Selasa, 14 Mei 2013

Theophile Verbist


1.      Misi Theophile Verbist di Cina Mongol: Missionaris Eropa dan Imam-imam Cina
a)      Situasi di Daerah Misi

Dalam bermisi tentu saja seseorang akan mengalami begitu banyak tantangan. Salah satu tantangan terbesar yang dialami oleh Theophile Verbist dan kawan-kawan ketika tiba di Cina adalah bahasa. Dalam berkomunikasi, mereka menggunakan bahasa Latin baik secara tulisan maupun lisan. Meskipun demikian, tidak semua teman-teman Verbist mampu berbicara fasih dalam bahasa latin. Salah seorang missionaris yang pandai berbicara bahasa latin adalah Pierre Lin. Ketika mereka telah tiba di Cina, para imam-imam Cina memberikan informasi seputar keadan di Cina dan atau kejahatan-kejahatan yang sering terjadi di daerah misi. Para perampok sering kali mencuri perhiasan-perhiasan yang ada di Gereja, anggur-anggur dan benda-benda devosi.
Misi di Cina tidak berjalan dengan lancar karena terjadi konflik antara Imam-imam Cina dan Missionaris Eropa. Verbist dan kawan-kawan tidak dengan mudah dapat memberikan tanggung jawab kepada imam-imam Cina karena mereka lebih menghabiskan begitu banyak uang sebagaimana yang dilakukan oleh setiap orang Cina yang mempunyai uang. Atas dasar itulah maka Van Segvelt memperingati Verbist dengan menulis sebuah surat dalam bahasa Prancis yang kemudian diubah dalam bahasa jerman dengan maksud untuk mencegah apabila surat tersebut jatuh di tangan orang-orang Cina. Isi dari surat itu adalah: “janganlah memberikan begitu banyak kepercayaan kepada asisten-asisten kita yang berasal dari Cina. Saya mengetahui bahwa beberapa dari mereka sungguh-sungguh dapat dipercaya dan saleh, tetapi mereka tetaplah orang Cina dan yang terbaik dari mereka sekalipun tidak dapat dipercaya. Dan juga, pengetahuan mereka tentang hukum-hukum kanonik , Kitab Suci dan Teologi sangatlah minim sehingga bisa membuat mereka salah mengerti dalam menafsirkan segala sesuatu.” Setelah Verbist dan P. Lin membaca surat tersebut, Lin mengatakan bahwa ia tidak akan bisa menjawab apabila umatnya bertanya tentang perintah Allah dan Gereja, dan Van Segvelt kembali membalas surat tersebut: “Mintalah maka Allah Bapa di Surga akan mengirim lagi Putranya ke bumi untuk memberikan perintah yang baru kepada orang-orang Cina.”  
b)     Konflik Perasaan

Dalam sebuah surat yang ditulis pada tahun 1867 kepada Th. Verbist, G. Bray mengklaim bahwa F. Hamer mengambil dan membakar suratnya yang ditujukan kepada V. Fan ketika ia masih berada di distrik Heishui. Namun bagi Th. Verbist, alasan G. Bray ini sama sekali tidak masuk akal karena bagi Verbist, F. Hamer adalah orang yang  suci dan ia tidak mungkin mau melakukan hal tersebut. Apalagi surat G. Bray sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan Hamer. Dalam surat tersebut, G. Bray menulis bahwa V. Fan adalah orang yang selalu membuat permasalahan dan ia tidak layak menjadi seorang missionaris. Hal tersebut tentu saja ditentang oleh Verbist. Ia mengatakan bahwa itu adalah fitnah walaupun Verbist juga mengakui bahwa sikap Fan di seminari sama sekali tidak baik.
Lantas bagaiman dengan Pierre Lin? Sesuai dengan permintaan Verbist, ia telah meninggalkan distrik Xiwanzi dan bergabung dengan Verbist pada tanggal 19 november 1866. Pada tanggal 27, beberapa hari setelah kedatangan Lin, rombongan kedua dari missionaris CICM pun tiba. Mereka merayakan kedatangan ini dengan berpesta. Namun, dibalik kegembiraan tersebut ada sebuah permasalahan yang begitu besar. Permasalahan tersebut ditulis oleh Lin dalam sebuah surat yang ditujukan kepada F. Tagliabue. Lin mengatakan bahwa para missionaris yang baru tiba mengeluarkan begitu banyak uang sampai-sampai sekarang mereka tidak lagi mempunyai uang. Masalah ini membuat Verbist bingung dan ia sering kali melamun bahkan sampai-sampai lupa makan. Prokurator Pierre Zhao hanya mempunyai sedikit uang, dan uang yang dimilikinya tersebut tidak cukup untuk membayar utang-utang CICM. Hal tersebut tentu saja sangat mencemaskan bagi anggota-anggota CICM yang lainnya, sehingga ada yang berpikir untuk meninggalkan CICM. Selain surat tersebut, Lin juga menulis sebuah surat kepada G. Bray. Lin mengatakan bahwa Van Segvelt tidak menyukai Guandong dan ingin cepat pindah dari tempat tersebut serta F. Vranckx telah membuat sebuah masalah dengan imam-imam Cina.
Sebelum surat-surat tersebut dikirim, Verbist telah lebih dahulu mengetahui isi dari surat-surat tersebut. Akibatnya, surat-surat tersebut tidak jadi dikirim karena menurut Verbist, Lin membuat surat-surat yang mencemarkan nama baik orang. Lin mengakui kesalahannya dan memohon maaf kepada Verbist atas perbuataannya, serta meminta Verbist agar tidak mengirimkan surat tersebut kepada si alamat. Ia juga meminta kepada Verbist agar membuat surat rekomendasi karena ia telah merencanakan untuk meninggalkan vikariat (walaupun kenyataannya ia tidak meningggalkan Vikariat). Lin memanggil Verbist dengan julukan “Yang Mulia” dan ia menamakan dirinya sendiri sebagai “Pendosa yang Bertobat”. Verbist menyanggah julukan ini dan menyuruh Lin untuk mengganti “Yang Mulia” dengan “Bapa,” karena menurutnya kata itulah yang paling sesuai dengan sikap yang telah ia berikan baik kepada Lin maupun kepada imam-imam yang lainnya.

2.      Refleksi atas Misi Th. Verbist dan Missionaris lainnya di Cina

Menjadi seorang missionaris bukanlah sebuah hal yang mudah seperti yang dialami oleh Th. Verbist dan kawan-kawannya. Dan tentu saja hal tersebut tidak hanya dialami oleh para missionaris yang bermisi di Cina. Cina hanyalah salah satu dari sekian banyak tempat yang juga didatangi oleh missionaris-missionaris lain selain CICM. Tantangan utama yang dihadapi para missionaris sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian awal adalah bahasa. Sulit bagi para missionaris untuk mempelajari dengan cepat bahasa suatu daerah. Padahal, dalam bermisi, bahasa juga merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan sebuah misi. Namun, bagi Th. Verbist bahasa tidak menjadi halangan baginya untuk mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang di  Cina.
Di dalam matius 28: 16- 20, Yesus berpesan kepada para muridnya untuk pergi dan jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Maksud Yesus tentu saja bahwa misi ini tidak hanya dilakukan oleh para rasul yang pada saat itu ada dan hidup bersama-sama dengan Yesus, melainkan sabda Yesus tersebut menjadi relevan bagi siapa saja yang telah dibaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Yesus sendiri mengatakan bahwa mengikuti dia berarti siap menjadi domba yang diutus ke tengah-tengah serigala (Luk 10: 3). Mungkin kita bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kita terperangkap oleh serigala-serigala yang siap untuk menerkam kita. Dengan demikian, Yesus sendiri pun mengakui bahwa tidak mudah untuk menjadi pengikutnya apalagi harus melanjutkan karya keselamatan yang telah diwartakan oleh Yesus.
CICM mempunyai sebuah orientasi yakni mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Tentu saja hal ini tidak mungkin bisa terwujud. Namun dengan memberikan sebuah patokan yang tidak mungkin tersebut, Missionaris CICM mampu membuat suatu perubahan yang mendatangkan kebahagiaan bagi sesamanya. Saya secara pribadi sangat bangga menjadi seorang missionaris khususnya di dalam CICM. Beberapa minggu yang lalu diadakan sebuah pertemuan antara kami (fratres CICM) dengan provincial. Salah satu hal yang membuat saya tertarik adalah ketika Pater Provincial kami bercerita tentang kehadiran imam-imam CICM di kalimantan khususnya di Sungai Danau. Dikatakan bahwa sebelum paroki tersebut diambil alih oleh CICM, keadaan disekitarnya kurang baik karena terjadi konflik antara umat di dalam paroki itu sendiri. Namun, ketika CICM mulai mengambil alih paroki tersebut, perlahan-lahan situasi kembali menjadi normal dan situasi ekonomi paroki pun kembali stabil.
Cerita tersebut mungkin tidak terlalu berarti bagi orang lain, tetapi tidak demikian bagi saya. Saya merasa kalimat “mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus” tidak hanya menjadi slogan bagi para missionaris CICM melainkan juga diterapkan dalam kehidupan bermisi. Dan hal itu juga yang dilakukan oleh Th. Verbist dan kawan-kawan ketika bermisi di Cina. Membaca misi Th. Verbist di Cina dan cerita dari P. Provincial, menimbulkan sebuah pergolakan di dalam hati saya dan pergoalakan ini datang dari sebuah pertanyaan Apakah saya bisa menjadi seorang missionaris yang siap diutus ketengah-tengah serigala?
Untuk mengukur apakah saya benar-benar telah siap menjadi seorang missionaris tentu saja kita tidak bisa menggunakan mesin waktu untuk melihat masa depan saya dan mengetahui apakah saya layak ataukah tidak. Melainkan dari situasi kehidupan sehari-hari, mulai dari seminari menengah sampai seminari tinggi. Pada akhirnya saya sendirilah yang menilai diri saya sendiri. Apakah selama ini saya mampu mengerjakan hal-hal kecil yang dipercayakan kepada saya dengan baik? Ataukah keterlibatan saya dalam apostolat sangat aktif ataukah sering kali mengeluh karena hal tersebut menyita banyak waktu saya untuk berkumpul bersama teman-teman?
Dalam bermisi juga dibutuhkan komunikasi yang baik antara sang misioner dan umat dimana ia bermisi. Allah telah mengaruniakan alat-alat ini demi karya kerasulan, dan karenanya kita harus mendayagunakannya seperti Yesus dulu sudah mendayagunakan semua sarana yang tersedia pada zaman-Nya untuk mengomunikasikan amanat[1]. Dalam segala kesulitan yang akan saya hadapi di daerah misi, salah satu hal yang juga bisa saya gunakan untuk membantu saya adalah komunikasi. Untuk berkomunikasi dengan baik dan benar tentu saja saya harus mempunyai banyak pengalaman tentang berkomunkasi itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa kami juga diikutkan dalam beberapa kegiatan pastoral, entah itu di sekolah-sekolah atau di paroki-paroki. Selain itu, kita juga hendaknya mampu menggunakan alat-alat komunikasi yang ada sekarang dalam memberitakan kabar gembira Yesus Kristus. Akhirnya, sebagai seorang calon missionaris CICM yang juga ingin mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus, saya akan mengembangkan potensi-potensi yang saya miliki untuk mendukung saya dalam bermisi nanti.


Sumber
Eilers, Frans-Josef. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi. Yogyakarta: Kanisius. 2008. Kitab Suci Perjanjian Baru.
Pycke, Nestor. Theophile Verbist’s Adventure. Leuven: Ferdinand Verbist Institute. 2009.



[1] Frans-Josef Eilers, berkomunikasi dalam pelayanan Misi, hlm. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar