Minggu, 19 Mei 2013

Asas Pemikiran Pancasila (Suatu Tinjauan Filosofis menurut Driyararkara)



Asas Pemikiran Pancasila
(Suatu Tinjauan Filosofis menurut Driyararkara)

A.  Pendahuluan
            Salah satu pertanyaan pokok yang perlu dijawab adalah mengapa kita perlu pancasila sebagai pedoman hidup sehari-hari? Apa perlunya berbicara mengenai Pancasila? Apa relevansinya? Apa gunanya? Jawaban atas pertanyaan ini terkait dengan paham yang selama ini saya anut bahwa Pancasila dipandang sebagai ideologi bangsa Indonesia dan acuan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Tampak sekali di sini bahwa pancasila bukan melulu menyangkut persoalan praksis/ teknis saja. Oleh karena itu, di sini  kita akan memperluas cakrawala pemahaman mengenai segi fundamental Pancasila yang mendasari norma-norma konkret yang di tataran praksis.
            Tidak bisa disangkal bahwa berbagai masalah dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sebagian besar bersumber dari kesalahan kaprah terhadap Pancasila. Pancasila seringkali dijadikan alat politik  ketimbang sebagai ideologi yang segi hakikinya lahir dari human nature masyarakat Indonesia sendiri. Di lain pihak, pemahaman terhadap Pancasila itu sendiri masih begitu dangkal. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan masyarakat mudah ikut arus dan berperilaku berakarkan pada kedangkalan pemahaman tersebut. Dengan alasan-alasan demikian tak dapat dielak jika Pancasila mengalami kejenuhan.
            Barulah mulai tahun 1966 tersebar kerinduan yang maha luas untuk memurnikan Pancasila. Kerinduan ini dipicu oleh Gerakan 30S/PKI yang sarat dengan peristiwa polemik politis.  Kerinduan tersebut tampak konkret dalam Pembentukan Front Pancasila, Simposium Kebangkitan Semangat ’66, Menjelajah Tracee Baru, dan sidang MPRS[1]. Adapun yang menjadi inti kerinduan tersebut adalah bahwa kehidupan kenegeraan dan kebangsaan haruslah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dari manakah kita memulai perubahan tersebut?
            Menurut penulis, obat mujarab untuk mengatasi krisis atau alienasi nilai-nilai luhur Pancasila itu adalah pembenahan cara pandang dan perilaku hidup secara fundamental dan radikal dari manusia Indonesia. Di butuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup yang baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya dibutuhkan cara pandang yang murni  dan fundamental yang menuntun masyarakat Indonesia dalam kehidupan Negara RI.
            Terkait dengan hal itu, kaidah-kaidah pemikiran yang jernih tentang Pancasila pada era ini dapat ditemui dalam kecakapan berfilsafat seorang Driyarkara. Dia mampu membedah Pancasila dengan disiplin analisis filosofis  yang ketat. Dalam tulisannya yang bertema “Pemikiran Pancasila Sesudah 1965”, ia mengumpas tuntas dan menyerambahi ruang Pancasila dengan pertanggungjawaban yang rational-filosofis.
Untuk itu, dalam makalah ini penulis banyak menyadarkan diri pada pandangan Driyakara tersebut dalam menganalisis Pancasila dalam dinamikanya pada era sekarang. Namun, penulis menyadari gagasan Driyarakara mengenai Pancasila amat luas dan kaya sehingga sulit dijangkau secara komprehensif. Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis hanya menaruh perhatian pada sub tema tentang “Pancasila dan Pedoman Hidup Sehari-Hari”(pernah dimuat sebagai 11 seri tulisan dalam majalah Hidup Katolik, edisi 5 Juni 1966-28 Agustus 1966).
Adapun tulisan ini dimulai dengan pendahuluan. Kemudian mengangkat soal profile seorang Driyarkara. Disusul dengan situasi atau konflik-konflik yang menandai gagasan dan praksis Pancasila dan analisis-analisis Driyarkara mengenai isi sikap Pancasila yang terkandung dalam lima sila. Pada bagian terakhir, penulis mengemukakan relevansi dan refleksi kritis dari judul yang diangkat dalam tulisan ini.
B. Latar Belakang Driyarkara
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan[2]
Drijarkara lahir di lereng pegungungan Menoreh, tepatnya di desa Kedunggubah, kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juni 1913. Ia diberi nama Soehirman. Saat kecil, ia lebih sering dipanggil Djenthu; yang berarti kekar dan gemuk.  Baru ketika masuk novisiat SJ di Girisonta, Djenthu menamakan sendiri dirinya: Drijarkara.
Semula Drijarkara bersekolah di Volksschool dan Vervolgschool di Cangkrep. Itu semua harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Pada tahun 1929, Drijarkara masuk Seminari Menengah di Yogyakarta. Setelah tamat ia melanjutkan pendidikan calon imamnya dengan bergabung ke SJ. Ia menempuh dua tahun masa Novisiat (St. Stanislaus Kostka, Girisonta) kemudian satu tahun masa Yuniorat: belajar bahasa Latin, Yunani Kuno serta sejarah kebudayaan Timur dan Barat sebagai persiapan studi filsafat. Sesudah itu selama tiga tahun (1935-1941) ia belajar filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang waktu itu disebut Ignatius College.
   Sesudah tamat studi filsafat ia menjadi guru bahasa Latin dalam program humaniora di Girisonta selama satu tahun. Ia belajar kesusateraan Barat dan Timur. Selama di Girisonta ini, dalam bulan Maret 1942 ia mengalami masa-masa penyerahan tanpa syarat pemerintahan Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang. Antara tahun 1942-1943 ia belajar teologi di Xaverius College Muntilan yang akhirnya pada tahun yang sama sekolah ini akhirnya ditutup oleh Jepang.  Driyarkara sempat tinggal di beberapa waktu di Mendut dekat candi Borobudur. Dari situ, ia dipanggil ke Yogyakarta berhubung para misionaris Belanda termasuk dan dosen-dosen filsafat harus masuk interniran (tahanan kolonial). Driyarkara yang adalah seorang pribumi  harus menggantikan peran mereka sebagai dosen filsafat di Seminari Tinggi. Sementara itu, ia banyak belajar sendiri teologi sebagai persiapan untuk ditahbiskan. Ia ditahbiskan pada tanggal 6 Januari 1947 oleh Mgr. Soegijapranata SJ. Drijarkara melanjutkan kembali studi teologi pada 1947-1949 di Maastrich, Belanda. Kemudian pada 1950-1952 ia diutus untuk studi filsafat di Pontificia Università Gregoriana, Roma dengan disertasi ‘Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian Tuhan Menurut Malebranche.”[3] Ia meninggal dunia di RS Carolus, Jakarta pada 11 Februari 1967 karena sakit dan dimakamkan di Tanah Abang, kemudian dipindahkan ke kompleks pemakaman “Getsemani” di Girisonta, Jawa Tengah. Meski meninggal pada usia yang tergolong muda, 53 tahun, ia menyumbangkan gagasan berharga bagi bangsa Indonesia dan kemanusiaan pada umumnya.  

2. Riwayat Pekerjaan:
Drijarkara dikenal sebagai imam, filsuf, dosen, guru besar, pengisi pidato radio RRI, dan pejabat pemerintahan. Secara kronologis, riwayat pekerjaannya ialah:   
1955-1967 Pendiri dan rektor FKIP Sanata Dharma
1960-1967 Dosen filsafat di Universitas Indonesia, Universitas Hassanudin Makassar dan St Louis University di  Amerika Serikat
1962-1967 anggota MPRS fraksi Golongan Karya
1965-1966 angggota DPA
1969 piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian, dan Ilmu Pengetahuan dari Mendikbud
1999 anugerah Bintang Jasa Utama dari presiden RI, B. J. Habibie

C. Konflik-Konflik Mengikuti Gagasan dan Praksis Pancasila
            Agar mempunyai pemahaman yang jelas tentang pandangan filosofis Driyarkara mengenai Pancasila, baiklah kita mengenal situasi umum Indonesia saat itu. Lantas yang menjadi pertanyaan pokok adalah manakah motivasi Driyarkara untuk membangun pemahaman filosofis mengenai Pancasila pada saat itu?
            Pada tahun 1966 tersebar kerinduan akan pemurnian Pancasila baik dalam pemikiran maupun pengaktualisasianya. Praktik-praktik kenegaraan dan kehidupan kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah mendorong dilakukannya perubahan-perubahan yang tidak saja mendasar tetapi juga menyeluruh dalam tata kehidupan bangsa dan negara RI. Perubahan itu tidak hanya di bidang ideologi dan politik tetapi juga di bidang-bidang lain yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial budaya[4].
            Ada sekurang-kurangnya dua alasan substansial yang dapat menerangkan munculnya kerinduan untuk pemurnian Pancasila. Pada prinsipnya alasan-alasan tersebut sangat kompleks dan saling kait mengait sehingga tidak bisa disederhanakan begitu saja. Misalnya tidak bisa dikatakan bahwa alasannya adalah kepentingan politik Orde Lama.
            Alasan pertama yang mungkin munculnya semangat kembali kepada Pancasila adalah ketidakpuasan dan kekacauan di bidang politik. Pada era sebelum tahun 1966, masyarakat Indonesia terkotak-kotak dalam pemisahan politik ideologis, yang berhadapan sebagai lawan politik. Suasana revolusioner, pertentangan antar kelas dan ganyang-menggayang antar-kekuatan politik atau kelompok dalam masyarakat[5].
            Yang paling membahayakan adalah menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam masyarakat. Komunis tidak pernah merupakan salah satu paham politik biasa, melainkan ideologi yang mencari kekuasaan eksklusif. Lenin, seorang komunis, secara eksplisit menolak demokrasi. Ia mendasarkan kekuatan mutlak pada teori tentang “kediktatoran prolektariat”. Dengan demikian, partai-partai komunis di seluruh dunia dianggap tidak termasuk kekuatan-kekuatan demokratis. Dengan kata lain, kaum komunis sejak semula disadari sebagai suatu bahaya, suatu kekuatan yang dikendalikan dari jauh, yang dengan segala caranya sendiri berusaha untuk mengarahkan perkembangan masyarakat ke tujuan komunisme[6].
            Dengan tujuan yang demikian, menjadi jelas bahwa indoktrinasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari strategi komunisme. Indoktrinasi, sebagaimana yang dipandang Driyarkara adalah menyebabkan pikiran sempit, mengurangi kemampuan dan selera berpikir kritis, menyebabkan berpikir dengan skablon (sablon) dan lama-kelamaan menyebabkan depersonalisasi[7]. Indoktrinasi juga tidak lain adalah perkosaan human mind[8].  Inilah yang menjadi sasaran “celotehan” kritis Driyarkara yang mengakui paham humanisme yang religius dan sosialistis.
            Alasan kedua yang mungkin adalah kelemahan lembaga kepemerintahan. Ada sinyalemen yang memperlihatkan bahwa  sejak pasca kemerdekaan, kharisma Pancasila sebagai ideologi negara mencapai ambang kejenuhan.  Sebab Pancasila lebih dominan dipandang sebagai alat politik oleh kaum elite negara  untuk membentuk taktik politis, seperti misalnya hanya sebagai alat pemersatu, yang membawa konsekuensi bila Indonesia telah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Kebanyakan orang juga memandang Pancasila hanyalah sampai taraf legal formal saja , tetapi tidak dalam praktik sehari-hari[9].
            Kelemahan kepemerintahan itu juga terlihat nyata dalam acara gonta-ganti sistem ketatanegaraan. Demokrasi Parlementer yang menjenuhkan beralih ke Demokrasi Terpimpin ternyata hasilnya sama saja.  Tidak ada perubahan yang substansial dalam kehidupan negara RI. Selain itu, korupsi dilembaga pemerintahan menjadi  borok yang menebarkan isu tak sedap bagi negara yang masih belia karena baru saja merdeka.  Driyarkara menjuluki korupsi sebagai “penyakit”. Tentu saja, jika mengharapkan berdirinya suatu negara yang sehat, syarat yang paling mutlak adalah pemberantas penyakit ini[10].
            Kurang lebih dua alasan ini tersebut menjadi biang dari penyimpangan terhadap Pancasila. Penyimpangan tersebut dalam pandangan Driyarkara disebut sebagai deviasi. Driyarkara menggolongkan deviasi menjadi tiga bentuk, yakni pengurangan, penambahan, dan penggantian (substitusi). Deviasi pengurangan, misalnya Pancasila dikatakan hanya sebagai alat pemersatu saja, sedangkan deviasi penambahan di dalam Pancasila terkandung dalam Nasakom (Nasionalisme, agama, dan Komunisme). Adapun deviasi substitusi  terjadi kalau orang mengganti arti-arti dari Pancasila.
            Dengan demikian, dua alasan tersebebut tidak menutup kemungkinan adanya  sebab-sebab lain yang menjadi asal gairah  munculnya pemahaman filosofis Driyarkara mengenai Pancasila. Penulis hanya melihat dua situasi ini menjadi unsur dominan dalam percaturan politik kala itu. Sebab  lain itu bisa menyangkut keprihatinan pribadi seorang Driyarkara yang tidak bisa diterangkan pada bagian ini.


D. Kodrat Manusia sebagai Dasar Pancasila
            Pancasila dalam pandangan Driyarkara melekat pada keberadaan manusia atau pada kodrat manusia. Untuk menguraikan pandangannya tentang Pancasila, Driyarakara terlebih dahulu menyelidiki tentang kodrat manusia. Ada dua pertanyaan pokoknya mengenai kodrat manusia, (mengikuti Max Scheller) yaitu apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas? Menurut Driyarakara, Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat sebetulnya merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut[11].
            Dia membuka renungannya dengan menanyakan diri sendirinya sendiri, di manakah dia sekarang berada? Maka dia akan menjawab saya berada  di ruang kuliah di Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Di mana Yogyakarta itu? Di pulau Jawa. Di mana Pulau Jawa itu? Di Indonesia. di manakah Indonesia itu? Di Asia. Di manakah Asia itu? Di bola dunia. Jadi keberadaan saya itu ada bersama dengan dunia jasmani. Bagaimanakah keberadaan saya dengan dunia jasmani itu? Dia menjawab, saya memasuki dunia jasmani itu dan menjadikannya bagian dari diriku atau saya mendunia dan sekaligus memanusiawikan dunia jasmani itu. Kegiatan ini disebut membudaya yang menghasilkan kebudayaan. Hanya  dalam dan dengan membudayakan alam jasmani manusia bisa membudayakan diri sendiri. Sila-sila Pancasila sebenarnya merupakan hasil pembudayaan manusia dan memanusiakan diri dan memanusiakan dunia jasmani itu[12].
            Renungan berikutnya mengenai keberadaan saya bersama dengan orang lain. Dia mengatakan bahwa menurut ilmu jiwa eksperimental reaksi pertama-tama anak kecil adalah reaksi spesifik manusiawi yaitu reaksi terhadap suara manusia. Hal itu juga dapat dilihat dalam hal bahasa. Dalam bahasa dapat dilihat bahwa manusia itu menurut strukturnya adalah untuk ada bersama. Dengan membahasa orang keluar dari dirinya sendiri dan memasuki orang lain. Hal ini tampak juga dalam kesadaran manusia. Sadar berarti mengaku, yang artinya menghadapkan diri. Menghadapkan diri ini tidak kepada diri sendiri tetapi kepada orang lain. Jadi kalau saya sadar dan mengatakan aku berarti mengandaikan adanya kamu. Maka mengaku sekaligus mengkamu dalam situasi dialog yang sekaligus mengkita. Jadi menurut strukturnya  ada saya itu ada bersama manusia lain yang dasarnya cinta kasih. Memang saya bisa membenci orang lain, tetapi benci sebenarnya negatif cinta kasih. Maka menurut kodratnya ada saya bersama manusia lain dasarnya cinta kasih, yang kalau dipandang secara umum akan menjadi kemanusiaan. Kemanusiaan atas cinta sesama ini menjiwai setiap bidang kehidupan manusia. Cinta sesama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan melahirkan  keadilan sosial, dalam kehidupan sosial politik akan melahirkan demokrasi, dalam hidup berkelompok akan melahirkan kebangsaan, dan yang terakhir saya sadar bahwa saya ini serba terbatas dan serba tergantung, maka tak mungkin saya merupakan sebab dari ada saya sendiri. Tentu saya berasal dari ada yang tidak terbatas yaitu Tuhan sendiri. Jadi cinta sesama itu cinta yang terbatas yang berasal dari cinta tidak terbatas yaitu Tuhan[13].
            Demikianlah pada bagian ini menjadi jelas bahwa Pancasila menurut Diryarkara tidak lepas dari kodrat manusia. Inilah kebanggaan dia bahwa di Negara Indonesia hukum kodrat itu dirumuskan untuk pertama kalinya sebagai Dasar Negara dan dengan tepat dia menyebut Pancasila itu sebagai rumusan kodrat manusia dalam semesta realita. Jadi, barangsiapa mengakui keberadaan manusia dia sekaligus mengakui Pancasila.

E. Proses Lahirnya Pancasila  
            Kurang lebih Driyarkara menguraikan proses terbentuknya Pancasila seperti berikut ini. Pertama-tama, Pancasila dipungut dari realitas. Manusia dan memikirkan dan merefleksikan realitasnya. Kemudian lahirlah suatu pengertian atau suatu cara berpikir (idea, ideologi). Lantas, manusia berikhtiar untuk menggunakan pengertian (ideologi) itu sebagai “direction” dalam hidup sehari-hari. Dengan kata lain, pengertian tersebut menjiwai dinamika hidup manusia dan melahirkan sikap  dan kesiap-siagaan (ready for action)[14].
            Guna memperjelas hal tersebut, Driyarkara memperlihatkan suatu contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan, Amin mau mengendarai motor. Paling dasar, ia harus mempunyai pengetahuan tentang motor dan cara mengendarainya. Mengenai cara starter, mengendara di jalan rata, tikungan, dsb., pengaturan mesin, gigi, gas, dsb. Setelah itu, pengertian itu dia jadikan sebagai ”direction”  ketika sedang mengendarai sepeda motor. Contoh tersebut memperjelas bahwa Pancasila dipungut dari realitas bangsa Indonesia, sekaligus menjiwai dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Namun, patut dicatat bahwa realitas yang dimaksud Driyarkara adalah keadaan(realitas) yang terjadi sekarang dan realitas yang harus berkembang. Untuk sederhananya, kita paham dalam kalimat, “padi sudah mulai menguning”. Di situ terkandung realitas sebagai adanya dan apa yang masih akan terjadi[15]. Jadi, Pancasila yang telah dipungut dari realitas tersebut harus pula menjiwai semua tingkah laku dan sifat-sifat dari subjek kelompok dan individu dalam kehidupan praktis dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi[16].
            Dengan demikian, Pancasila formal perlu ditransfomasikan dalam hukum kenegaraan, ideologi bangsa, dan moral pribadi. Akan tetapi, Driyarkara tidak membahas secara mendetail tentang bagaimana Pancasila itu diturunkan ke dalam hukum kenegaraan, ideologi, dan moral bangsa. Di sini, dia hanya menekankan asas-asas dasar pemikiran mengenai norma hukum, ideologi, norma moral yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mempertanggunjawabkan setiap sikap dan tindakan di hadapan Pancasila.

E. Asas-Asas Dasar Sikap Pancasila sebagai Pedoman Hidup Sehari-Hari
            Kurang lebih permasalahan tentang Pancasila adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu secara tepat dan benar, sehingga betul-betul mampu mengangkat manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Driyarkara sendiri terkesan kurang berminat dalam persoalan proses tersebut. Namun, Driyarkara memberikan pisau bedah bagi kita sehingga mampu mengenal dan memberikan pertanggungjawaban rational-filosofis mengenai Pancasila. Untuk itu, persoalan yang pokok untuk kita adalah manakah tuntutan kodrat manusia (human nature) itu dalam pandangan  Driyarakara?Apakah tuntutan kodrat tersebut ada dalam Pancasila?
            Akan tetapi sebelum mendalami isi dan pertanggunjawaban filosofis dari semua tersebut, baiklah kita mencerna humanisme terlebih dahulu. Sebab keseluruhan isi sikap Pancasila jika secara padat dikatakan sebagai usaha menghumanisasikan manusia Indonesia. Humanisme itu sendiri berarti pandangan atau pendirian yang melihat dan mengakui bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai struktur sendiri di dalam dunia ini dan karenanya harus menuju ke status dan cara hidup yang sesuai dengan struktur itu[17]. Di sini tersirat dengan sendirinya suatu penolakan terhadap segala tindakan bersifat inhuman.
            Menurut Driyarkara humanisme Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia memiliki kekhasan dari bangsa-bangsa lain. Kekhasan itu terletak pada sifat religius dan sosialistisnya.  Sifat religius dari humanisme tersebut tampak dalam kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang mengakui Tuhan, meskipun di luar agama. Humanisme religius ini menutup ruang bagi humanisme yang ateistis yang mana keberadaan Tuhan dimungkiri sama sekali dan sikap fanatik agamis[18].
            Sedangkan sifat sosialistis memandang bahwa manusia hendaknya menyempurnakan, menghumanisasikan, memperkembangkan dirinya sendiri menurut tuntutan kodratnya. Jika demikian, maka humanisme menuntut struktur masyarakat yang sedemikian rupa sehingga tidak timbul macam-macam struktur yang menyebabkan manusia yang satu dijadikan alat oleh yang lain[19]. Namun patutlah kita tetap mencatat bahwa isme itu sendiri berarti soal perjuangan[20]. Dengan perkataan lain, humanisme itu sendiri masih, sedang dan akan diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia dibawah panduan Pancasila.
            Pandangan Driyarkara mengenai kodrat manusia (humanism) tersebut menjadi titik tolak untuk menarik benang merah dari kelima sila dalam Pancasila. Pertama, perlu diulangi lagi bahwa berdasarkan human nature  manusia ada bersama dengan orang lain (bukan individu). Adaku bersama dengan ada orang lain berarti membangun kebudayaan bersama, membangun rumah tangga bersama untuk keluarga dunia. Dasar untuk membangun kebudayaan bersama ini adalah cinta kasih. Cinta kasih dalam kesatuan dengan sesama pada umumnya disebut Perikemanusiaan.
            Perikemanusiaan dalam sila Pancasila juga mengandung arti untuk membangun keluarga yang meliputi seluruh bangsa manusia. Sangat wajar jika Pancasila mengakui internasionalisme  sebagai konsekuensi dari kesatuan berdasarkan human nature. Untuk itu, bangsa-bangsa tidak boleh mengisolir diri, keterlibatan dalam keluarga bangsa manusia tidak boleh dimotivasi oleh faktor untung-rugi, dan terlibat aktif dalam memajukan persaudaraan dunia.
            Kedua, perikemanusiaan berarti manusia harus memandang orang lain bernilai pada dirinya sendiri sehingga tidak boleh diperalat atau diperkuda demi kepentingan orang lain, maka prinsip ini menuntut pemerataan milik/ kekayaan. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui regulasi struktur masyarakat dan perekonomian yang menjamin kehidupan layak dan berkembangnya bakat-bakat manusia baik jasmani maupun rohani. Penjelmaan perikemanusiaan dalam sektor ini disebut keadilan sosial[21].
            Ketiga, apakah yang dapat menjamin berlangsungnya keadilan sosial tersebut? Menurut Driyarkara,  negara Indonesia adalah suatu subjek besar yang merupakan gabungan dari person-person. Sebagai suatu subjek yang dibentuk oleh person bukan individu, maka dalam kehidupan negara Indonesia rakyat harus dipandang sebagai person yang perlu dihargai sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Driyarkara menyebut dalam istilah yang khas bahwa manusia harus memandang orang lain sebagai saudara.
            Lantas untuk dapat berkembang, subjek besar yang bernama Indonesia membutuhkan organ-organ. Di Indonesia, Driyarkara menyebut pemerintah sebagai organ yang penting. Pemerintah adalah muncul dari rakyat (person-person). Karena itu wajib memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat.Untuk menjaga keseimbangan neraca tersebut, Driyarkara menyebut sikap kritik sebagai prasyarat utama. Kealpaan sikap kritik dengan sendirinya menyingkirkan humanisme. Maka rakyat harus berani memberikan kritikan kepada pemerintah. Sebaliknya pemerintah tidak boleh takut dan menganggap sepi saja berbagai kritikan. Hal ini hanya terjadi dalam sistem Demokrasi. Dengan demikian, demokrasi dapat menjadi jalan menuju keadilan sosial. Nantinya juga akan menjunjung tinggi perikemanusiaan itu sendiri.
            Keempat, Perikemanusiaan memang secara de jure mengarahkan kita kepada keluarga bangsa manusia. Namun de facto kita hanya dapat membentuk kesatuan, yang ditimbulkan oleh sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan, peradaban bersama dan lain-lain faktor dalam kelompok yang lebih kecil. Di dalam kesatuan itu, manusia (kita) mempunyai karateristik guna menyelenggarakan, merawat, memperkembangkan, menyempurnakan keselamatan orang lain (sesama). Karakter ini disebut fursorge (istilah yang dipinjam dari filsafat Heidegger, 1880). Inilah yang dimaksud Driyarkara sebagai Sikap Nasional yang tampak dalam kesatuan kelompok yang lebih kecil yang disebut bangsa Indonesia. Jadi sikap nasional adalah sikap yang menerima kesatuan yang ada menjadi objek dari fursorge. Maka yang paling diutamakan adalah keselamatan nasion/bangsa. Di sinilah manusia menjalankan perikemanusiaan yang konkret.
            Kelima, manusia menyadari bahwa adaku itu ada bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba-tergantung.  Jadi adaku itu tidak sempurna, tidak atas kekuatan sendiri. Ketidaksempurnaan ini terlihat ketika aku (manusia) menyadari bahwa dia muncul, dia berkembang, dia surut, dia akhirnya bahkan tiap-tiap saat dia bisa mati. Jadi aku (manusia) bukanlah sumber dari adaku. Semua hal terbatas justru  karena terbatasnya tidak mungkin sumber adaku, tak mungkin memberikan sumbangan terakhir. Yang dapat menjadi sumber adaku pada akhirnya hanyalah Ada yang Mutlak, Sang Maha Ada. Sang Mahaada bukanlah sesuatu, melainkan Pribadi yang Mahasempurna. Itulah Tuhan yang Maha Esa. Adaku yang berupa cinta kasih itu sebetulnya adakah cinta kasih kepada Sang Maha Cinta Kasih, Sang Maha Penyayang. Dalam pikiran ini, Driyarkara menemukan dasar adaku (manusia); jadi : dasar dari perbuatanku (manusia); jadi pelaksanaan  Perikemanusiaan, Keadilan sosial,  Demokrasi dan Kesatuan bangsa.
            Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa Driyarkara menekankan kodrat manusia  (ada bersama orang lain) sebagai asas pemikiran Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila adalah tidak lain daripada usaha untuk membangun persaudaraan atas dasar cinta kasih.

F. Relevansi Pandangan Driyarakara tentang Pancasila
            Renungan filosofis yang dibuat Driyarkara untuk menjawab pertanyaan “siapakah manusia itu?” yang mendasari dalil-dalil Pancasila rupanya masih relevan bagi kita saat ini. Pertama, karena di Indonesia kita persis selalu menyaksikan  tindak kekerasan dalam berbagai bentuknya. Begitu hampar alasan yang menyulut berbagai tindak kekerasan tersebut. Masih terekam jelas berbagai pristiwa tragis yang terjadi, kerusuhan yang disertai penjarahan, penganiayaan dan pemerkosaan (Mei 1998). Kemudian kekerasan yang terjadi karena konflik antar-etnis dan antar-agama (Pontianak, Sampit, Poso, Ambon). Aneka gerakan separatis dan fundamentalisme itu semakin mewabah pada akhir-akhir ini.            Tidak hanya itu. Kekerasan terlihat juga dalam berbagai ancaman terorisme, sikap pemerintah yang masih feodal, dan kebijakan politik yang masih terkesan pilih buluh. Kenyataan demikian memperlihatkan bahwa perikemanusiaan yang dibangun atas dasar cinta kasih sebagai konsekuensi berdasarkan human nature masih merangkak.
Pandangan Drijarkara bahwa manusia itu makhluk yang membudaya mengajak manusia semakin menjadi manusiawi dan dengan demikian menjauhkan diri dari sikap anarkis yang belakangan ini ditimbulkan oleh gerakan fundamentalisme. Negara Pancasila bukan negara teokrasi, bukan organisasi yang melaksanakan agama. Maka, sila ketuhanan misalnya tidak boleh direduksi dan diselewengkan menjadi cara melaksanakan ibadat. Pribadi manusia yang menganut ketuhanan tidak menyerang orang beragama lain, sebab ada kodrat ilahi dalam pribadi manusia. Berkaitan dengan sila kemanusiaan, manusia tidak boleh dijadikan sebagai obyek, terutama dalam bidang ekonomi, kita diminta untuk tidak melihat orang lain hanya sebagai alat penghasil suatu produk, tetapi melihatnya sebagai person, sebagai subyek (yang lain). Maka, setiap pemilik faktor produksi diminta memperlakukan tenaga kerjanya sebagai subyek atau sebagai rekan kerja. Melalui Pancasila, Drijarkara mengajak manusia memandang dimensinya secara utuh/tidak secara parsial, serta menjauhi dehumanisasi.
            Kedua, sulit disangkal bahwa korupsi masih menjadi penyakit kronis yang dialami bangsa ini. Hal tersebut karena beberapa faktor kondisional. Pertama, para warga negara ini umumnya sudah terjebak pada nilai dan orientasi yang mengagungkan harta dan kemewahan materi. Kedua, negara ini sudah terperangkap oleh sistem kekuasaan dan politik yang berbasis pada materi[22]. Entah bagaimanapun bentuk dan jenisnya, sudah pasti korupsi mencerminkan situasi ketidakadilan sosial. Korupsi menggambarkan sikap feodal yang tidak mau mempertanggungjawabkan segala hal yang berhubungan dengan urusan publik. Selain itu, terungkap pula tindakan “pengisapan” terhadap orang lain demi tujuan pribadi, kelompok ataupun golongan. Driyarakara pernah menghimbau bahwa jika ingin menyehatkan negara  ini, kita perlu mengobati penyakit ini secara radikal.
            Memang masih begitu banyak tersebar fakta sosial yang memperlihatkan terjadi deviasi terhadap Pancasila. Pada pokok relevansi di atas sengaja difokuskan pada soal kekerasan dan korupsi lantaran persoalan tersebut sangat mendominasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Selain itu, kedua persoalan tersebut amat menggoncangkan asas-asas pemikiran Pancasila menurut Driyarkara.
           
Daftar Pustaka
Tony, Widiastono(ed.). Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman. Jakarta: Gramedia. 1995.
Sudiarja dkk. (ed.). Karya Lengkap Driyarkara: Esai- Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006.          
P.J, Suwarno. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 1993.
Franz, Suseno. Komunisme (Diktat Sejarah Pemikiran Modern)
Laode ida, “Korupsi, Reformasi, Kekuatan Politik?” (Kompas, 15 Desember 2010)           
           


[1] Tony, Widiastono(ed.), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman,( Jakarta: Gramedia, 1995) hlm. 166
[2] Selengkapnya, lih. Danuwinata, dalam  Kata Pengantar, KLD xix-xlii
[3] Judul aslinya ialah: Participationis Cognitio In Existentia Dei Percipienda Secundum Malebranche Utrum Partem Habeat. Malebranche adalah  filsuf dan teolog Kristen dari Perancis (1638-1715). Proyek utamanya adalah menunjukkan partisipasi Tuhan dalam setiap hidup manusia. Pemikirannya dipengaruhi oleh Descartes dan Augustinus.
[4] Tony, Widiastono(ed.), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman,( Jakarta: Gramedia, 1995) hlm. 166
[5] Widiastono(ed.).,hlm. 196
[6] Franz, Suseno, Komunisme (Diktat Sejarah Pemikiran Modern) hlm.1
[7] Sudiarja dkk. (ed.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai- Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006 ) hlm. 885
[8] KLD, hlm. 888
[9] Tony, Widiastono(ed.), hlm. 167
[10] KLD,hlm. 891
[11] P.J, Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1993) hlm. 89
[12] Suwarno,hlm. 89
[13] Suwarno, hlm. 90
[14] KLD, hlm. 883
[15] KLD,hlm. 882-883
[16] Suwarno, hlm. 107
[17] KLD, hlm. 886-887
[18] KLD, hlm. 887
[19] KLD, hlm. 888
[20] KLD,hlm. 886
[21] KLD,hlm. 889-890
[22] Laode ida, “Korupsi, Reformasi, Kekuatan Politik?” (Kompas, 15 Desember 2010)

Selasa, 14 Mei 2013

Theophile Verbist


1.      Misi Theophile Verbist di Cina Mongol: Missionaris Eropa dan Imam-imam Cina
a)      Situasi di Daerah Misi

Dalam bermisi tentu saja seseorang akan mengalami begitu banyak tantangan. Salah satu tantangan terbesar yang dialami oleh Theophile Verbist dan kawan-kawan ketika tiba di Cina adalah bahasa. Dalam berkomunikasi, mereka menggunakan bahasa Latin baik secara tulisan maupun lisan. Meskipun demikian, tidak semua teman-teman Verbist mampu berbicara fasih dalam bahasa latin. Salah seorang missionaris yang pandai berbicara bahasa latin adalah Pierre Lin. Ketika mereka telah tiba di Cina, para imam-imam Cina memberikan informasi seputar keadan di Cina dan atau kejahatan-kejahatan yang sering terjadi di daerah misi. Para perampok sering kali mencuri perhiasan-perhiasan yang ada di Gereja, anggur-anggur dan benda-benda devosi.
Misi di Cina tidak berjalan dengan lancar karena terjadi konflik antara Imam-imam Cina dan Missionaris Eropa. Verbist dan kawan-kawan tidak dengan mudah dapat memberikan tanggung jawab kepada imam-imam Cina karena mereka lebih menghabiskan begitu banyak uang sebagaimana yang dilakukan oleh setiap orang Cina yang mempunyai uang. Atas dasar itulah maka Van Segvelt memperingati Verbist dengan menulis sebuah surat dalam bahasa Prancis yang kemudian diubah dalam bahasa jerman dengan maksud untuk mencegah apabila surat tersebut jatuh di tangan orang-orang Cina. Isi dari surat itu adalah: “janganlah memberikan begitu banyak kepercayaan kepada asisten-asisten kita yang berasal dari Cina. Saya mengetahui bahwa beberapa dari mereka sungguh-sungguh dapat dipercaya dan saleh, tetapi mereka tetaplah orang Cina dan yang terbaik dari mereka sekalipun tidak dapat dipercaya. Dan juga, pengetahuan mereka tentang hukum-hukum kanonik , Kitab Suci dan Teologi sangatlah minim sehingga bisa membuat mereka salah mengerti dalam menafsirkan segala sesuatu.” Setelah Verbist dan P. Lin membaca surat tersebut, Lin mengatakan bahwa ia tidak akan bisa menjawab apabila umatnya bertanya tentang perintah Allah dan Gereja, dan Van Segvelt kembali membalas surat tersebut: “Mintalah maka Allah Bapa di Surga akan mengirim lagi Putranya ke bumi untuk memberikan perintah yang baru kepada orang-orang Cina.”  
b)     Konflik Perasaan

Dalam sebuah surat yang ditulis pada tahun 1867 kepada Th. Verbist, G. Bray mengklaim bahwa F. Hamer mengambil dan membakar suratnya yang ditujukan kepada V. Fan ketika ia masih berada di distrik Heishui. Namun bagi Th. Verbist, alasan G. Bray ini sama sekali tidak masuk akal karena bagi Verbist, F. Hamer adalah orang yang  suci dan ia tidak mungkin mau melakukan hal tersebut. Apalagi surat G. Bray sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan Hamer. Dalam surat tersebut, G. Bray menulis bahwa V. Fan adalah orang yang selalu membuat permasalahan dan ia tidak layak menjadi seorang missionaris. Hal tersebut tentu saja ditentang oleh Verbist. Ia mengatakan bahwa itu adalah fitnah walaupun Verbist juga mengakui bahwa sikap Fan di seminari sama sekali tidak baik.
Lantas bagaiman dengan Pierre Lin? Sesuai dengan permintaan Verbist, ia telah meninggalkan distrik Xiwanzi dan bergabung dengan Verbist pada tanggal 19 november 1866. Pada tanggal 27, beberapa hari setelah kedatangan Lin, rombongan kedua dari missionaris CICM pun tiba. Mereka merayakan kedatangan ini dengan berpesta. Namun, dibalik kegembiraan tersebut ada sebuah permasalahan yang begitu besar. Permasalahan tersebut ditulis oleh Lin dalam sebuah surat yang ditujukan kepada F. Tagliabue. Lin mengatakan bahwa para missionaris yang baru tiba mengeluarkan begitu banyak uang sampai-sampai sekarang mereka tidak lagi mempunyai uang. Masalah ini membuat Verbist bingung dan ia sering kali melamun bahkan sampai-sampai lupa makan. Prokurator Pierre Zhao hanya mempunyai sedikit uang, dan uang yang dimilikinya tersebut tidak cukup untuk membayar utang-utang CICM. Hal tersebut tentu saja sangat mencemaskan bagi anggota-anggota CICM yang lainnya, sehingga ada yang berpikir untuk meninggalkan CICM. Selain surat tersebut, Lin juga menulis sebuah surat kepada G. Bray. Lin mengatakan bahwa Van Segvelt tidak menyukai Guandong dan ingin cepat pindah dari tempat tersebut serta F. Vranckx telah membuat sebuah masalah dengan imam-imam Cina.
Sebelum surat-surat tersebut dikirim, Verbist telah lebih dahulu mengetahui isi dari surat-surat tersebut. Akibatnya, surat-surat tersebut tidak jadi dikirim karena menurut Verbist, Lin membuat surat-surat yang mencemarkan nama baik orang. Lin mengakui kesalahannya dan memohon maaf kepada Verbist atas perbuataannya, serta meminta Verbist agar tidak mengirimkan surat tersebut kepada si alamat. Ia juga meminta kepada Verbist agar membuat surat rekomendasi karena ia telah merencanakan untuk meninggalkan vikariat (walaupun kenyataannya ia tidak meningggalkan Vikariat). Lin memanggil Verbist dengan julukan “Yang Mulia” dan ia menamakan dirinya sendiri sebagai “Pendosa yang Bertobat”. Verbist menyanggah julukan ini dan menyuruh Lin untuk mengganti “Yang Mulia” dengan “Bapa,” karena menurutnya kata itulah yang paling sesuai dengan sikap yang telah ia berikan baik kepada Lin maupun kepada imam-imam yang lainnya.

2.      Refleksi atas Misi Th. Verbist dan Missionaris lainnya di Cina

Menjadi seorang missionaris bukanlah sebuah hal yang mudah seperti yang dialami oleh Th. Verbist dan kawan-kawannya. Dan tentu saja hal tersebut tidak hanya dialami oleh para missionaris yang bermisi di Cina. Cina hanyalah salah satu dari sekian banyak tempat yang juga didatangi oleh missionaris-missionaris lain selain CICM. Tantangan utama yang dihadapi para missionaris sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian awal adalah bahasa. Sulit bagi para missionaris untuk mempelajari dengan cepat bahasa suatu daerah. Padahal, dalam bermisi, bahasa juga merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan sebuah misi. Namun, bagi Th. Verbist bahasa tidak menjadi halangan baginya untuk mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang di  Cina.
Di dalam matius 28: 16- 20, Yesus berpesan kepada para muridnya untuk pergi dan jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Maksud Yesus tentu saja bahwa misi ini tidak hanya dilakukan oleh para rasul yang pada saat itu ada dan hidup bersama-sama dengan Yesus, melainkan sabda Yesus tersebut menjadi relevan bagi siapa saja yang telah dibaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Yesus sendiri mengatakan bahwa mengikuti dia berarti siap menjadi domba yang diutus ke tengah-tengah serigala (Luk 10: 3). Mungkin kita bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kita terperangkap oleh serigala-serigala yang siap untuk menerkam kita. Dengan demikian, Yesus sendiri pun mengakui bahwa tidak mudah untuk menjadi pengikutnya apalagi harus melanjutkan karya keselamatan yang telah diwartakan oleh Yesus.
CICM mempunyai sebuah orientasi yakni mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Tentu saja hal ini tidak mungkin bisa terwujud. Namun dengan memberikan sebuah patokan yang tidak mungkin tersebut, Missionaris CICM mampu membuat suatu perubahan yang mendatangkan kebahagiaan bagi sesamanya. Saya secara pribadi sangat bangga menjadi seorang missionaris khususnya di dalam CICM. Beberapa minggu yang lalu diadakan sebuah pertemuan antara kami (fratres CICM) dengan provincial. Salah satu hal yang membuat saya tertarik adalah ketika Pater Provincial kami bercerita tentang kehadiran imam-imam CICM di kalimantan khususnya di Sungai Danau. Dikatakan bahwa sebelum paroki tersebut diambil alih oleh CICM, keadaan disekitarnya kurang baik karena terjadi konflik antara umat di dalam paroki itu sendiri. Namun, ketika CICM mulai mengambil alih paroki tersebut, perlahan-lahan situasi kembali menjadi normal dan situasi ekonomi paroki pun kembali stabil.
Cerita tersebut mungkin tidak terlalu berarti bagi orang lain, tetapi tidak demikian bagi saya. Saya merasa kalimat “mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus” tidak hanya menjadi slogan bagi para missionaris CICM melainkan juga diterapkan dalam kehidupan bermisi. Dan hal itu juga yang dilakukan oleh Th. Verbist dan kawan-kawan ketika bermisi di Cina. Membaca misi Th. Verbist di Cina dan cerita dari P. Provincial, menimbulkan sebuah pergolakan di dalam hati saya dan pergoalakan ini datang dari sebuah pertanyaan Apakah saya bisa menjadi seorang missionaris yang siap diutus ketengah-tengah serigala?
Untuk mengukur apakah saya benar-benar telah siap menjadi seorang missionaris tentu saja kita tidak bisa menggunakan mesin waktu untuk melihat masa depan saya dan mengetahui apakah saya layak ataukah tidak. Melainkan dari situasi kehidupan sehari-hari, mulai dari seminari menengah sampai seminari tinggi. Pada akhirnya saya sendirilah yang menilai diri saya sendiri. Apakah selama ini saya mampu mengerjakan hal-hal kecil yang dipercayakan kepada saya dengan baik? Ataukah keterlibatan saya dalam apostolat sangat aktif ataukah sering kali mengeluh karena hal tersebut menyita banyak waktu saya untuk berkumpul bersama teman-teman?
Dalam bermisi juga dibutuhkan komunikasi yang baik antara sang misioner dan umat dimana ia bermisi. Allah telah mengaruniakan alat-alat ini demi karya kerasulan, dan karenanya kita harus mendayagunakannya seperti Yesus dulu sudah mendayagunakan semua sarana yang tersedia pada zaman-Nya untuk mengomunikasikan amanat[1]. Dalam segala kesulitan yang akan saya hadapi di daerah misi, salah satu hal yang juga bisa saya gunakan untuk membantu saya adalah komunikasi. Untuk berkomunikasi dengan baik dan benar tentu saja saya harus mempunyai banyak pengalaman tentang berkomunkasi itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa kami juga diikutkan dalam beberapa kegiatan pastoral, entah itu di sekolah-sekolah atau di paroki-paroki. Selain itu, kita juga hendaknya mampu menggunakan alat-alat komunikasi yang ada sekarang dalam memberitakan kabar gembira Yesus Kristus. Akhirnya, sebagai seorang calon missionaris CICM yang juga ingin mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus, saya akan mengembangkan potensi-potensi yang saya miliki untuk mendukung saya dalam bermisi nanti.


Sumber
Eilers, Frans-Josef. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi. Yogyakarta: Kanisius. 2008. Kitab Suci Perjanjian Baru.
Pycke, Nestor. Theophile Verbist’s Adventure. Leuven: Ferdinand Verbist Institute. 2009.



[1] Frans-Josef Eilers, berkomunikasi dalam pelayanan Misi, hlm. 17