EKSISTENSI
ALLAH MENURUT MASYARAKAT LAMAHOLOT
(LERA WULAN-
TANA EKAN)
I.
PENDAHULUAN
Pengalaman beragama setiap daerah
berbeda karena latar budaya yang beraneka- ragam itu mempunyai cara
pengungkapan yang berbeda-beda tentang wujud tertinggi atau yang Ilahi. Cara
serta simbol yang dipakai memang berbeda-beda, namun esensi dari pengungkapan
itu ialah bahwa “yang Ilahi” itu adalah kudus, suci dan sakral[[1]].Ketiga
kata inilah yang paling mendekati ciri khas pengalaman beragama.
Sebutan atau nama yang dikatakan
pada sesuatu itu sungguhlah bermakna. Demikian pun masyarakat Flores Timur yang
menyatu dalam satu rumpun budaya Lamaholot[[2]]
mengenali Allah sehingga sampai pada pemahaman mereka akan adanya Allah dengan
sebutan ”Lera Wulan Tana Ekan ”.
Ungkapan ini sungguh mendarah daging
dalam diri setiap warga Lamaholot, yang diakui sebagai ”Yang Kudus, Suci dan
Sakral”. Dengan ungkapan ini, pemahaman mereka tentang Allah itu penuh rahasia
dan tidak terbatas kesempurnaannya. Namun yang ”Ilahi” itu mereka alami di
dalam dan melalui pengalaman tentang dunia yang mereka kenal. Yang Ilahi dapat
kita alami melalui hal-hal alamiah atau duniawi namun sifatnya tidaklah
duniawi. Ini terbukti dari sifat hormat dan sembah sujud terhadapNya.
II.
SEKILAS LETAK GEOGRAFIS KABUPATEN FLORES TIMUR
Kabupaten Flores Timur terbentuk bersamaan dengan terbentuknya propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) yang adalah hasil pemekaran dari Sunda Kecil, sekitar
50 tahun yang lalu. Seperti yang digambarkan oleh namanya, kabupaten ini
terletak di ujung timur Pulau Flores. Awalnya, kabupaten ini terdiri dari
daratan Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau
Lembata. Beberapa tahun yang lalu, Lembata menjadi Kabupaten sendiri. Walaupun
demikian, kesatuan keempat daratan ini masih terasa sampai saat ini.
Ibu Kota kabupaten Flores Timur
adalah Larantuka, sebuah kota pelabuhan kecil sejak abad XV yang terletak pada 8,4 derajat lintang selatan dan 123 derajat
bujur timur. Sisi selatan kota ini langsung turun ke laut, sedangkan utara
langsung mendaki Gunung Mandiri. Masyarakat yang mendiami kabupaten ini adalah
masyarakat Lamaholot hampir di semua desa dan kampung di kabupaten ini. Sedangkan
Larantuka, kota kabupaten, sebagian besar didiami oleh masyarakat Melayu.
Selain di kota Larantuka, masyarakat terakhir (Melayu) ini berdiam pula di Desa
Wureh dan Desa Konga.
III. LERA
WULAN TANA EKAN
Sebelum mengenal agama-agama besar
seperti; Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, orang Lamaholot sudah mengenal
Tuhan. Agama suku dan agama asli mengakui adanya Tuhan yang diyakini secara
turun-temurun sejak zaman purba dan masih diakui sampai sekarang. Orang
Lamaholot meyakini bahwa keberadaan manusia serta alam semesta merupakan hasil
ciptaan dari suatu kekuatan Mahabesar dan Mahadahsyat yang berada di luar
dirinya.[3]
Orang lamaholot menyebut kekuatan itu dengan nama Lera Wulan Tana Ekan.
Kepercayaan masyarakat Lamaholot mengenai ungkapan Lera Wulan Tana Ekan ini berkaitan erat dengan pengalaman hidup
mereka yang selalu berhubungan langsung dengan alam, maka untuk mengetahuinya
secara lebih mendalam, ungkapan tersebut dijelaskan dalam empat kelompok besar,
yakni apa itu Lera Wulan?Apa itu Tanah Ekan? Apa hubungan antara Lera Wulan dan Tana Ekan? Serta apa sifat-sifat dari Lera Wulan Tana Ekan itu sendiri.
3.1
Lera Wulan
Secara harafiah Lera Wulan terdiri
dari dua kata yakni; Lera yang
berarti Matahari, dan Wulan yang berarti Bulan. Penamaan ini mempunyai pemahaman bahwa Sang Ilahi itu adalah
“Yang Maha Tinggi”. Ia berada di atas segala ciptaanNya, pemberi terang dan
kehidupan yang tak terbatas. Hidup manusia ada dalam lindungan dan
penyelenggaraan-Nya. Dasarnya matahari dan bulan adalah yang menyinari bumi dan
memberi kehidupan pada manusia dan segala tumbuhan yang menjadi sumber makanan
manusia.[4]
Matahari dan Bulan juga menjadi patokan perhitungan waktu setiap hari, karena
masyarakat Lamaholot waktu itu belum mengenal alat pengukur waktu seperti jam.
Bagi mereka bulan merupakan sarana perhitungan musim yang tepat untuk
menghitung waktu bagi penanaman tumbuhan, perhitungan hari baik dan tidak,
perhitungan pasang-surut air laut untuk pergi mencari ikan serta perhitungan
untuk mengadakan ritus-ritus untuk menghormati Lera Wulan-Tana Ekan atau “wujud tertinggi”. Tanpa matahari dan
bulan kehidupan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini tampak dalam
ungkapan “ Lera Wulan nein morit kame”
(matahari dan bulan memberikan kehidupan kepada kami).[5]
Lera Wulan adalah benda langit (matahari dan bulan) yang berada
jauh di tempat tinggi, dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia.
Sesungguhnya, hal ini mengandung makna bahwa Tuhan itu berada di tempat yang
tinggi, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia dan mesti diberi tempat
tertinggi di atas segala sesuatu yang lain. Dalam percakapan sehari-hari, bila
orang menyebut Lera Wulan, orang
selalu menunjukkan jarinya ke atas langit. Penunjukan jari ini melambangkan
bahwa Tuhan itu berada di atas atau berada di tempat yang tinggi.
Lera Wulan juga merupakan sumber terang dan ia adalah terang itu sendiri. Ia
menerangi bumi dan alam semesta. Tanpa terang yang dipancarkan oleh matahari
pada siang hari dan bulan pada malam hari, kehidupan di bumi tak dapat berjalan
dengan baik. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa Tuhan itu adalah
sumber kehidupan.[6] Dari langit,
turunlah berkat bagi kehidupan di dunia. Berkat itu hadir dalam bentuk hujan,
angin, embun, pergantian musim, dan lain sebagainya. Kedudukan Tuhan yang
tinggi ini, mengandung makna bahwa Tuhan adalah pemberi hidup sekaligus menjadi
penyelenggara kehidupan di bumi. Dialah penguasa langit dan bumi, penguasa alam
semesta.
3.2 Tana
Ekan
Secara harafiah Tana Ekan terdiri
dari dua kata yakni Tana berarti
“tanah” dan Ekan berarti “lahan”.
Jadi Tana Ekan berarti bumi atau jagat raya. Bumi adalah
tempat di mana manusia berpijak dan melangsungkan hidupnya. Tanah adalah bagian
kehidupan mereka yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan tanpa bumi atau Tana Ekan manusia takkan pernah ada.
Manusia hanya ada kalau ada bumi, karena bumi adalah tempat di mana manusia
berpijak.[7]
Menurut pemahaman masyarakat Lamaholot, Tana
Ekan juga memberikan perlindungan kepada mereka karena jika bumi itu marah
maka semua yang ada akan mati, misalnya; jika
terjadi gempa atau bencana alam lainnya. Karena itu mereka selalu mengadakan
ritus-ritus untuk menjaga dan menghormati Tana
Ekan. Pemahaman akan perlindungan Tana
Ekan ini terdapat dalam ungkapan “Tana Ekan liko lapak kame” (Tana Ekan
memberikan perlindungan kepada kami).[8]
Tana Ekan adalah
tempat hidup semua makhluk ciptaan manusia yang berada dekat dan bersama
manusia. Simbolisasi ini mengandung makna bahwa selain berada di tempat yang
tinggi dan jauh dari manusia, tapi Dia juga dekat. Dia tak terjangkau oleh
indera manusia tetapi menjangkaui manusia sebab keberadaan-Nya dekat dan
bersama manusia. Tana Ekan menerima
berkat yang turun dari langit. Dia juga menyediakan segala sesuatu untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan manusia.[9]
3.3
Hubungan antara Lera Wulan dan Tana Ekan (Lera Wulan-Tana Ekan)
Ungkapan Lera Wulan dan Tana Ekan ini tak dapat dipisahkan atau
tak dapat berdiri sendiri. Keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam
pemahaman inilah maka simbol atau cara membahasakan Wujud Tertinggi tidak hanya
disebut Lera Wulan atau Tana Ekan sendiri atau secara
terpisah-pisah, tetapi keduanya harus disatukan agar memiliki makna yang utuh
mengenai Wujud Tertinggi itu. Ungkapan Lera
Wulan Tana Ekan ini tersirat juga makna imanensi dan transeden sang Ilahi.
Bagi masyarakat Lamoholot Allah selain jauh (transenden) dan Mahadahsyat tetapi
juga dekat dan akrab dengan manusia (imanen).[10]
Transenden itu terdapat dalam ungkapan nama Lera
Wulan sebagai matahari dan bulan yang
ada jauh di atas bumi yang dimengerti bahwa matahari dan bulan tak
henti-hentinya memberikan sinarnya kepada manusia. Mereka (matahari dan bulan)
tak pernah berhenti memberikan kehidupan bagi manusia meskipun berada di tempat
yang jauh. Hal ini dapat disimak dalam ungkapan ”Allah teti kowa lolon, niku kame maan sare-sare (Allah yang berdiam
di atas awan, semoga melihat kami dengan baik-baik). Ketransendenan Allah ini
juga menunjukkan kemahadahsyatan Allah yang tak terhampiri, tapi dapat dialami
dan dirasakan. Kedahsyatan Allah itu terdapat pada matahari yang dapat
memberikan panasnya yang sangat panas sehingga membawa kematian bagi segala kehidupan
di bumi ini.
Allah dalam pemahaman masyarakat Lamaholot selain dilihat sebagai Allah yang
jauh dan Mahadahsyat, juga Allah itu begitu dekat dengan manusia. Kedekatan dan
keakraban Allah dengan manusia itu terdapat dalam ungkapan nama Allah Tana Ekan. Tanah yang menjadi tempat
pijakan manusia, tempat manusia melangsungkan hidupnya, tempat manusia mencari
dan mengusahakan kehidupan adalah simbol Allah yang dekat dan selalu
menyediakan segala sesuatu demi hidup manusia. Manusia menjadi begitu dekat
dengan Allah dan dapat berkomunikasi denganNya lewat memelihara alam dan
lingkunganNya. Oleh karena itu, alam sangat dihormati oleh mereka. Mereka
menganggap bahwa alam dengan segala isinya merupakan pengejawantaan wujud
tertinggi. Mungkin secara kritis kita mengatakan bahwa pemahaman masyarakat
Lamaholot itu jatuh pada pantheisme (paham yang mengatakan bahwa segala sesuatu
adalah Tuhan).
Lera Wulan Tana Ekan telah menjadi
simbol dari pencipta dan penyelenggara kehidupan, kekuatan terbesar, dan
terdahsyat. Lamaholot berkeyakinan bahwa Lera Wulan Tana Ekan berada dengan
sendirinya dan tak berkesudahan. Keyakinan ini nampak dalam ungkapan: Bego naen puken take-weli ekan miten pai.
Bego rupan tala ladon, Lera gere (munculnya tak bersumber, dari alam gelap,
munculnya bagai cahaya bintang, matahari terbit). [11]
3.4 Sifat-Sifat Lera Wulan Tana Ekan
Setiap aktivitas orang-orang Lamaholot senantiasa terpaut dengan
sifat-sifat Tuhan atau Lera Wulan Tana
Ekan. Adapun sifat-sifat Tuhan dalam
nuansa ke-Lamaholotan itu antara lain sebagai berikut:
a) Ehan Tou (Tuhan Maha Esa)
Orang Lamaholot memahami Lera Wulan
Tana Ekan sebagai Mahapencipta satu-satunya. Dia yang Maha Esa telah
menciptakan alam semesta termasuk manusia. Manusia diciptakan oleh Dia yang
Maha Esa dan diutus oleh-Nya untuk memanfaatkan dan merawat alam semesta. Oleh
karena itu, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada yang Maha Esa
itu, manusia tidak diperkenankan menyembah yang lain selain kepada yang Maha
Esa itu.
Hanya Dialah yang patut disembah oleh karena keEsaan, kebesaran dan
keagunganNya (kaka belen ama yoga atau
kaka belen ama blolan). Hanya namaNyalah yang patut dimuliakan (Lera Wulan narane poton pana, Tana Ekan
makene sogan gawe). Manusia harus menjunjung tinggi kebesaranNya dan
merendahkan diri di hadapanNya (hunge
baat-tonga blolo koon Lera Wulan Tana Ekan. Lugu rere-maan onem sare-moon Lera Wulan Tana Ekan).
b) One Naen Waibanu Matik Naen Selan
Tapo (Tuhan Mahakasih)
Orang Lamaholot sadar dan tahu bahwa Tuhan telah menyerahkan seluruh alam
ciptaan-Nya, bumi dan segala isinya, kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Betapa
besar belas kasih Tuhan kepada manusia.
Atas dasar sifat Mahakasih itu, manusia selalu mengadakan hubungan
dengan Lera Wulan Tana Ekan untuk
memohon keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Permohonan ini patut dialamatkan
kepada-Nya sebab Lera Wulan Tana Ekan
adalah sumber kesejukan, keselamatan dan kedamaian (gelete, gluor-gelete pelumut-gelete owa). Dialah tempat manusia
memperoleh kesehatan yang baik, hasil kerja yang baik, kesejahteraan dan
kebahagiaan.
Lera Wulan Tana Ekan menjadi tempat manusia mencari perlindungan (liko lapak) karena Dialah satu-satunya pelindung agung bagi manusia
dan seluruh alam (bliko ina, blapak ama).
Pada Dialah manusia mengharapkan agar segala bencana dan malapetaka, baik
berasal dari alam maupun karena ulah manusia dan tipu daya setan dapat di
jauhkan.
Lera Wulan-Tana Ekan juga menjadi tempat manusia menyampaikan keluh kesahnya (prudut proin). Segala suka dan duka
serta semua kebutuhan hidup manusia di sampaikan kepadaNya agar Ia menurunkan
pertolongan. Dalam Dia dan bersama Dia, segala
kesulitan bisa diatasi.
c) Hube Naen, Galat Kae (Tuhan Yang
Mahakuasa)
Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan. Kapan, di mana dan bagaimana
kematian mendatangi seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu dan hanya Dialah yang
mengaturnya. Dia menjadi awal dan akhir dari kehidupan seorang manusia.
Atas dasar kepercayaan bahwa karena Tuhan yang memberi hidup, maka ketika
seseorang meninggal, orang-orang Lamaholot mengatakan Lera Wulan guti apan atau Lera
Wulan mayaro (Tuhan mengambilnya kembali atau Tuhan memanggilnya kembali).
d) Noon Tilun Noon Matan (Tuhan
Mahatahu)
Tuhan mengetahui pikiran, perkataan dan perbuatan manusia. Ada dua konsekuensi
dari kemahatahuan Tuhan ini; pertama,
Dia akan memberikan ganjaran atau pembalasan atas perbuatan baik manusia.
Manusia yang berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan akan memperoleh rahmat
dariNya. Kedua, atas perbuatan tidak
baik, Tuhan akan memberikan hukuman atau kutukan yang langsung dialami manusia
dalam hidupnya dan di akhirat nanti. Rahmat atau anugerah yang diberikan Tuhan
kepada manusia yang baik hidupnya nampak dalam hal memperoleh penghasilan yang
baik-murah rezeki, kesehatan yang baik, umur yang panjang, keturunan yang
berhasil, dan lain sebagainya. Sedangkan hukuman atau kutukan dari Tuhan nampak
dalam hal-hal seperti; tidak memperoleh penghasilan yang baik, sakit, tidak dikaruniakan
keturunan, ditimpa bencana alam, serangan hama, kematian yang tidak wajar, dan
lain sebagainya.[12]
IV.
PEMAHAMAN ORANG LAMAHOLOT MENGENAI LERA WULAN TANA EKAN
4.1
Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Zaman Dahulu
Pada zaman dahulu masyarakat Lamaholot sudah meyakini dan percaya akan adanya
Allah, tetapi mereka tidak sanggup mengungkapkan adanya Allah itu. Mereka
menyebut nama wujud tertinggi itu dengan simbol Lera Wulan Tana Ekan.
Tanda kehadiran Wujud Tertinggi itu mereka imani lewat Nuba Nara. Nuba Nara ini sebagai perantara antara Allah dan
manusia.
Nuba Nara adalah satu onggokan batu-batu kecil, sebesar kepalan tangan yang
bundar dan licin yang terletak di depan korke[14], dan berada di tengah-tengah pelataran tempat orang menari dan
membawakan persembahan[15]. Nuba Nara ini sebagai tempat tinggal Lera Wulan Tana Ekan. Batu Nuba Nara
serta tempat di sekitarnya harus bersih dari rerumputan. Orang tidak boleh
menghinanya dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak boleh
menginjak-injaknya. Semua anggota suku, dari yang tertua sampai yang terkecil,
harus hadir di depan batu Nuba Nara pada perayaan pesta-pesta Korke. Pada
setiap pesta yang lain pun, batu-batu Nuba Nara harus mendapat bagiannya karena
diyakini bahwa batu tersebut seperti orang tua yang melahirkan kita.
Jadi Nuba Nara menurut pandangan orang Lamaholot dulu yang belum mengenal
gereja adalah sebagai tempat suci di mana mereka dapat menyampaikan permohonan,
misalnya; mendatangkan hujan, supaya panenan berhasil, terhindar dari gangguan
hidup, terhindar dari penyakit dan lain-lain yang berkaitan dengan membangun
rumah, terhindar dari bencana alam yang merugikan hidup mereka dan menang dari
perang. Namun selain itu juga berupa ucapan syukur seperti ucapan syukur atas
keberhasilan panenan, sembuh dari sakit, menang dari perang serta syukur atas
terselenggaranya pesta adat, dan lain-lain. Dalam setiap doa yang diucapkan
para tua adat dan masyarakat lain, doa-doa yang di dalamnya terdapat kalimat Lera Wulan Tana Ekan selalu didendangkan
seperti berikut: Lera Wualan Tana Ekan
nein kame kuat kemuha, ti kame akena goka pewaletem pi raran ni. Naku jaga
gerihan kame ti kame akena berarakem, noon nein kame rezeki limpah de aya, ti
kame bisa moripem pi tana lolon ni. (Lera Wulan Tana Ekan berikan kami
kekuatan, supaya kami tidak jatuh dalam pencobaan dalam hidup ini. Tapi,
lindungilah kami selalu agar kami tidak sakit, dan berikanlah kami selalu
rezeki yang limpah, agar kami bisa hidup di dunia ini).
4.2
Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Setelah Masuknya Agama Katolik
Kekristenan yang berkembang pada masyarakat Lamaholot ini sesungguhnya ditenun
dari suatu proses sejarah yang panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas
budaya umat dan masyarakat. Tapi penyebaran itu tidaklah gampang menghadapi
masyarakat Lamaholot yang sudah mendarah daging dengan adat yang dihidupi
mereka. Sejalan dengan pergantian waktu, para misionaris memperkenalkan Agama
Katolik lewat katekese-katekese, dan mulai membaptis masyarakat Lamaholot untuk
masuk Katolik. Dalam pengajaran, para misionaris tidak menolak kepercayaan
Allah lewat ungkapan Lera Wulan Tana Ekan. Malahan mereka
mendukung kepercayaan itu dengan mengatakan bahwa Allah itu Maha tinggi seperti
“Lera Wulan” dan sekarang Allah juga
ada di bumi dekat dengan kita seperti “Tana Ekan”. Pengalaman di hadapan Nuba
Nara dan berbagai ritus yang dipraktekkan oleh masyarakat Lamaholot ini
merupakan tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah. Allah memberi terang ke
bawah bumi ini supaya memperoleh kehidupan. Orang-orang mulai sadar bahwa wujud
tertinggi yang mereka imani sama dengan Allah dalam kepercayaan Agama Katolik.
Akhirnya mereka perlahan-lahan mulai menerima Agama Katolik sebagai agama yang
dianut mereka hingga saat ini, tanpa menghilangkan kepercayaan dan adat yang
telah dianut sejak dahulu itu.
Ungkapan Lera Wulan Tana Ekan selain
digunakan dalam bahasa adat, digunakan juga dalam agama, di sekolah, dalam
berpidato, dan dalam upacara-upacara formal lainnya. Di samping mereka
menghormati adat, mereka juga menghormati agama. Kami sangat yakin dan percaya
bahwa ungkapan ini tidak akan punah, melainkan tetap dikumandangkan oleh
generasi-generasi penerus di kemudian hari.
V. PENUTUP
Dari keseluruhan uraian di atas dapatlah kita melihat bagaimana pemahaman akan
eksistensi Allah dalam ungkapan Lera
Wulan Tana Ekan menurut masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot sebelum
mengenal Agama Katolik, mereka telah mempunyai pemahaman tentang siapakah Allah
itu? Allah bagi mereka begitu Maha tinggi, agung, dan luhur (Lera Wulan) tetapi
sekaligus dekat (Tana Ekan) tidak dapat dibahasakan dengan nama yang sebenarnya
selain dengan “simbol”. Akan tetapi esensi dari pengalaman itu menunjukkan
eksistensi Allah yang memberikan hidup bagi mereka. Bagi masyarakat Lamaholot
hidup itu dapat berjalan kalau Allah yang adalah wujud tertinggi itu tetap
menyertai kita. Segala dimensi kehidupan mereka ada dalam tangan dan
berhubungan langsung dengan Sang hidup yang mereka namakan Lera Wulan Tana Ekan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arndt, Paul. Agama Asli Di Kepulauan
Solor. Maumere: Puslit Candradity, 2009.
Kean, Rofinus
Nara, dkk. Selayang Pandang Budaya
Lamaholot. Larantuka: Offcet CV. Jori, 2008.
Watun, Lambert Doni. Majalah Flobamora. Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]),
1996.
[2] Lamaholot berasal
dari dua kata, yakni Lama dan Holot. Lama artinya kasta dan Holot berkembang dari kata Zelot yang berarti
kuningan emas. Jadi Lamaholot berarti kasta emas. Kasta yang tinggi dan tidak
bisa dipandang rendah.
[3] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang
Pandang Budaya Lamaholot (Larantuka: Offcet CV. Jovi
Stender, 2008),
hlm. 9.
[8] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.
[9] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang...,
hlm.11.
[10] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.18-19.
[11] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang...,
hlm. 12-15.
[12] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang...,
hlm. 12-15.
[14] Korke berarti rumah adat masyarakat
Lamaholot.
[15] Paul Arndt, Agama Asli Di
Kepulauan Solor (Maumere: Puslit Candradity,2009), hlm.170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar