1.
Misi
Theophile Verbist di Cina Mongol: Missionaris Eropa dan Imam-imam Cina
a)
Situasi
di Daerah Misi
Dalam bermisi tentu saja seseorang akan
mengalami begitu banyak tantangan. Salah satu tantangan terbesar yang dialami
oleh Theophile Verbist dan kawan-kawan ketika tiba di Cina adalah bahasa. Dalam
berkomunikasi, mereka menggunakan bahasa Latin baik secara tulisan maupun
lisan. Meskipun demikian, tidak semua teman-teman Verbist mampu berbicara fasih
dalam bahasa latin. Salah seorang missionaris yang pandai berbicara bahasa
latin adalah Pierre Lin. Ketika mereka telah tiba di Cina, para imam-imam Cina
memberikan informasi seputar keadan di Cina dan atau kejahatan-kejahatan yang sering
terjadi di daerah misi. Para perampok sering kali mencuri perhiasan-perhiasan
yang ada di Gereja, anggur-anggur dan benda-benda devosi.
Misi di Cina tidak berjalan dengan
lancar karena terjadi konflik antara Imam-imam Cina dan Missionaris Eropa. Verbist
dan kawan-kawan tidak dengan mudah dapat memberikan tanggung jawab kepada
imam-imam Cina karena mereka lebih menghabiskan begitu banyak uang sebagaimana
yang dilakukan oleh setiap orang Cina yang mempunyai uang. Atas dasar itulah
maka Van Segvelt memperingati Verbist dengan menulis sebuah surat dalam bahasa
Prancis yang kemudian diubah dalam bahasa jerman dengan maksud untuk mencegah
apabila surat tersebut jatuh di tangan orang-orang Cina. Isi dari surat itu
adalah: “janganlah memberikan begitu banyak kepercayaan kepada asisten-asisten
kita yang berasal dari Cina. Saya mengetahui bahwa beberapa dari mereka
sungguh-sungguh dapat dipercaya dan saleh, tetapi mereka tetaplah orang Cina
dan yang terbaik dari mereka sekalipun tidak dapat dipercaya. Dan juga,
pengetahuan mereka tentang hukum-hukum kanonik , Kitab Suci dan Teologi
sangatlah minim sehingga bisa membuat mereka salah mengerti dalam menafsirkan
segala sesuatu.” Setelah Verbist dan P. Lin membaca surat tersebut, Lin
mengatakan bahwa ia tidak akan bisa menjawab apabila umatnya bertanya tentang
perintah Allah dan Gereja, dan Van Segvelt kembali membalas surat tersebut:
“Mintalah maka Allah Bapa di Surga akan mengirim lagi Putranya ke bumi untuk
memberikan perintah yang baru kepada orang-orang Cina.”
b)
Konflik
Perasaan
Dalam
sebuah surat yang ditulis pada tahun 1867 kepada Th. Verbist, G. Bray mengklaim
bahwa F. Hamer mengambil dan membakar suratnya yang ditujukan kepada V. Fan
ketika ia masih berada di distrik Heishui. Namun bagi Th. Verbist, alasan G.
Bray ini sama sekali tidak masuk akal karena bagi Verbist, F. Hamer adalah
orang yang suci dan ia tidak mungkin mau
melakukan hal tersebut. Apalagi surat G. Bray sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kehidupan Hamer. Dalam surat tersebut, G. Bray menulis bahwa V. Fan
adalah orang yang selalu membuat permasalahan dan ia tidak layak menjadi
seorang missionaris. Hal tersebut tentu saja ditentang oleh Verbist. Ia
mengatakan bahwa itu adalah fitnah walaupun Verbist juga mengakui bahwa sikap
Fan di seminari sama sekali tidak baik.
Lantas
bagaiman dengan Pierre Lin? Sesuai dengan permintaan Verbist, ia telah
meninggalkan distrik Xiwanzi dan bergabung dengan Verbist pada tanggal 19
november 1866. Pada tanggal 27, beberapa hari setelah kedatangan Lin, rombongan
kedua dari missionaris CICM pun tiba. Mereka merayakan kedatangan ini dengan
berpesta. Namun, dibalik kegembiraan tersebut ada sebuah permasalahan yang
begitu besar. Permasalahan tersebut ditulis oleh Lin dalam sebuah surat yang
ditujukan kepada F. Tagliabue. Lin mengatakan bahwa para missionaris yang baru
tiba mengeluarkan begitu banyak uang sampai-sampai sekarang mereka tidak lagi
mempunyai uang. Masalah ini membuat Verbist bingung dan ia sering kali melamun
bahkan sampai-sampai lupa makan. Prokurator Pierre Zhao hanya mempunyai sedikit
uang, dan uang yang dimilikinya tersebut tidak cukup untuk membayar utang-utang
CICM. Hal tersebut tentu saja sangat mencemaskan bagi anggota-anggota CICM yang
lainnya, sehingga ada yang berpikir untuk meninggalkan CICM. Selain surat
tersebut, Lin juga menulis sebuah surat kepada G. Bray. Lin mengatakan bahwa
Van Segvelt tidak menyukai Guandong dan ingin cepat pindah dari tempat tersebut
serta F. Vranckx telah membuat sebuah masalah dengan imam-imam Cina.
Sebelum
surat-surat tersebut dikirim, Verbist telah lebih dahulu mengetahui isi dari
surat-surat tersebut. Akibatnya, surat-surat tersebut tidak jadi dikirim karena
menurut Verbist, Lin membuat surat-surat yang mencemarkan nama baik orang. Lin
mengakui kesalahannya dan memohon maaf kepada Verbist atas perbuataannya, serta
meminta Verbist agar tidak mengirimkan surat tersebut kepada si alamat. Ia juga
meminta kepada Verbist agar membuat surat rekomendasi karena ia telah
merencanakan untuk meninggalkan vikariat (walaupun kenyataannya ia tidak
meningggalkan Vikariat). Lin memanggil Verbist dengan julukan “Yang Mulia” dan
ia menamakan dirinya sendiri sebagai “Pendosa yang Bertobat”. Verbist
menyanggah julukan ini dan menyuruh Lin untuk mengganti “Yang Mulia” dengan
“Bapa,” karena menurutnya kata itulah yang paling sesuai dengan sikap yang
telah ia berikan baik kepada Lin maupun kepada imam-imam yang lainnya.
2.
Refleksi
atas Misi Th. Verbist dan Missionaris lainnya di Cina
Menjadi seorang missionaris bukanlah sebuah
hal yang mudah seperti yang dialami oleh Th. Verbist dan kawan-kawannya. Dan
tentu saja hal tersebut tidak hanya dialami oleh para missionaris yang bermisi
di Cina. Cina hanyalah salah satu dari sekian banyak tempat yang juga didatangi
oleh missionaris-missionaris lain selain CICM. Tantangan utama yang dihadapi
para missionaris sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian awal adalah
bahasa. Sulit bagi para missionaris untuk mempelajari dengan cepat bahasa suatu
daerah. Padahal, dalam bermisi, bahasa juga merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan keberhasilan sebuah misi. Namun, bagi Th. Verbist bahasa tidak
menjadi halangan baginya untuk mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang
di Cina.
Di dalam matius 28: 16- 20, Yesus
berpesan kepada para muridnya untuk pergi dan jadikan semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Maksud Yesus tentu
saja bahwa misi ini tidak hanya dilakukan oleh para rasul yang pada saat itu
ada dan hidup bersama-sama dengan Yesus, melainkan sabda Yesus tersebut menjadi
relevan bagi siapa saja yang telah dibaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh
Kudus. Yesus sendiri mengatakan bahwa
mengikuti dia berarti siap menjadi
domba yang diutus ke tengah-tengah serigala (Luk 10: 3). Mungkin kita
bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kita terperangkap oleh
serigala-serigala yang siap untuk menerkam kita. Dengan demikian, Yesus sendiri pun mengakui bahwa tidak mudah
untuk menjadi pengikutnya apalagi harus melanjutkan karya keselamatan yang
telah diwartakan oleh Yesus.
CICM mempunyai sebuah orientasi yakni
mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Tentu saja hal ini tidak mungkin
bisa terwujud. Namun dengan memberikan sebuah patokan yang tidak mungkin
tersebut, Missionaris CICM mampu membuat suatu perubahan yang mendatangkan
kebahagiaan bagi sesamanya. Saya secara pribadi sangat bangga menjadi seorang
missionaris khususnya di dalam CICM. Beberapa minggu yang lalu diadakan sebuah
pertemuan antara kami (fratres CICM) dengan provincial. Salah satu hal yang membuat
saya tertarik adalah ketika Pater Provincial kami
bercerita tentang kehadiran imam-imam CICM di kalimantan khususnya di Sungai
Danau. Dikatakan bahwa sebelum paroki tersebut diambil alih oleh CICM, keadaan
disekitarnya kurang baik karena terjadi konflik antara umat di dalam paroki itu
sendiri. Namun, ketika CICM mulai mengambil alih paroki tersebut,
perlahan-lahan situasi kembali menjadi normal dan situasi ekonomi paroki pun
kembali stabil.
Cerita tersebut mungkin tidak terlalu
berarti bagi orang lain, tetapi tidak demikian bagi saya. Saya merasa kalimat
“mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus” tidak hanya menjadi slogan bagi
para missionaris CICM melainkan juga diterapkan dalam kehidupan bermisi. Dan
hal itu juga yang dilakukan oleh Th. Verbist dan kawan-kawan ketika bermisi di
Cina. Membaca misi Th. Verbist di Cina dan cerita dari P. Provincial,
menimbulkan sebuah pergolakan di dalam hati saya dan pergoalakan ini datang
dari sebuah pertanyaan Apakah saya bisa menjadi seorang missionaris yang siap
diutus ketengah-tengah serigala?
Untuk mengukur apakah saya benar-benar
telah siap menjadi seorang missionaris tentu saja kita tidak bisa menggunakan
mesin waktu untuk melihat masa depan saya dan mengetahui apakah saya layak
ataukah tidak. Melainkan dari situasi kehidupan sehari-hari, mulai dari
seminari menengah sampai seminari tinggi. Pada akhirnya saya sendirilah yang menilai
diri saya sendiri. Apakah selama ini saya mampu mengerjakan hal-hal kecil yang
dipercayakan kepada saya dengan baik? Ataukah keterlibatan saya dalam apostolat
sangat aktif ataukah sering kali mengeluh karena hal tersebut menyita banyak
waktu saya untuk berkumpul bersama teman-teman?
Dalam bermisi juga dibutuhkan komunikasi
yang baik antara sang misioner dan umat dimana ia bermisi. Allah telah
mengaruniakan alat-alat ini demi karya kerasulan, dan karenanya kita harus
mendayagunakannya seperti Yesus dulu sudah mendayagunakan semua sarana yang
tersedia pada zaman-Nya untuk mengomunikasikan amanat[1].
Dalam segala kesulitan yang akan saya hadapi di daerah misi, salah satu hal
yang juga bisa saya gunakan untuk membantu saya adalah komunikasi. Untuk
berkomunikasi dengan baik dan benar tentu saja saya harus mempunyai banyak
pengalaman tentang berkomunkasi itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa kami juga
diikutkan dalam beberapa kegiatan pastoral, entah itu di sekolah-sekolah atau
di paroki-paroki. Selain itu, kita juga hendaknya mampu menggunakan alat-alat
komunikasi yang ada sekarang dalam memberitakan kabar gembira Yesus Kristus. Akhirnya,
sebagai seorang calon missionaris CICM yang juga ingin mengubah wajah dunia
menjadi wajah Kristus, saya akan mengembangkan potensi-potensi yang saya miliki
untuk mendukung saya dalam bermisi nanti.
Sumber
Eilers,
Frans-Josef. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi. Yogyakarta: Kanisius.
2008. Kitab Suci Perjanjian Baru.
Pycke,
Nestor. Theophile Verbist’s Adventure. Leuven: Ferdinand Verbist Institute.
2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar