Jumat, 13 November 2015

Rorty tentang Kekejaman dan Pesan-Pesan Moral “Sang Penyair”





“..karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”
Richard Rorty

1.      Tentang Richard Rorty
Richard Rorty adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya maupun karena pemikiran dalam bidang budaya.Rorty dilahirkan di New York pada tahun 1931.Pada tahun 1949, ia lulus dari Universitas Chicago, dan tahun 1952 dari Universitas Yale. Rorty mulai mengajar di Wellesley College, dan kemudian pada tahun 1961, ia mengajar di Universitas Princeton.Pada tahun 1979, Rorty menerbitkan buku pertama yang berjudul "Philosophy and the Miror of Nature"[1].Buku ini berisi kritik Rorty terhadap filsafat analitis yang berkembang pada masanya.
Rorty berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat universal, dan ia juga menentang usaha Pencerahan untuk menemukan dasar rasional bagi pengetahuan manusia. Di sini, Rorty mengambil posisi etnosentris radikal. Baginya, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari orang tersebut. Bahasa di sini dipahami sebagai perwujudan budaya tertentu, pandangan dunia tertentu, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu. Akan tetapi, kehadiran seorang manusia di budaya tertentu bersifat kebetulan, sebab tidak ada orang yang dapat memilih di mana ia dilahirkan. Oleh karena itu, Rorty berpendapat tidak ada budaya atau nilai-nilai yang paling benar dan berlaku universal.Budaya atau nilai-nilai apapun hanya membantu pengembangan diri seorang manusia.Dengan demikian, posisi Rorty di sini adalah pragmatisme.
2.      Latar Belakang Pemikiran Rorty
Kebanyakan korban abad ke-20 adalah korban pemikiran ideologis, contohnya di Auschwitz. Auschwitz adalah kamp pemusnahan massal yang dibangun oleh Nazi untuk secara sistematik membunuh orang-orang Yahudi dan orang-orang lain yang dianggap “tidak pantas hidup”.“Mesin pembunuhan” Auschwitz mampu menggas dan membakar mayat sampai 10.000 orang per hari.
 Adorno mengatakan, bahwa sesuatu seperti di Auschwitz tidak boleh diizinkan lagi.Selain itu, hal tersebut tidak hanya tidak perlu diberi pendasaran, melainkan setiapusaha pendasaran adalah tidak senonoh. Ini berarti bahwa mencari alasan mengapa harus bersikap moral adalah tanda orang tidak bermoral! Orang semacam ini menakutkan karena begitu pikirannya berubah, ia tanpa ragu-ragu dapat melakukan apa saja berdasarkan pendasarannya yang baru (misalnya: membunuh, memperkosa). 
Dengan latar belakang tersebut posisi filosofis Richard Rorty menjadi amat menarik. Ia menyatakan ”kekejaman adalah perbuatan paling buruk”. Mirip dengan Adorno, Rorty menyatakan bahwa kita harus solider dengan orang lain tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik atau prinsip-prinsip umum.  Ia merangsang untuk merefleksikan kembali posisi-posisi kaku dalam filsafat. Tugas filsafat bukan mencari dasar dari segala apa yang ada, melainkan menjadi sarana pengembangan diri sang filsuf[2].

3.      Pandangan Rorty tentang Kekejaman
Rorty mengajak kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita tentang perbudakan, kemiskinan, eksploitasi.Harapannya adalah, dengan menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya, kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi semakin ‘tidak kejam’ (less cruel).
Charles Guignon dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty lebih sering memilih untuk menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan Orwell, daripada merumuskan argumentasi filsafatnya sendiri[3].
Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang esensial,..di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”
Dua novel terakhir dari Orwell merupakan contoh yang baik tentang apa yang dipikirkan oleh Nabokov tentang topik-topik yang tidak penting bagi kepentingan mereka merupakan hasil dari terbentuknya perbedaan Praktis yang besar. Novel-novel Orwell hanya bisa dipahami apabila kita mempunyai latar belakang pengetahuan tentang politik di abad 20 sebagaiamana yang dilakukan oleh Orwell. Sejauh mana hal tersebut akan terus bergantung pada kesatuan politik kita di masa depan.
Pada suatu waktu, deskripsi tentang abad kita akan kelihatan kabur dan tidak jelas. Jika hal itu terjadi, pandangan Orwell tentang kejahatan tidak dapat dimengerti secara keseluruhan. Keturunan kita akan memahami Orwell sebagaiamana kita memahammi Swiftdengan kekaguman pada seseorang pria yang melayani kebebasan manusia, tetapi dengan sedikit kecenderungan untuk mengadopsi klasifikasinya tentang tendensi politik atau perbendaharaan moral dan deliberasi politik. Pada masa sekarang terdapat kritik aliran kiri  terhadap Orwell ( Christpher Noris), berpikir bahwa kita telah mempunyai cara untuk melihat Orwell secara sepeleh atau dangkal. Mereka berpikir bahwa kenyataan yang mana ia menyebutnya dengan perhatian dapat ditempatkan pada konteks dimana mereka terlihat benar-benar berbeda. Tidak seperti Norris, saya berpikir bahwa kita mempunyai alternatif lain yang lebih baik. Sejak 40 tahun setelah Orwell menulis , sejauh yang saya lihat, tidak ada seorangpun yang datang dengan cara lebih baik dalam mengemukakan alternatif politik yang berhadapan dengan kita.
Orwell berhasil karena ia menulis buku yang benar di saat yang tepat. Pendeskripsiannya tentang kesatuan particular historis adalah bahwa, kesatuan particular historis  mematikan,tentang apa yang dibutuhkan untuk membuat suatau perbedaan masa depan dari politik liberal. Ia menjatuhkan pemikiran Nabokov tentang “Bolshevik Propaganda” melebihi para pemikir liberal di Amerika dan inggris. Mendeskripskan kembalisituasi politik setelah perang dunia II adalah kontribusi praktikal yang terbesar dari Orwell.Apa yang Howe sebutkan sebagai kombinasi dari “desperrate topicality dan desperate tenderness” dalam animal farm dan 1984 cukup menyempurnakan batas ini, tujuan praktis. Tetapi pada bagian ketiga terakhir dari 1984 kita menenmukan sesuatu yang berbeda- sesuatu tak bertopik, prospektif daripada deskriptif.
Rorty ingin membicarakan secara terpisah dua hal yang dilakukan Orwell dalam dua novel terakhirnya-  menggambarkan kembali Rusia Soviet dan menemukan O’Brien. Kekaguman Orwell sering memberi kesan bahwa ia telah menyelesaikan pendeskripsiannya dengan mengingatkan kita tentang beberapa kebenaran yang nyata-kebenaran moral akan menjadi tidak jelas apabila disamakan dengan “2+2=4.” Tetapi mereka sering dibuat gugup oleh prestasinya yang kedua dan cenderung, sebagaimana yang Howe katakan, untuk mengabaikan “apocalyptic desperation” dari 1984 dan sesungguhnya untuk merayakan humanitasnya Orwell dan kebaikannya. Hal ini terus berlanjut dengan kecenderungan untuk memberi kesan bahwa Orwell bukanlah seorang penulis yang telah menyelesaikan tulisannya dengan teliti, tetapi bahwa ia telah memutuskan dalam kebaikannya tentang kekurangannya dalam hal artistek. Orwell mengatakan, “seseorang dapat menulis sesuatu yang tidak dapat dibaca satu secata konstan berjuang untuk menghapuskan kepribadian seseorang.Prosa yang baik adalah seperti kaca jendela.Hal seperti ini sering dibaca bersamaan dengan bagian berikutnya yaitu1984.
Rorty mengatakan bahwa, sesungguhnya Orwell mau memberitahu kita bahwa masa depan sebagaimana yang dipikirkan oleh O’Brien atau J. S. Mill tidak bergantung pada kenyataan mendalam tentang sifat dasar kemanusiaan (human Nature). O’Brien dan Humbert Humbert lebih menekankan tentang intelektual – kecerdasan, pengadilan, keanehan, imajinasi, rasa keindahan- yang bersumber dari nafsu seksual. Intinya Rorty mau mengatakan bahwa, penguasa masa depan kita tidak akan ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan kebenaran tentang sifat alami manusia dan relasinya dengan kebenaran dan keadilan melainkan oleh kontingensi fakta yang sangat kecil.

4.      Ruang Publik Penyair.
Di dalam ruang publik para penyair, kebenaran tidak lagi ditemukan, melainkan dirumuskan secara bersama-sama. Kecenderungan untuk merumuskan semacam kriteria filosofis-rasional guna menentukan apa yang dimaksud dengan ‘esensi dunia’ dan ‘esensi manusia’ telah ditinggalkan. Kecenderungan semacam itu adalah kecenderungan berpikir para filsuf tradisional yang secara jelas ingin ditinggalkan oleh Rorty.Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan sesuatu yang dirumuskan, dan bukan sesuatu yang sudah ada di sana, serta siap untuk direngkuh untuk diketahui. Pengetahuan manusia sepenuhnya dimediasi dan mengharuskan adanya bahasa.Bahasa juga sudah selalu merupakan sebuah hasil konstruksi sosial.Kebenaran pun sudah selalu merupakan bentukan bahasa yang juga sudah selalu merupakan hasil kreasi manusia. Oleh karena itu, kebenaran sifatnya kontingen, sama kontingennya seperti perubahan pemahaman bahasa itu sendiri.
Dengan konsep ruang publik para penyair, Rorty tidak hanya mau mengubah konstelasi peran sosial di dalam masyarakat, tetapi ia juga mengajak kita untuk “…mengubah cara kita berbicara, dan dengan demikian mengubah apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri.” Dengan mengubah cara kita ‘berbicara’, berarti kita juga mengubah identitas kita sebagai manusia. Di dalam ruang publik para penyair, masalah-masalah yang muncul tidak lagi dipandang sebagai masalah filosofis tentang politik, ekonomi, ataupun kehidupan sosial, tetapi lebih merupakan masalah poetik (poetic problems).Artinya, permasalahan yang ada tidaklah berkaitan dengan akar fundamental dari pemahaman tentang realitas ataupun tentang manusia, tetapi lebih merupakan masalah ‘penggunaan metafora-metafora’ (metaphors) yang berbeda untuk menjelaskan dan memahami realitas. “Sebuah kesadaran tentang sejarah manusia sebagai sejarah tentang metafora-metafora yang diteruskan”, demikian Rorty, “akan membuat kita melihat para penyair, dalam arti yang umum sebagai sang pencipta dunia-dunia baru, yang menajamkan bahasa-bahasa baru, dan sebagai barisan depan spesies-spesies.”
Di dalam ruang publik para penyair, seperti sudah sedikit disinggung sebelumnya, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors).Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan.Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran.Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka.“Kita,” demikian Rorty, “dikutuk untuk menggunakan hidup sadar kita mencoba untuk melarikan diri dari kontingensi daripada, seperti para penyair, mengakui dan mengizinkan kontingensi.” Rorty memperoleh argumen semacam ini dari pemikiran Nietzsche. Perbedaan antara para penyair di satu sisi dan orang-orang pada umumnya di sisi lain adalah perbedaan antara manusia yang sesungguhnya di satu sisi, dan binatang di sisi lain. Walaupun para penyair tetaplah merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan alam, sama seperti binatang, tetapi mereka mampu merumuskan serta menyampaikan refleksi mereka atas dunia dengan cara-cara baru yang belum pernah digunakan sebelumnya. Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada.
Di dalam ruang publik para penyair, perubahan politik tidak lagi dipandang sebagai suatu perubahan yang rasional, tepat karena kriteria apa yang rasional dan apa yang tidak rasional tersebut tidak lagi bisa dipastikan. Menurut Rorty, ketika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan lagi menggunakan kata-kata berikut: “rasional”, “kriteria”, “argumen”, “fondasi”, dan “absolut”. Ruang publik para penyair adalah ruang publik liberal plus kesadaran akan kontingensi radikal dari realitas, di mana segala sesuatu diperbolehkan untuk mengalir, bergerak, dan merumuskan apa yang sesungguhnya menjadi keprihatinan bersama. Pertanyaan dasarnya tidak lagi, “bagaimana kamu sampai pada pengetahuan, atau bagaimana kita dapat sampai pada kebenaran?”, tetapi lebih “mengapa kita membicarakan pengetahuan dan kebenaran dengan cara-cara yang kita gunakan sekarang?”
Ruang publik penyair adalah juga merupakan ruang publik liberal.Di dalam masyarakat liberal, politik persuasi jauh lebih penting daripada politik represi.Persuasi melalui argumentasi adalah sentral.Represi dengan menggunakan senjata dan sensor ditolak.Hal ini menandakan adanya keterbukaan pemikiran di dalam masyarakat liberal tersebut.Akan tetapi, ruang publik yang liberal dalam arti umum masih membutuhkan semacam pengandaian filosofis, bahwa manusia itu merupakan mahluk yang pada esensinya adalah bebas.Hal inilah yang ingin ditolak oleh Rorty. Ruang publik para penyair, dengan demikian, adalah ruang publik liberal minus asumsi metafisis tentang apa itu manusia.

Kesimpulan

Ruang publik para penyair adalah ruang untuk bercerita tentang semua bentuk penderitaan yang dialami manusia.Cerita-cerita ini memang berangkat dari ruang privat, tetapi alirannya menggaung di dalam kehidupan publik, dan menjadi bagian dari ruang publik.Mata kita seolah terbuka terhadap penderitaan yang dialami banyak manusia, ketika kita membaca tulisan-tulisan para penyair dan penulis novel. Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai tercipta.Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan di dalam syair, puisi, dan novel.Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.
Di dalam ruang publik para penyair, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal.Kebenaran lebih dipandang sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors).Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan.Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran.Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka.Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada. Ruang publik para penyair adalah ruang publik yang berupaya mengartikulasikan penderitaan dengan menggunakan metafor-metafor yang kontingen dan berbeda.




Sumber Bacaan
Rorty, Richard. Contingency, Irony and Solidarity.Cambridge University Press: Australia. 1993.
Suseno,Franz Magnis..12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 2000.






[1]Franz Magnis-Suseno..12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 2000Hal. 242-243.
[2]http://nikolaskristiyantosj.wordpress.com/2012/08/11/richard-rorty-manusia-ironis-liberal/

PERKEMBANGAN MARGINALITAS KEBUDAYAAN SUKU DAYAK




Buku dengan judul Bayang-banyang intan ini merupakan buku mengenai perkembangan kebudayaan suku dayak. Adanya maslaah konstruksi kebudayaan dan politik dalam masyarakat meratus. Tsing yag berusaha untuk membangun konstruksi kebudayaan menyatakan bahwa ada tiga unsur yang membentuk marginalitas . ketiga unusur itu adalah perbedaan gender , etnisitas, dan politik atau aturan dalam Negara. Permasalahan marginalitas terjadi di sebuah daerah yang dinamakan daerah meratus. Pada awalnya ialah bahwa Tsing ingin melawan marginalitas dengna cara politik marginalitas. Politik marginalitas menjadi suatu metode atau cara dalam menanggapi persoalan marginalitas di dala suku meratus. Masyarakat meratus pada umumnya tinggal di daerah bukit. Bukit mendapat pandangan negative dari kalangan orang di luar masyarakat daerah meratus. Pandangan negative ini sudah menjadi pandangan umum di daerah Kalimantan. Sehingga masyarakat dayak yang tinggal di bukit mendapatkan julukan sebagai orang-orang yang primitive, kolot, bodoh dan tidak beragama.
Masyarakat suku dayak melakukan perubahan yang dinamis dimana kebudayaan telah tercampur pula oleh kebuayaan meratus. Meratus merupakan sebuah daerah diambil dari kata dasarnya yaitu ratus. Arti dari meratus ialaha keanekaragaman budaya yang ada di seikitar peguungan meratus. Orang meratus mendapatkan penghidupan mereka dari hasil hutan. Mereka menolak adanya penebangan liar dan segala maacam yang dibentuk oleh pemerintah sebagai aksi eksplorasi mereka karena masyarakat meratus begitu menghormati alam.
Pemerintah selalu mengganggap bahwa suku dayak tidak mau menerima kebudayaan baru. Mereka tetap berpegang teguh pada apa yang menjadi kebudayaan mereka sejak zaman dulu atau nenek moyang. Hal ini tidak memberikan pengertian bahwa masyarakat suku dayak tidak mau menerima kebudayaan baru. Inilah yang menjadi suatu pertentangan bagi pemerintah bahwa masih ada masyarakatnya yang masih terbelakang. Salah satu yang membuat masyarakat suku dayak memepertahankan kebudayaan ialah karena mereka ingin tetap terus kebudayaannya tidak lenyap oleh kebudayaan baru tersebut.
Hal ini yang menjadi suatu perdebatan antara pemerintah dengan masyarakat suku dayak. Untuk dapat melawan pendapat negative pemerintah terhadap masyarakat suku dayak maka melalui cara politik marginalitas, masyarakat suku dayak melawan tekanan pemerintah terhadap masyarakat suku dayak. Masyarakat meratus melakukan usaha-usaha untuk bergerak dengan kreativitasnya di tengah kesesakan kemajuan zaman serta tekanan pemerintah. Usaha-usaha yang dilakukan yaitu dengan resistensi dan akomodasi.
Resistensi mengartikan bahwa masyarakat meratus tetap menempatkan dirinya dan memberikan identitas pada diri mereka. Masyarakat meratus juga melakukan perlawanan dengan pemerintah bukan dengan tanpa kekerasan atau disebut sebagai akomodasi. Mereka melakukan politik marginalisasi mereka dengan cara melakukan dialog-dialog yang tetap memandang perbedaan yang ada.  Untuk dapat menunjukkan identitas mereka, masyarakat meratus menunjukkannya dengan cara melakukan penyembuhan-penyembuhan
Tsing melihat bahwa permasalahan ini menjadi suatu tantangan yang dihadapi oleh masyarakat meratus. Dalam hal marjinalisasi politik local, orang Meratus menganggap pembentukan masyarakatnya sebagai proyek Negara walaupun lebih banyak mengecewakannya. Label negative yang diterima oleh orang meratus sebagai orang yang primitive dan tidak beragama semakin menyudutkan mereka dan menutup akases mereka untuk bergaul dengan orang luar khususnya orang Banjar.
Orang Banjar adalah masyarakat Kalimantan yang sudah mengikuti perkembangan zaman dan lebih maju daripada masyarakat meratus. Mereka adalah orang-orang yang mendukung program pemerintah. Orang meratus dijadikan sebagai objek asli yang tidak beradab dan mengakibatkan orang meratus semakin terpuruk ke arah marjinal (terpinggirkan). Sulitnya masyarakat meratus dalam menyesuaikan diri mereka serta menerima pendapat dari pemerintah, membuat masyarakat meratus disebut sebagi orang-orang yang tidak tahu adat dan orang-orang yang mengucilkan dirinya dari masyarakat-masyarakat normal. Meratus diambil dari kata dasar ratus. Ratus artinya bukan hanya sebuah bilangan tetapi mengartikan ratusan keanekaragaman budaya yang ada di sekitar pegunungan meratus. Mayarakat meratus adalah masyarakat yang senang dalam mengolah tanah dan hidup mereka nomaden (suka berpindah-pindah tempat. Tsing mencoba untuk memberikan pemahaman terhadap pemerintah. Contoh yang dapat diberikan yaitu piring yang sudah merupakan cara makan yang modern dimana tidak lagi makan di daun pisang ataupun serat dari bahan tumbuhan lain. Ketika itu, Tsing mengatakan bahwa mereka tetap menerima piring tersebut sebagai budaya yang baru dan mereka dapat menggunakannya tetapi hal itu dikembalikan kembali kepada pemerintah bahwa mereka tetap bisa menggunakan atau dapat mengikuti perkembangan zaman tetapi tidak berarti mereka menghilangkan kebudayaan mereka yang asli. Mereka akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka sebagai tetap. System yang mereka gunakan yaitu menerima kemudian mengembalikan kembali kepada pemberi dan tetap berpegang teguh pada apa yang miliki dan tidak mengubah.
Orang-orang meratus memiliki pemimpin suku mereka dan ada beberapa syarat yang menjadikan seseorang menjadi seorang pemimpin. Pak beruang adalah seorang dukun yang dikenal memiliki ilmu yang tinggi dan ia menjadi sosok pemimpin suku mereka. Pak beruang sebagai seorang dukun meratus dikenal dukun yang memberikan story telling untuk dapat menguasai kekuasaan Negara. Teknik bercerita itu menggambarkan bahwa dia seolah-olah berada pada saat itu sebagai orang yang berpengalaman. Dia menggambarkan perjalanan yang melampaui manusia biasa dengan menggunakan roh-roh / dewa bagi mereka. Pendengar seakan-akan terhipnotis dan seakan-akan terbawa oleh cerita yang diceritakan itu sendiri.  Dalam teknik bercerita tersebut menuturkan teror kepada kekuasaan pemerintah. Teror tersebut yaitu bahwa pak beruang ada di sana sebagai saksi, pak beruang selamat dari bahaya, pak beruang bercerita adanya potensi yang melampaui lainnya, pak beruang bercerita cerita asli dalam bentuk narasi.

Bercerita seakan-akan nyata itu menajdi suatu perwujudan diri sehingga dia disebut sebagai dukun. Pengalaman spiritual atau mengalami langsung cerita tersebut mencoba untuk meninggikan harkat martabat seseorang dari yang lain. Pak beruang mencertakan bahwa dia seakan-akan ada pada zaman belanada. Dia melihat bahwa perempuan-perempuan orang meratus banyak yang diperkosa oleh orang belanda dan terlihat bahwa di dalam perut mereka penuh dengan sperma. 

Kamis, 12 November 2015

Gagasan perang adil ( bellum iustum)





St.Agustinus dari Hipoo dianggap sebagai perintis gagasan perang adil. Perang adil dipandangnya kurang jahat jika dibandingkan dengan kejahatan kaum bar-bar yang memandang segala sesuatu yang bisa dilakukan adalah selalu benar.[1] Gagasan perang adil muncul dalam kurun tertentu dan dengan situasi serta latar belakang di mana kekuasan berpusat pada satu otoritas tertinggi abad pertengahan yakni, Gereja Katolik Roma. Dalil perang adil menurut Agustinus dikaitkan dengan perang untuk melawan penghujat Allah. “Hanya karena alasan-alasan yang adil dan benar sajalah, perang dapat dibenarkan dan dilaksanakan. Perang boleh bahkan harus ditempuh demi membelah dan mendapatkan kembali hak milik pribadi yang dirampas pihak lain.”[2] 
Dalam konteks perang  salib konsep perang adil dijiwai oleh semangat untuk merebut kembali Yerusalem (the Holy Land) yang diyakini sebagai wilayah milik agama Kristiani. Hal ini didasarkan pada pandangan tentang peristiwa Yesus Kristus yang terjadi di wilayah tersebut dan agama Kristen pun lahir dan berkembang di tempat itu. Namun semangat perang salib sebagi (perang suci) saat itu dipengaruhi oleh motivasi yang berbeda-beda, seperti tawaran indulgensi, kepentingan sosial, ekonomis, dan kepentingan pribadi.
Gagasan perang adil (bellum iustum) menjadi gagasan yang berubah dan selalu diperbaharui pemahamannya berdasarkan peradaban masyarakat. Berhadapan dengan etika dan moral yang termuat dalam gagasan Hak Asasi Manusia (HAM) perang memunculkan pertanyaan: apakah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan menjaga nilai-nilai? Membunuh tidak dapat dibenarkan secara moral. Dalam ajaran agama Kristiani juga gagasan perang secara mendasar ditolak. Hal ini nampak dalam hukum utama Kristiani yakni cinta kasih. Selain itu ajaran gereja yang menekankan perdamaian dan keadilan sebagaiman yang diperjuangkan geraja saat ini.[3]
Pada abad 20 ada banyak peryaratan yang dibuat dalam suatu perang. Bukan hanya sekadar larangan berperang di hari besar keagamaan seperti yang terjadi pada perang salib. Syarat-syarat yang dibuat sedemikian rumit seperti, perang sebagai jalan untuk membela dan mempertahankan diri terhadap serangan yang tak adil. Perang harus ada kemungkinan berhasil yang sungguh nyata untuk meperoleh nilai yang lebih tinggi. Nilai-nilai yang hakiki tetap menjadi sumber dan tujuan perjuangan. Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas. Prasyarat ini dimaksudkan agar perang tidak terdadi karena pada kenyataan perang selalu berujung pada degradasi nilai moran dan kerugian materi bahhkan nyawa.

Peristiwa 1054 ( Skisma Timur)

            Skisma Timur merupakan peristiwa perpecahan dan pemisahan diri persekutuan gerejawi yang umumnya menyangkut disiplin, tata tertib. Sebagai suatu skisma pemisahan diri tersebut tidak berakibat pada  ajaran iman dan sakramen-sakramen gereja. Pertentangan tersebut melibatkan gereja barat (Roma) dan gereja timur (Konstantinopel) yang merupakan gereja-gereja besar.[4] Skisma tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan. Pertama, skisma dilihat sebagai rivalitas pribadi dengan dalil gengsi dan haga diri. Kedua, persaingan Timur dan Barat dalam ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Ketiga, persaingan antartaktha Roma dan Konstatinopel. Keempat, perbedaan ungkapan liturgi, ajaran filioque, puasa, paskah, dan bahasa liturgi. Kelima, masalah tata tertib, disiplin, termasuk masalah selibat dan hubungan dengan penguasa sipil.[5]
Pokok permasalahan skisma timur berada di bawah otoritas penguasa yang hendak memperluas kekuasaannya. Oleh karena itu, konflik itu sesungguhnya tidak mewakili permasalah mendasar yang dihadapi umat pada umumnya. Ada masalah mendasar yang melatarbelakangi perisstiwa skisma yakni, sejumlah perbedaan, Roma dan Konsatantinopel saling mengekskomunikasi. Peristiwa skisma timur memberi pengaruh positif bagi Gereja sendiri dalam menilai peristiwa sejarah. Setiap batrik memiliki alasan atas skisma dan bertanggung jawab terhadap akibat-akibatnya. Skisma memberikan sudut pandang baru dalam melihat keberadaan batrik-batrik lain dan makna yang diberikannya terhadap kekristenan universal.
Gereja Timur menyebut dirinya sebagai Gereja Ortodoks sebagai suatu Gereja resmi yang sesuai dengan ajaran dan Tradisi Kristen yang diwarisi oleh para Rasul, pengikut Yesus. Gereja Ortodoks dipersatukan oleh teologi yang sama. Semua anggota Gereja memeluk keyakinan yang sama terlepas dari ras atau kebangsaan. Dalam praktek dan tradisi, bagaimanapun, ada variasi dalam gaya tergantung tempat atau adat setempat. Ini kebiasaan setempat disebut sebagai perbedaan yang dapat diterima oleh para pemimpin gereja karena mereka tidak dianggap bertentangan dengan ajaran teologis Ortodoks dasar.
Gereja Timur bukanlah tatanan atau kelas sekunder. Gereja Timur memberikan tanda kehadirannya dimana selama berabad-abad menjadi maestro bagi Barat. Dalam banyak Gereja Timur memberikan harta karun kerohanian bagi Gereja universal. Dalam dogma, gerakan hidup membiara, dan bentuk-bentuk kesalehan.[6]






[1] Gerald O’C, sj dan Edward G. Farrugia,Sj. ,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,1996, hal. 235
[2] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 185
[3] Thompson J. Milburn , Keadilan dan perdamaian: Tanggung Jawab kristiani dalam Membangun Perdamaian Dunia,     ed.Steve Gaspersz, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hal. 220
[4] Kristiyanto, Eddy, hal. 162-163
[5] Ibid. hal. 163-165
[6] Ibid. hal. 170-171

Mengikuti Jejak Kristus




          Thomas à Kempis adalah seorang mistikus Kristen terkenal dari Abad Pertengahan. Nama aslinya adalah Thomas Hemerken. Ia lahir di Kempen, dekat kota Koln, pada tahun 1379. Dari situlah ia mendapat nama Thomas à Kempis. Kempis memiliki banyak tulisan, namun yang paling terkenal adalah Imitasi Kristus (dalam bahasa Latin Imitatio Christi). Arti dari buku tersebut adalah mengikuti Kristus. Buku ini terdiri dari empat jilid dan termasuk karya klasik yang paling digemari. Pada akhir abad ke-15, buku ini sudah mengalami 99 kali cetak ulang. Kempis meninggal pada tahun 1471. Isi dari buku pertama adalah mengenai kehidupan di biara, sedangkan isi buku keempat adalah tentang Perjamuan Kudus. Buku kedua dan ketiga berisi kehidupan batin dan kerohanian Kristen. Nada dasar buku itu mengajak pembaca untuk mawas diri dan rendah hati, berdisiplin, serta mempercayakan diri kepada Allah.
Pada bagian ini saya akan merefleksikan buku pertamanya yakni tentang nasihat-nasihat hidup rohani khususnya pad pasal XIII tentang hal menolak godaan. Dalam  pasal tersebut, Thomas a kempis mengatakan bahwa Selama kita hidup di dunia ini, tak mungkin kita luput atau bebas dari penderitaan dan godaan.
Oleh sebab itu tertulislah dalam kitab Ajub: Percobaan adalah hidup manusia di atas dunia (Ajub 7.1).

Oleh karena itu setiap orang wajib waspada terhadap godaan-godaan dan berjaga-jaga serta berdoa, agar supaya setan yang tidak pernah tidur melainkan berkeliling serta mencari siapa yang dapat ditelannya (I Petr. 5,8) tidak mendapat kesempatan untuk memperdayakannya.

Tak ada seorangpun yang sempurna dan suci, sehingga dia tidak pernah digoda. Tak mungkin kita terlepas sama sekali daripada godaan.
 Tetapi godaan-godaan itu biarpun sukar dan berat, seringkali sangatlah berguna bagi manusia sebab karena semua itu manusia menjadi rendah hati, bersih, lagi pula menerima pelajaran.

Semua orang kudus telah mengalami banyak percobaan serta godaan dan oleh karena itu mereka memperoleh perkembangan rohani. Mereka yang tidak kuat mengadakan perlawanan terhadap godaan telah terbuang dan hanyut.

Tak ada satupun ordo (konggregasi) yang begitu suci, atau tempat yang begitu terpencil dan sunyi, sehingga di situ orang bebas dari godaan dan kesushan hidup.
Selama manusia hidup di dunia ini, selama itu tiada pernah dia bebas dari godaan. Sebab godaan itu bersumber di dalam diri kita sendir: karena manusia dilahirkan di dalam keinginan daging.
Baru saja godaan yang satu berlalu, maka sudah muncullah percobaan yang lain, dan begitu terus menerus ada-ada saja yang kita alami, karena hak menikmati keadaan bahagia yang mula kita miliki sudah lenyap.

Banyak orang yang berusaha menghindari percobaan-percobaan itu, tetapi akibatnya dia justru malah jatuh lebih dalam tertimpa godaan-godaan tersebut.
Dengan jalan menghindar saja, kita tak akan menang. Tetapi dengan sabar dan rendah hati yang sesungguhnya kita akan menguasai semua musuh kita.
Barangsiapa hanya lahirnya saja menyingkirkan kejahatan, tetapi tidak memberantasnya sampai ke akar-akarnya, maka dia hanya sedikit mencapai kemajuan, malahan godaan akan lebih cepat menyerangnya kembali dan dia akan merasa lebih menderita.

Dengan perlahan-lahan, dengan penuh kesabaran dan ketenangan hati, serta dengan pertolongan Allah, kita akan lebih mudah dapat mengalahkan musuh-musuh kita, daripada dengan kekerasan dan kebengisan terhadap diri kita sendiri.
Hendaklah kita seringkali minta nasihat, bila kita sedang di serang godaan-godaan dan janganlah kita bertindak keras terhadap mereka yang sedang mengalami percobaan, tetapi hiburlah mereka itu seperti kita sendir ingin diperlakukan oleh orang lain.

Pangkal segala kejahatan pada godaan itu terletak pada ketidak tentraman batin kita dan pada kurang kepercayaan kita akan Tuhan.
Sebab ibarat sebuah kapal yang tak berkemudi terombang-ambing oleh gelombang kesana-kemari, demikian pulalah orang yang lemah dan kurang tenang, serta tidak sanggup meneruskan maksudnya, terjerat dalam pelbagai godaan. Api menguji besi dan godaan menguji orang yang saleh.
Kita tidak mengetahui kekuatan kita, tetapi percobaan menunjukkan sampai dimanakah kesanggupan kita.
Oleh karena itu kita harus waspada, lebih-lebih pada permulaan godaan. Sebab demikian musuh akan lebih mudah dikalahkan, bila ia sama sekali tidak kita perbolehkan memasuki pintu gerbang jiwa kita, tetapi segera kita usir ketika dia mengetuk pintu.
Seorang pujangga pernah menulis sebagai berikut: “Dari awal adakanlah perlawanan yang pesat, sebab datangnya obat akan terlambat bila karena terlalu lengah penyakit telah menjadi payah” (Ovid. De Remed. II, 91).
Mula-mula di dalam hati kita memang hanya timbul sebuah pikiran biasa saja, kemudian dengan giat muncullah angan-angan kita, selanjutnya rasa lezat, lalu keinginan jahat, dan pada akhirnya persetujuan kita.
Demikianlah lambat-laun musuh yang jahat itu akan menguasai jiwa kita seluruhnya, jika pada permulaan dia tidak segera kita lawan. Dan makin lama orang melalaikan perlawanan, semakin lemahlah keadaan batinnya, sebaliknya semakin kuatlah kedudukan si musuh.
          Sementara orang menderita godaan paling hebat pada waktu permulaan bertobatnya kepada Tuhan, sedangkan orang lain pada akhir hidupnya. Orang lain lagi selama hidupnya seakan-akan selalu mengalami penderitaan digoda dan dicoba.
Tetapi ada juga orang yang hanya mengalami percobaan yang ringan. Itu semua sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan. Sebab Tuhanlah yang menimbang-nimbang kekuatan dan jasa masing-masing orang dan mengatur semuanya, untuk kebahagiaan orang-orang yang dipilihNya.
Karena itu tak usalah kita putus asa, bila kita mendapat percobaan; tetapi hendaklah kita lebih giat berdoa kehadirat Tuhan, agar Tuhan sudi membantu kita dalam sebala cobaan. Sebab menurut kata-kata St. Paulus: “Dengan adanya godaan Ia juga akan memberi jalan untuk keluar (1 Kor. 10.13), hingga kita tetap dapat berdiri.
Hendaklah kita merendahkan diri kita di bawah pimpinan Tuhan, bila kita menderita godaan dan percobaan: sebab Tuhan akan menolong mereka yang rendah hati dan memuliakanNya.
 Dalam godaan dan cobaan orang diuji sampai di mana ia telah mencapai kemajuan, karena itu ia mendapat lebih banyak anugerah dan tampak lebih terang kebajikannya.
Bukanlah hal yang luar biasa, bila seorang tinggal saleh dan bernyala-nyala kerajinannya selama ia tidak mengalami kesukaran-kesukaran, tetapi apabila di dalam waktu percobaan ia tetap tinggal sabar, maka sungguh ada harapan baginya, bahwa ia akan mengalami pertumbuhan rohani yang subur.
Sementara orang terhindar dari godaan-godaan yang besar, tetapi seringkali mereka itu mengalami kekalahan dalam perkara yang kecil-kecil dalam hidupnya sehari-hari. Hal ini maksudnya agar dalam menghadapi hal-hal yang kecil itu mereka tetap rendah hati dan dalam mengalami soal yang besar-besar mereka sekali-sekali tidak akan percaya kepada kekuatan diri sendir, sebab dalam yang yang kecil-kecil saja telah terbukti, bahwa mereka mengalami kekalahan.

Itulah yang dikatakan oleh Thomas. Begitu banyak godaan yang saya dapatkan dalam hidup ini. Baik itu yangn kadarnya tendah maupun yang begitu berat. Apalagi ktika saya memilih untuk menempuh jalan dalam hidup membiara. Namun sebagaimana yang dikatakn oleh Thomas begitu pula yang terjadi dengan saya. Godaan-godaan tersebut menjadi pelajaran yang berguna bagi saya dan tentunya njuga bagi orang lain. Ketika pertama kali memilih untuk masuk CICM, saya berpikir untuk sama sekali tidak melamar untuk masuk  dalam jalan tersebut. Hal utama yang mengganggu pikiran saya adalah bagaimanakah jika suatu saat nanti saya dikeluarkan? Sebenarnya hal ini merupakan hal sepeleh bagi orang lain tetapi tidak bagi saya. Baik orang tua mauoun keluarga saya yang lainnya sangat mendukung bahkan memperingatkan saya agar terus berjalan di jalan ini. Hal yang saya takutkan adalah apakah mereka akan tetap menerima saya sebagaimana biasanya apabila suatu saat nanti saya dikeluarkan dari biara?
Namun, seiring perjalanan waktu, oemikiran tentang dikeluarkan dan ditolak oleh keluarga dilupakan karena saya bahagia dengan kehidupan saya yang sekarang dan saya sangat menikmaati dalam hidup membiara. Namun, godaan demi godaan semakin banyak yang datang. Ketika saya mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan OMK, sebagaiamana manusia pada umumnya, saya mulai tertarik pada seorang lawan jenis. Bahayanya bahwa ia juga menyatakan hal yang demikian. Hal inilah yang menjadi factor utama yang membuat saya berpikir lebih dalam lagi tentang panggilan hidup saya yang sebenarnya.
Dulu, saya sering mengatakan kepada teman-teman yang tertarik kepada kaum hawa bahwa, ingat kita lebih dahulu mengenal CICM daripada perempuan-perempuan yang baru kita kenal sekarang. Tetapi ketika saya mengalaminya, (tertarik kepada lawan jenis) pikiran saya pun berubah menjadi sebuah pertanyaan besar, mungkinkah Tuhan mengantar saya masuk ke dalam CICM untuk bertemu dengan si dia? Karena bagaimanapun juga saya tidak akan bertemu dengan dia apabila saya tidak menginjakkan kaki di Jakarta bersama dengan CICM. Bersamaan dengan perasaan galau akan pilihan ini, muncullah rasa bersalah dalam diri saya akan CICM. Begitu besar peran CICM dalam pendidikan saya tetapi inikah balasan saya, meninggalkan CICM begitu saja dan berpaling kepada si dia yang baru saya kenal setelah mengenal CICM?
Itulah godaan terbesar dalam menjalankan hidup membiara bagi saya. Jika waktu bisa berputar kembali maka saya akan memilih untuk tidak berkenalan dengan dia. Tetapi muncul lagi pemikiran lainnya. Apakah jiak, saya tidak mengenal kaum hawa lantas matangkah panggilan saya ini, bagaimana jadinya ketika sudah menjadi imam baru saya mengalami jatuh Cinta? Akhirnya kembali kepada nasihat Thomas a Kempis bahwa godaan-godaan tersebut menjadikan saya lebih dewasa. Apabila saya dapat melewati godaan tersebut maka merupakan suatu keajaiban besar dalam hidup saya. Jika memang tidak bisa saya hadapi maka saya hanya berharap agar Tuhan senantiasa menuntun saya untuk hidup yang benar dan menjalankan apa yang menjadi ajaran-Nya.







Sumber Acuan:


Kempis, Thomas a. Mengikuti Jejak Kristus. Jakarta: Obor. 2001. 

Selasa, 10 November 2015

PERANAN MUSIK DALAM LITURGI



Peranan penting musik liturgi dalam Vatikan II dirumuskan secara sistimatis bahwa musik bukanlah hanya sebagai tempelan agar liturgi menjadi lebih meriah, melainkan musik benar-benar sebagai bagian liturgi sendiri, yakni bagian liturgi yang penting dan integral (bdk. SC 112). Nyanyian kudus misalnya merupakan bagian dari Doa Syukur Agung sendiri yang secara mutlak harus ada.
Justru karena musik merupakan bagian liturgi sendiri, musik harus digunakan dan diadakan dalam rangka perayaan liturgi. Dalam istila tajam, musik harus melayani liturgi. Suatu pertunjukan orkes music yang amat indah, mengharukan dan membuat orang menangis tersedu-sedu dalam perayaan Ekaristi belum tentu merupakan  musik liturgi yang baik. Sebaliknya, suatu koor umat, dalam mana umat menyanyikan dengan gembira dan bersemangat, dengan seluruh jiwa raganya – walaupun lagunya hanya itu-itu saja belum tentu merupakan musik liturgi yang jelak. Criteria utama musik liturgi disini ialah bagaimana suatu lagu dan musik dapat membantu orang dalam berliturgi, yaitu berjumpa dengan Tuhan dan sesamanya.


PENGAMATAN SAYA SELAMA INI DI PAROKI STa. ANNA
Sejauh yang selama ini saya amati di paroki STa. Anna ternyata bahwa musik dalam perayaan liturgi khususnya dalam perayaan Ekaristu itu masih sangat kontrafersial. Artinya bahwa musik liturgi itu masih sangat di butuhkan namun di sisi lain umat tidak menginginkannya. Dua hal ini antara lain; yang pertama musik itu sangat dibutuhkan karena saat perayaan ekaristi berlangsung koor selalu ditemani dengan musik. Hal ini tidak pernah tidak terjadi karena yang pernah saya saksikan sendiri pada suatu hari minggu dimana koor yang bertanggung jawab saat itu pemusiknya sakit dan tidak bisa hadir, namun teman-teman anggota koor yang lainnya tidak diam begitu saja tetapi mereka lalu mencari dan meminta bantuan dari umat lain yang hadir saat itu. Karena itulah maka saya berani mengatakan bahwa di paroki STa. Anna masih sangat membuthkan musik dalam berliturgi. Atau misik masih berperan penting dalam liturgi di paroki STa. Anna.
Sedangkan yang kedua umat lainnya tidak menginginkan musik dalam liturgi terkhusus dalam perayaan ekaristi. Hal ini terlihat dalam bagian tata perayaan ekaristi dimana umat lain merasa bosan dan bahkan jengkel dengan imam yang bila memimpian perayaan ekaristi menyanyikan bagian-bagian yang dalam buku tata perayaan ekaristi itu dinyanyikan. Hal ini kadang kala membuat umat bersungut-sungut dan merasa bosan. Bahkan ada umat yang mengatakan “pd bangat nyanyinya tapi jelek juga suaranya”.
Dari kedua hal ini saya menyimpulkan bahwa di paroki STa. Anna masih minim pemahanman umat tentang musik liturgi.  Mengapa minim, karena pemahaman umat yang begitu sempit dengan musik liturgi itu sendiri. Maksudnya adalah umat melihat bahwa bila dalam perayaan ekaristi semuanya dinyanyikan hal itu hanyan menyita waktu saja dan menbosankan.
REFLEKSI
Merujuk dari kutipan buku diatas bahwa musik liturgi merupakan hal yang sangat penting dalam berliturgi. Artinya bahwa sebagai manusia kita tidak bisa melepaskan diri dari musik. Karena tidak ada satu kelompok pun yang tidak mengenal musik. Musik selalu menjadi bagian ungkapan  atau alat bantu untuk komunikasi manusia. Karena apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dapat disampaikan melalui musik. Musik benar-benar bagian simbolisasi manusia. Itulah sebabnya, gereja menggunakan musik sebagai salah satu bentuk ungkapan perayaan iman.
Tetapi jika saya melihat prolem yang terjadi di paroki STa. Anna yakni tentang musik liturgi, saya melihat bahwa hal tersebut terjadi karena keadaan atau tempat yang tidak memdukung bagi umat. Artinya bahwa secara realita utam yang ada di Jakarta khususnya kebanyakan lebih sibuk dengan pekerjaan bahkan lebih mengutamakan pekerjaan. Sehingga bila dihadapkan dengan hal seprti ini, mereka merasa bahwa waktu mereka tersita dan terbuang begitu saja tanpa mendapatkan apa-apa.

Untuk mengatasi masalah ini maka umat harus lebih dikenalkan dengan liturgi agar dapat mengerti dam memehami arti liturgi yang sebenarnya. Artinya bahwa umat harus mendapat suatu pelajaran yang khusus tentang liturgi pada umumnya agar dapat mengetahu bahwa liturgi merupakan ungkapan hati antara manusia dan tuhan dan antar sesamas.

Khotbah Minggu BIasa X



______________________________________________________________________________



Bacaan I   :     1Raj. 17: 17- 24
Bacaan II :     Gal. 1: 11- 19.
Injil           :     Luk. 7: 11- 17.


1.      Pembuka
            Ketika masih duduk di bangku SD kelas 2, saya terkena penyakit muntaber yang membuat hidup saya hampir saja berakhir pada saat itu. Salah satu orang yang sangat panik dan kuatir atas keadaan saya pada saat itu adalah ibu saya. Dalam keadaan saya yang sudah parah itu, Ibu beserta bapak, mengantarkan saya ke sebuah rumah sakit swasta yang sangat jauh letaknya dari desa kami. Pada saat itu saya merasa bahwa hidup saya tidak akan bertahan bila saya harus diantar ke rumah sakit swasta tersebut. Dan apa yang terjadi, dalam perjalanan tersebut, tiba-tiba saja saya meminta air kepada ibu saya. Lantas, ibu menyuruh sopir untuk berhenti sejenak agar ibu bisa mampir di sebuah rumah dan meminta air hangat. Setelah mendapat air tersebut, sang tuan rumah menghampiri mobil kami dan bertanya kepada ibu saya tentang penyakit apa yang saya derita. Ibu menceritakan apa yang sedang terjadi pada saya. Spontan, sang ibu tersebut langsung menganjurkan kepada ibu saya agar mengantarkan saya ke rumah sakit negeri yang ada di tempat tersebut karena sudah banyak orang yang penyakitnya seperti saya tertolong disana.
            Ibu mengantarkan saya ke rumah sakit tersebut. Setelah para perawat berusaha keras untuk menemukan pembuluh nadi saya untuk diinfus salah seorang dokter berkata bahwa untung anak ibu cepat diantarkan kesini, terlambat sedikit lagi bisa berakibat fatal.

2.      Analisis Kesenjangan Antara Cita-cita dan Realitas
Seandainya kejadian dalam Injil Lukas tadi menimpa diri kita apa yang akan kita buat? Atau apa yang kita rasakan dalam situasi seperti itu?
Kita semua tahu, bahwa Ibu adalah sosok yang  tidak kenal putus asa dan selalu mempunyai harapan. Bayangkan saja, seandainya waktu itu ibu melihat saya dalam kondisi yang sudah parah dan ia berkata “sudahlah, kita serahkan semuanya pada Tuhan”,  maka saya tidak tahu lagi bagaimana kelanjutan ceritanya. Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam kesembuhan saya. Tentu saja Tuhan ikut campur di dalamnya, tapi Ia juga mengharapkan agar kita juga bisa berusaha untuk mendapatkan yang terbaik buat diri kita. Dan ibu bukanlah seorang tipe yang mudah putus asa.
Pengalaman yang saya alami pada saat itu tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja baik oleh saya, ibu dan ayah saya. Kita semua yang hadir pada saat ini juga mungkin pernah merasakan sentuhan Tuhan dalam hidup kita sebagaimana yang saya alami. Entah itu dalam hal yang besar maupun dalam hal-hal kecil. Tapi saya yakin, bagi orang yang percaya kepada-Nya, Tuhan akan selalu hadir untuk membantu dan berkata “ Hai AnakKu, Aku berkata kepadamu, Bangkitlah!”.

3.      Mendengarkan Pesan Sabda Allah
Dalam bacaan injil tadi kita mendengarkan bahwa Tuhan membangkitkan anak dari janda tersebut dengan sabdanya “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, Bangkitlah!.” Kita semua bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang janda yang hanya mempunyai satu anak dan kini anaknya tersebut harus meninggal. Betapa kesepiannya hidup sang janda tersebut.
Secara garis besar di perikop yang pertama (Luk 7:11-17), dikisahkan bagaimana Kristus melakukan inisiatif terlebih dahulu untuk menolong janda yang berduka karena anak laki- lakinya yang tunggal telah wafat. Kehilangan anak laki- laki satu- satunya merupakan pukulan terbesar dalam kehidupan seorang janda; yang artinya ia kehilangan segala- galanya. Dikatakan bahwa Yesus ‘tergerak olah belas kasihan’ (ay. 13). Maka Yesus bukannya tidak pernah turut merasakan penderitaan kita manusia, yang terjadi karena cinta. Ia turut merasakan pedihnya perpisahan antara anak- anak dan orang tua karena kematian, dan karena itu Dia mengalahkan maut untuk memberikan kehidupan kekal, agar dapat mempersatukan kembali mereka yang saling mengasihi tersebut.
Dalam injil tersebut dikisahkan Yesus menaruh belas kasihan kepada janda itu, dan ia menghiburnya sambil mengatakan “Jangan menangis”, seolah hendak mengatakan, “Aku tak mau melihat engkau menangis. Aku datang ke dunia untuk membawa sukacita dan damai sejahtera.” Dan lalu terjadilah mujizat, yang menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan, sebab Ia dapat membangkitkan anak muda yang sudah mati itu. Namun sebelum mujizat itu terjadi, Yesus menaruh belas kasihan terlebih dahulu, yang menjadi tanda kasih Kristus kepada manusia.
Dari perikop ini kita mengetahui bahwa Yesus peduli akan kesedihan kita, yang disebabkan karena ditinggal oleh orang yang kita kasihi, atau masalah kesehatan, masalah keluarga ataupun pekerjaan- yang mengakibatkan kita merasa kehilangan segala- galanya, seperti janda itu. Tuhan Yesus berbelas kasihan kepada kita, dan dengan kuasa-Nya Ia dapat menolong kita memberikan jalan keluar, dan bahkan mujizat, sebab Ia adalah Tuhan.
4.      Mengantisipasi Konsekuensi dari Mendengarkan Sabda Allah.
Hari ini minggu biasa X dan kita semua diajak, melalui bacaan injil tadi untuk berbela rasa, mengulurkan tangan kita kepada sesama kita yang membutukannya. Kita adalah agen Tuhan di dunia ini. Dan sebagai seorang agen kita tidak bisa tinggal diam di rumah dan sibuk dengan diri kita sendiri. Karena kita semua adalah makhluk social maka anda dan saya bisa menggunakan rasa solidearitas itu untuk membantu sesama yang berkekurangan.
Sikap yang demikian bisa kita lihat dari kehidupan Tuhan Yesus sendiri dalam karya dan pelayanan-Nya ketika berada di Nain. Melihat ada seorang janda yang kelihangan anak laki-laki, anak tunggalnya, Yesus merasa tersentuh hati-Nya. Dan belas kasihan itu mendorongnya berbela rasa dengan ibu yang berkabung itu dengan mengatakan “jangan menangis”. Tidak cukup berhenti pada kata-kata penghiburan itu saja, Yesus melanjutkan belas kasih-Nya dengan membangkitkan anak laki-laki itu. Dia bisa saja hanya berkata “bangkitlah” pada anak itu. Tapi, itu tidak dilakukan-Nya. Yesus menyentuh anak itu terlebih dahulu. Sentuhan itu memiliki daya dan kekuatan besar tidak saja bagi anak yang sudah meninggal, namun pasti juga bagi ibunya. Yesus memberi teladan kepada kita, perhatian dan sentuhan kasih-Nya adalah wujud keterbukaan hatinya bagi sesama. Sentuhan itu bisa menghidupkan, karena dengan sentuhan orang memberi diri bagi orang lain. Oleh karenanya, Mari meneladani Dia. Dengan memberikan sentuhan kasih yang berguna untuk kehidupan. Marilah kita sampaikan juga apa yang disampaikan oleh Yesus kepada anak tersebut “Bangkitlah” kepada sesama kita yang berkekurangan dengan sentuhan kasih sayang kita.
5.      Penutup
Kisah nyata tentang kehidupan saya pada awal kothbah tadi merupakan salah satu contoh dari sentuhan kasih dari seorang ibu yang memberikan seteguk air hangat kepada saya. Kepedulian dari sesama terhadap kita atau kepedulian kita terhadap sesame menjadi kunci utama untuk berbela rasa.
Sikap berbela rasa tersebut bisa  kita tumbuhkan pertama-tama dalam hati, kemudian ke dalam  keluarga dan akhirnya ke lingkungan yang lebih luas. Marilah saudara-saudara sekalian, mulailah dari sekarang tumbuhkan semangat untuk berbela rasa terhadap sesama kita. Karena semua orang membutuhkan sentuhan kasih sayang dari kita. Tuhan tidak pernah tutup mata bagi orang yang ingin berkorban untuk sesamanya.