pancasila. Penulis hanya melihat dua situasi ini menjadi unsur dominan
dalam percaturan politik kala itu. Sebab
lain itu bisa menyangkut keprihatinan pribadi seorang Driyarkara yang
tidak bisa diterangkan pada bagian ini.
D. Kodrat Manusia sebagai Dasar Pancasila
Pancasila dalam pandangan Driyarkara
melekat pada keberadaan manusia atau pada kodrat manusia. Untuk menguraikan pandangannya
tentang Pancasila, Driyarakara terlebih dahulu menyelidiki tentang kodrat
manusia. Ada dua pertanyaan pokoknya mengenai kodrat manusia, (mengikuti Max
Scheller) yaitu apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam
realitas? Menurut Driyarakara, Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat
sebetulnya merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut[11].
Dia
membuka renungannya dengan menanyakan diri sendirinya sendiri, di manakah dia
sekarang berada? Maka dia akan menjawab saya berada di ruang kuliah di Perguruan Tinggi di
Yogyakarta. Di mana Yogyakarta itu? Di pulau Jawa. Di mana Pulau Jawa itu? Di
Indonesia. di manakah Indonesia itu? Di Asia. Di manakah Asia itu? Di bola
dunia. Jadi keberadaan saya itu ada bersama dengan dunia jasmani. Bagaimanakah
keberadaan saya dengan dunia jasmani itu? Dia menjawab, saya memasuki dunia
jasmani itu dan menjadikannya bagian dari diriku atau saya mendunia dan
sekaligus memanusiawikan dunia jasmani itu. Kegiatan ini disebut membudaya yang
menghasilkan kebudayaan. Hanya dalam dan
dengan membudayakan alam jasmani manusia bisa membudayakan diri sendiri.
Sila-sila Pancasila sebenarnya merupakan hasil pembudayaan manusia dan
memanusiakan diri dan memanusiakan dunia jasmani itu[12].
Renungan berikutnya mengenai
keberadaan saya bersama dengan orang lain. Dia mengatakan bahwa menurut ilmu
jiwa eksperimental reaksi pertama-tama anak kecil adalah reaksi spesifik
manusiawi yaitu reaksi terhadap suara manusia. Hal itu juga dapat dilihat dalam
hal bahasa. Dalam bahasa dapat dilihat bahwa manusia itu menurut strukturnya
adalah untuk ada bersama. Dengan membahasa orang keluar dari dirinya sendiri
dan memasuki orang lain. Hal ini tampak juga dalam kesadaran manusia. Sadar
berarti mengaku, yang artinya menghadapkan diri. Menghadapkan diri ini tidak
kepada diri sendiri tetapi kepada orang lain. Jadi kalau saya sadar dan
mengatakan aku berarti mengandaikan adanya kamu. Maka mengaku sekaligus
mengkamu dalam situasi dialog yang sekaligus mengkita. Jadi menurut strukturnya ada saya itu ada bersama manusia lain yang
dasarnya cinta kasih. Memang saya bisa membenci orang lain, tetapi benci
sebenarnya negatif cinta kasih. Maka menurut kodratnya ada saya bersama manusia
lain dasarnya cinta kasih, yang kalau dipandang secara umum akan menjadi kemanusiaan. Kemanusiaan atas cinta
sesama ini menjiwai setiap bidang kehidupan manusia. Cinta sesama dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan melahirkan keadilan
sosial, dalam kehidupan sosial politik akan melahirkan demokrasi, dalam hidup berkelompok akan melahirkan kebangsaan, dan yang terakhir saya sadar
bahwa saya ini serba terbatas dan serba tergantung, maka tak mungkin saya
merupakan sebab dari ada saya sendiri. Tentu saya berasal dari ada yang tidak
terbatas yaitu Tuhan sendiri. Jadi
cinta sesama itu cinta yang terbatas yang berasal dari cinta tidak terbatas
yaitu Tuhan[13].
Demikianlah pada bagian ini menjadi
jelas bahwa Pancasila menurut Diryarkara tidak lepas dari kodrat manusia.
Inilah kebanggaan dia bahwa di Negara Indonesia hukum kodrat itu dirumuskan
untuk pertama kalinya sebagai Dasar Negara dan dengan tepat dia menyebut
Pancasila itu sebagai rumusan kodrat manusia dalam semesta realita. Jadi,
barangsiapa mengakui keberadaan manusia dia sekaligus mengakui Pancasila.
E. Proses Lahirnya Pancasila
Kurang
lebih Driyarkara menguraikan proses terbentuknya Pancasila seperti berikut ini. Pertama-tama, Pancasila dipungut dari realitas. Manusia dan
memikirkan dan merefleksikan realitasnya. Kemudian lahirlah suatu pengertian
atau suatu cara berpikir (idea, ideologi). Lantas, manusia berikhtiar untuk
menggunakan pengertian (ideologi) itu sebagai “direction” dalam hidup
sehari-hari. Dengan kata lain, pengertian tersebut menjiwai dinamika hidup
manusia dan melahirkan sikap dan
kesiap-siagaan (ready for action)[14].
Guna
memperjelas hal tersebut, Driyarkara memperlihatkan suatu contoh sederhana
dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan, Amin mau mengendarai motor. Paling
dasar, ia harus mempunyai pengetahuan tentang motor dan cara mengendarainya.
Mengenai cara starter, mengendara di
jalan rata, tikungan, dsb., pengaturan mesin, gigi, gas, dsb. Setelah itu,
pengertian itu dia jadikan sebagai ”direction”
ketika sedang mengendarai sepeda motor. Contoh tersebut memperjelas bahwa
Pancasila dipungut dari realitas bangsa Indonesia, sekaligus menjiwai dinamika
kehidupan bangsa Indonesia. Namun, patut dicatat bahwa realitas yang dimaksud
Driyarkara adalah keadaan(realitas) yang terjadi sekarang dan realitas yang
harus berkembang. Untuk sederhananya, kita paham dalam kalimat, “padi sudah
mulai menguning”. Di situ terkandung realitas sebagai adanya dan apa yang masih
akan terjadi[15].
Jadi, Pancasila yang telah dipungut dari realitas tersebut harus pula menjiwai
semua tingkah laku dan sifat-sifat dari subjek kelompok dan individu dalam
kehidupan praktis dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi[16].
Dengan demikian, Pancasila formal
perlu ditransfomasikan dalam hukum kenegaraan, ideologi bangsa, dan moral pribadi. Akan tetapi,
Driyarkara tidak membahas secara mendetail tentang bagaimana Pancasila itu
diturunkan ke dalam hukum kenegaraan, ideologi, dan moral bangsa. Di sini, dia hanya menekankan asas-asas dasar
pemikiran mengenai norma hukum, ideologi, norma moral yang dapat dijadikan tolak ukur untuk
mempertanggunjawabkan setiap sikap dan tindakan di hadapan Pancasila.
E. Asas-Asas Dasar Sikap Pancasila sebagai Pedoman Hidup
Sehari-Hari
Kurang
lebih permasalahan tentang Pancasila adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu
secara tepat dan benar, sehingga betul-betul mampu mengangkat manusia sesuai
dengan harkat dan martabatnya. Driyarkara sendiri terkesan kurang
berminat dalam persoalan proses tersebut. Namun, Driyarkara memberikan pisau
bedah bagi kita sehingga mampu mengenal dan memberikan pertanggungjawaban
rational-filosofis mengenai Pancasila. Untuk itu, persoalan yang pokok untuk
kita adalah manakah tuntutan kodrat manusia (human nature) itu dalam pandangan
Driyarakara?Apakah tuntutan kodrat tersebut ada dalam Pancasila?
Akan tetapi sebelum mendalami isi
dan pertanggunjawaban filosofis dari semua tersebut, baiklah kita mencerna
humanisme terlebih dahulu. Sebab keseluruhan isi sikap Pancasila jika secara
padat dikatakan sebagai usaha menghumanisasikan manusia Indonesia. Humanisme
itu sendiri berarti pandangan atau pendirian yang melihat dan mengakui bahwa
manusia itu adalah makhluk yang mempunyai struktur sendiri di dalam dunia ini
dan karenanya harus menuju ke status dan cara hidup yang sesuai dengan struktur
itu[17].
Di sini tersirat dengan sendirinya suatu penolakan terhadap segala tindakan
bersifat inhuman.
Menurut Driyarkara humanisme Pancasila yang dianut oleh bangsa
Indonesia memiliki kekhasan dari bangsa-bangsa lain. Kekhasan itu terletak pada
sifat religius dan sosialistisnya. Sifat
religius dari humanisme tersebut tampak dalam kenyataan dalam masyarakat
Indonesia yang mengakui Tuhan, meskipun di luar agama. Humanisme religius ini
menutup ruang bagi humanisme yang ateistis yang mana keberadaan Tuhan
dimungkiri sama sekali dan sikap fanatik agamis[18].
Sedangkan sifat sosialistis
memandang bahwa manusia hendaknya menyempurnakan, menghumanisasikan,
memperkembangkan dirinya sendiri menurut tuntutan kodratnya. Jika demikian,
maka humanisme menuntut struktur masyarakat yang sedemikian rupa sehingga tidak
timbul macam-macam struktur yang menyebabkan manusia yang satu dijadikan alat
oleh yang lain[19].
Namun patutlah kita tetap mencatat
bahwa isme itu sendiri berarti soal
perjuangan[20].
Dengan perkataan lain, humanisme itu sendiri masih, sedang dan akan
diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia dibawah panduan Pancasila.
Pandangan Driyarkara mengenai kodrat
manusia (humanism) tersebut menjadi
titik tolak untuk menarik benang merah dari kelima sila dalam Pancasila.
Pertama, perlu diulangi lagi bahwa berdasarkan human nature manusia ada
bersama dengan orang lain (bukan individu). Adaku bersama dengan ada orang lain
berarti membangun kebudayaan bersama, membangun rumah tangga bersama untuk
keluarga dunia. Dasar untuk membangun kebudayaan bersama ini adalah cinta
kasih. Cinta kasih dalam kesatuan dengan sesama pada umumnya disebut Perikemanusiaan.
Perikemanusiaan dalam sila Pancasila
juga mengandung arti untuk membangun keluarga yang meliputi seluruh bangsa
manusia. Sangat wajar jika Pancasila mengakui internasionalisme sebagai
konsekuensi dari kesatuan berdasarkan
human nature. Untuk itu,
bangsa-bangsa tidak boleh mengisolir diri, keterlibatan dalam keluarga bangsa
manusia tidak boleh dimotivasi oleh faktor untung-rugi, dan terlibat aktif dalam memajukan persaudaraan
dunia.
Kedua, perikemanusiaan berarti
manusia harus memandang orang lain bernilai pada dirinya sendiri sehingga tidak
boleh diperalat atau diperkuda demi kepentingan orang lain, maka prinsip ini
menuntut pemerataan milik/ kekayaan. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui
regulasi struktur masyarakat dan perekonomian yang menjamin kehidupan layak dan
berkembangnya bakat-bakat manusia baik jasmani maupun rohani. Penjelmaan
perikemanusiaan dalam sektor ini disebut keadilan
sosial[21].
Ketiga,
apakah yang dapat menjamin berlangsungnya keadilan sosial tersebut? Menurut
Driyarkara, negara Indonesia adalah suatu subjek
besar yang merupakan gabungan dari person-person. Sebagai suatu subjek yang
dibentuk oleh person bukan individu, maka dalam kehidupan negara Indonesia
rakyat harus dipandang sebagai person yang perlu dihargai sebagai tujuan pada
dirinya sendiri. Driyarkara menyebut dalam istilah yang khas bahwa manusia
harus memandang orang lain sebagai saudara.
Lantas untuk dapat berkembang, subjek
besar yang bernama Indonesia membutuhkan organ-organ. Di Indonesia, Driyarkara
menyebut pemerintah sebagai organ yang penting. Pemerintah adalah muncul dari
rakyat (person-person). Karena itu wajib memberikan pertanggungjawaban kepada
rakyat.Untuk menjaga keseimbangan neraca tersebut, Driyarkara menyebut sikap kritik sebagai prasyarat utama. Kealpaan
sikap kritik dengan sendirinya menyingkirkan humanisme. Maka rakyat harus
berani memberikan kritikan kepada pemerintah. Sebaliknya pemerintah tidak boleh
takut dan menganggap sepi saja berbagai kritikan. Hal ini hanya terjadi dalam
sistem Demokrasi. Dengan demikian,
demokrasi dapat menjadi jalan menuju keadilan sosial. Nantinya juga akan
menjunjung tinggi perikemanusiaan itu sendiri.
Keempat, Perikemanusiaan memang
secara de jure mengarahkan kita
kepada keluarga bangsa manusia. Namun de
facto kita hanya dapat membentuk kesatuan, yang ditimbulkan oleh sejarah,
keadaan tempat, keturunan, kebudayaan, peradaban bersama dan lain-lain faktor
dalam kelompok yang lebih kecil. Di dalam kesatuan itu, manusia (kita) mempunyai karateristik guna
menyelenggarakan, merawat, memperkembangkan, menyempurnakan keselamatan orang
lain (sesama). Karakter ini disebut fursorge
(istilah yang dipinjam dari filsafat Heidegger, 1880). Inilah yang dimaksud
Driyarkara sebagai Sikap Nasional
yang tampak dalam kesatuan kelompok yang lebih kecil yang disebut bangsa
Indonesia. Jadi sikap nasional adalah sikap yang menerima kesatuan yang ada
menjadi objek dari fursorge. Maka
yang paling diutamakan adalah keselamatan nasion/bangsa. Di sinilah manusia
menjalankan perikemanusiaan yang konkret.
Kelima, manusia menyadari bahwa
adaku itu ada bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba-tergantung. Jadi adaku itu tidak sempurna, tidak atas
kekuatan sendiri. Ketidaksempurnaan ini terlihat ketika aku (manusia) menyadari bahwa dia muncul, dia
berkembang, dia surut, dia akhirnya bahkan tiap-tiap saat dia bisa mati. Jadi
aku (manusia) bukanlah sumber dari
adaku. Semua hal terbatas justru karena
terbatasnya tidak mungkin sumber adaku, tak mungkin memberikan sumbangan
terakhir. Yang dapat menjadi sumber adaku pada akhirnya hanyalah Ada yang Mutlak, Sang Maha Ada. Sang
Mahaada bukanlah sesuatu, melainkan Pribadi yang Mahasempurna. Itulah Tuhan yang Maha Esa. Adaku yang berupa
cinta kasih itu sebetulnya adakah cinta kasih kepada Sang Maha Cinta Kasih,
Sang Maha Penyayang. Dalam pikiran ini, Driyarkara menemukan dasar adaku
(manusia); jadi : dasar dari perbuatanku (manusia); jadi pelaksanaan Perikemanusiaan, Keadilan sosial, Demokrasi dan Kesatuan bangsa.
Dengan
demikian, sangatlah jelas bahwa Driyarkara menekankan kodrat manusia (ada bersama orang lain) sebagai asas
pemikiran Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila adalah tidak lain daripada
usaha untuk membangun persaudaraan atas dasar cinta kasih.
F. Relevansi Pandangan Driyarakara tentang
Pancasila
Renungan filosofis yang dibuat
Driyarkara untuk menjawab pertanyaan “siapakah manusia itu?” yang mendasari
dalil-dalil Pancasila rupanya masih relevan bagi kita saat ini. Pertama, karena
di Indonesia kita persis selalu menyaksikan
tindak kekerasan dalam berbagai bentuknya. Begitu hampar alasan yang
menyulut berbagai tindak kekerasan tersebut. Masih terekam jelas berbagai
pristiwa tragis yang terjadi, kerusuhan yang disertai penjarahan, penganiayaan
dan pemerkosaan (Mei 1998). Kemudian kekerasan yang terjadi karena konflik
antar-etnis dan antar-agama (Pontianak, Sampit, Poso, Ambon). Aneka gerakan
separatis dan fundamentalisme itu semakin mewabah pada akhir-akhir ini. Tidak hanya itu. Kekerasan terlihat
juga dalam berbagai ancaman terorisme, sikap pemerintah yang masih feodal, dan
kebijakan politik yang masih terkesan pilih buluh. Kenyataan demikian
memperlihatkan bahwa perikemanusiaan yang dibangun atas dasar cinta kasih
sebagai konsekuensi berdasarkan human
nature masih merangkak.
Pandangan Drijarkara bahwa manusia itu makhluk
yang membudaya mengajak manusia semakin menjadi manusiawi dan dengan demikian
menjauhkan diri dari sikap anarkis yang belakangan ini ditimbulkan oleh gerakan
fundamentalisme. Negara Pancasila bukan negara teokrasi, bukan organisasi yang
melaksanakan agama. Maka, sila ketuhanan misalnya tidak boleh direduksi dan
diselewengkan menjadi cara melaksanakan ibadat. Pribadi manusia yang menganut ketuhanan
tidak menyerang orang beragama lain, sebab ada kodrat ilahi dalam pribadi
manusia. Berkaitan dengan sila kemanusiaan,
manusia tidak boleh dijadikan sebagai obyek, terutama dalam bidang
ekonomi, kita diminta untuk tidak melihat orang lain hanya sebagai alat
penghasil suatu produk, tetapi melihatnya sebagai person, sebagai subyek (yang lain). Maka, setiap pemilik faktor
produksi diminta memperlakukan tenaga kerjanya sebagai subyek atau sebagai
rekan kerja. Melalui Pancasila, Drijarkara mengajak manusia memandang
dimensinya secara utuh/tidak secara parsial, serta menjauhi dehumanisasi.
Kedua, sulit disangkal bahwa korupsi
masih menjadi penyakit kronis yang dialami bangsa ini. Hal tersebut karena
beberapa faktor kondisional. Pertama, para warga negara ini umumnya sudah
terjebak pada nilai dan orientasi yang mengagungkan harta dan kemewahan materi.
Kedua, negara ini sudah terperangkap oleh sistem kekuasaan dan politik yang
berbasis pada materi[22].
Entah bagaimanapun bentuk dan jenisnya, sudah pasti korupsi mencerminkan
situasi ketidakadilan sosial. Korupsi menggambarkan sikap feodal yang tidak mau
mempertanggungjawabkan segala hal yang berhubungan dengan urusan publik. Selain
itu, terungkap pula tindakan “pengisapan” terhadap orang lain demi tujuan
pribadi, kelompok ataupun golongan. Driyarakara pernah menghimbau bahwa jika
ingin menyehatkan negara ini, kita perlu
mengobati penyakit ini secara radikal.
Memang
masih begitu banyak tersebar fakta sosial yang memperlihatkan terjadi deviasi
terhadap Pancasila. Pada pokok relevansi di atas sengaja difokuskan pada soal
kekerasan dan korupsi lantaran persoalan tersebut sangat mendominasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Selain itu, kedua persoalan
tersebut amat menggoncangkan asas-asas pemikiran Pancasila menurut Driyarkara.
Daftar Pustaka
Tony,
Widiastono(ed.). Gereja Katolik Indonesia
Mengarungi Zaman. Jakarta: Gramedia. 1995.
Sudiarja dkk. (ed.). Karya
Lengkap Driyarkara: Esai- Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006.
P.J, Suwarno. Pancasila
Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius. 1993.
Franz,
Suseno. Komunisme (Diktat Sejarah
Pemikiran Modern)
Laode ida, “Korupsi, Reformasi, Kekuatan Politik?”
(Kompas, 15 Desember 2010)
[1]
Tony, Widiastono(ed.), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman,(
Jakarta: Gramedia, 1995) hlm. 166
[2] Selengkapnya, lih. Danuwinata,
dalam Kata Pengantar, KLD xix-xlii
[3] Judul aslinya ialah: Participationis Cognitio In Existentia Dei
Percipienda Secundum Malebranche Utrum Partem Habeat. Malebranche adalah filsuf dan teolog Kristen dari Perancis (1638-1715).
Proyek utamanya adalah menunjukkan partisipasi Tuhan dalam setiap hidup
manusia. Pemikirannya dipengaruhi oleh Descartes dan Augustinus.
[4]
Tony, Widiastono(ed.), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman,(
Jakarta: Gramedia, 1995) hlm. 166
[6]
Franz, Suseno, Komunisme (Diktat Sejarah Pemikiran Modern) hlm.1
[7] Sudiarja dkk. (ed.), Karya Lengkap
Driyarkara: Esai- Esai Filsafat Pemikir yang
Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
) hlm. 885
[9]
Tony, Widiastono(ed.), hlm. 167
[10]
KLD,hlm. 891
[11]
P.J, Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1993) hlm. 89
[12]
Suwarno,hlm. 89
[13]
Suwarno, hlm. 90
[16]
Suwarno, hlm. 107
[17]
KLD, hlm. 886-887
[18]
KLD, hlm. 887
[19]
KLD, hlm. 888
[20]
KLD,hlm. 886
[21]
KLD,hlm. 889-890
[22]
Laode ida, “Korupsi, Reformasi, Kekuatan Politik?” (Kompas, 15 Desember 2010)