“..karena
kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung
keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka
begitu pula dengan kebenaran…”
Richard Rorty
1.
Tentang
Richard Rorty
Richard Rorty adalah seorang filsuf dari Amerika
Serikat yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya maupun karena
pemikiran dalam bidang budaya.Rorty dilahirkan di New York
pada tahun 1931.Pada tahun 1949, ia lulus dari Universitas Chicago, dan tahun 1952 dari Universitas
Yale. Rorty mulai mengajar di Wellesley College, dan
kemudian pada tahun 1961, ia mengajar di Universitas Princeton.Pada
tahun 1979, Rorty menerbitkan buku pertama yang berjudul "Philosophy
and the Miror of Nature"[1].Buku
ini berisi kritik Rorty terhadap filsafat analitis yang berkembang pada
masanya.
Rorty berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat
universal, dan ia juga menentang usaha Pencerahan
untuk menemukan dasar rasional bagi pengetahuan manusia. Di sini, Rorty
mengambil posisi etnosentris radikal.
Baginya, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari
orang tersebut. Bahasa di sini dipahami sebagai perwujudan budaya tertentu,
pandangan dunia tertentu, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu. Akan tetapi,
kehadiran seorang manusia di budaya tertentu bersifat kebetulan, sebab tidak
ada orang yang dapat memilih di mana ia dilahirkan. Oleh karena itu, Rorty
berpendapat tidak ada budaya atau nilai-nilai yang paling benar dan berlaku
universal.Budaya atau nilai-nilai apapun hanya membantu pengembangan diri
seorang manusia.Dengan demikian, posisi Rorty di sini adalah pragmatisme.
2. Latar Belakang Pemikiran
Rorty
Kebanyakan korban abad ke-20 adalah korban pemikiran ideologis,
contohnya di Auschwitz. Auschwitz adalah kamp pemusnahan massal yang
dibangun oleh Nazi untuk secara sistematik membunuh orang-orang Yahudi dan
orang-orang lain yang dianggap “tidak pantas hidup”.“Mesin pembunuhan”
Auschwitz mampu menggas dan membakar mayat sampai 10.000 orang per hari.
Adorno mengatakan, bahwa sesuatu seperti
di Auschwitz tidak boleh diizinkan lagi.Selain itu, hal tersebut
tidak hanya tidak perlu diberi pendasaran, melainkan setiapusaha
pendasaran adalah tidak senonoh. Ini berarti bahwa mencari alasan mengapa harus
bersikap moral adalah tanda orang tidak bermoral! Orang semacam ini menakutkan
karena begitu pikirannya berubah, ia tanpa ragu-ragu dapat melakukan apa saja
berdasarkan pendasarannya yang baru (misalnya: membunuh, memperkosa).
Dengan latar belakang tersebut posisi filosofis Richard Rorty
menjadi amat menarik. Ia menyatakan ”kekejaman adalah perbuatan
paling buruk”. Mirip dengan Adorno, Rorty menyatakan bahwa kita harus solider
dengan orang lain tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik atau
prinsip-prinsip umum. Ia merangsang untuk merefleksikan kembali
posisi-posisi kaku dalam filsafat. Tugas filsafat bukan mencari dasar
dari segala apa yang ada, melainkan menjadi sarana pengembangan diri sang
filsuf[2].
3. Pandangan Rorty tentang
Kekejaman
Rorty mengajak kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita
tentang perbudakan, kemiskinan, eksploitasi.Harapannya adalah, dengan
menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap
manusia lainnya, kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi
semakin ‘tidak kejam’ (less cruel).
Charles Guignon dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty
lebih sering memilih untuk menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan
Orwell, daripada merumuskan argumentasi filsafatnya sendiri[3].
Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang
dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam
masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai
pengakuan terhadap diri yang esensial,..di dalam semua manusia. Alih-alih
begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin
banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat
istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika
dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”
Dua novel terakhir dari Orwell merupakan contoh yang
baik tentang apa yang dipikirkan oleh Nabokov tentang topik-topik yang tidak
penting bagi kepentingan mereka merupakan hasil dari terbentuknya perbedaan
Praktis yang besar. Novel-novel Orwell hanya bisa dipahami apabila kita
mempunyai latar belakang pengetahuan tentang politik di abad 20 sebagaiamana yang
dilakukan oleh Orwell. Sejauh mana hal tersebut akan terus bergantung pada
kesatuan politik kita di masa depan.
Pada suatu waktu, deskripsi tentang abad kita akan
kelihatan kabur dan tidak jelas. Jika hal itu terjadi, pandangan Orwell tentang
kejahatan tidak dapat dimengerti secara keseluruhan. Keturunan kita akan
memahami Orwell sebagaiamana kita memahammi Swiftdengan
kekaguman pada seseorang pria yang melayani kebebasan manusia, tetapi dengan
sedikit kecenderungan untuk mengadopsi klasifikasinya tentang tendensi politik
atau perbendaharaan moral dan deliberasi politik. Pada masa sekarang terdapat
kritik aliran kiri terhadap Orwell (
Christpher Noris), berpikir bahwa kita telah mempunyai cara untuk melihat
Orwell secara sepeleh atau dangkal. Mereka berpikir bahwa kenyataan yang mana
ia menyebutnya dengan perhatian dapat ditempatkan pada konteks dimana mereka
terlihat benar-benar berbeda. Tidak seperti Norris, saya berpikir bahwa kita
mempunyai alternatif lain yang lebih baik. Sejak 40 tahun setelah Orwell
menulis , sejauh yang saya lihat, tidak ada seorangpun yang datang dengan cara
lebih baik dalam mengemukakan alternatif politik yang berhadapan dengan kita.
Orwell berhasil karena ia menulis buku yang benar di
saat yang tepat. Pendeskripsiannya tentang kesatuan particular historis adalah
bahwa, kesatuan particular historis
mematikan,tentang apa yang dibutuhkan untuk membuat suatau perbedaan
masa depan dari politik liberal. Ia menjatuhkan pemikiran Nabokov tentang “Bolshevik
Propaganda” melebihi para pemikir liberal di Amerika dan inggris.
Mendeskripskan kembalisituasi politik setelah perang dunia II adalah kontribusi
praktikal yang terbesar dari Orwell.Apa yang Howe sebutkan sebagai kombinasi
dari “desperrate topicality dan desperate tenderness” dalam animal farm dan 1984 cukup
menyempurnakan batas ini, tujuan praktis. Tetapi pada bagian ketiga terakhir
dari 1984 kita menenmukan sesuatu yang berbeda- sesuatu tak bertopik,
prospektif daripada deskriptif.
Rorty ingin membicarakan secara terpisah dua hal yang dilakukan
Orwell dalam dua novel terakhirnya-
menggambarkan kembali Rusia Soviet dan menemukan O’Brien. Kekaguman
Orwell sering memberi kesan bahwa ia telah menyelesaikan pendeskripsiannya
dengan mengingatkan kita tentang beberapa kebenaran yang nyata-kebenaran moral
akan menjadi tidak jelas apabila disamakan dengan “2+2=4.” Tetapi mereka sering
dibuat gugup oleh prestasinya yang kedua dan cenderung, sebagaimana yang Howe
katakan, untuk mengabaikan “apocalyptic desperation” dari 1984 dan sesungguhnya untuk merayakan humanitasnya Orwell dan
kebaikannya. Hal ini terus berlanjut dengan kecenderungan untuk memberi kesan
bahwa Orwell bukanlah seorang penulis yang telah menyelesaikan tulisannya
dengan teliti, tetapi bahwa ia telah memutuskan dalam kebaikannya tentang kekurangannya
dalam hal artistek. Orwell mengatakan, “seseorang dapat menulis sesuatu yang
tidak dapat dibaca satu secata konstan berjuang untuk menghapuskan kepribadian
seseorang.Prosa yang baik adalah seperti kaca jendela.Hal seperti ini sering dibaca
bersamaan dengan bagian berikutnya yaitu1984.
Rorty mengatakan bahwa, sesungguhnya Orwell mau memberitahu kita
bahwa masa depan sebagaimana yang dipikirkan oleh O’Brien atau J. S. Mill tidak
bergantung pada kenyataan mendalam tentang sifat dasar kemanusiaan (human Nature). O’Brien dan Humbert
Humbert lebih menekankan tentang intelektual – kecerdasan, pengadilan,
keanehan, imajinasi, rasa keindahan- yang bersumber dari nafsu seksual. Intinya
Rorty mau mengatakan bahwa, penguasa masa depan kita tidak akan ditentukan oleh
kebutuhan-kebutuhan kebenaran tentang sifat alami manusia dan relasinya dengan
kebenaran dan keadilan melainkan oleh kontingensi fakta yang sangat kecil.
4.
Ruang Publik Penyair.
Di dalam ruang publik para penyair, kebenaran tidak lagi ditemukan,
melainkan dirumuskan secara bersama-sama. Kecenderungan untuk merumuskan
semacam kriteria filosofis-rasional guna menentukan apa yang dimaksud dengan
‘esensi dunia’ dan ‘esensi manusia’ telah ditinggalkan. Kecenderungan semacam
itu adalah kecenderungan berpikir para filsuf tradisional yang secara jelas
ingin ditinggalkan oleh Rorty.Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan
sesuatu yang dirumuskan, dan bukan sesuatu yang sudah ada di sana, serta siap
untuk direngkuh untuk diketahui. Pengetahuan manusia sepenuhnya dimediasi dan
mengharuskan adanya bahasa.Bahasa juga sudah selalu merupakan sebuah hasil
konstruksi sosial.Kebenaran pun sudah selalu merupakan bentukan bahasa yang
juga sudah selalu merupakan hasil kreasi manusia. Oleh karena itu, kebenaran sifatnya
kontingen, sama kontingennya seperti perubahan pemahaman bahasa itu sendiri.
Dengan konsep ruang publik para penyair, Rorty tidak hanya mau
mengubah konstelasi peran sosial di dalam masyarakat, tetapi ia juga mengajak
kita untuk “…mengubah cara kita berbicara, dan dengan demikian mengubah apa
yang ingin kita lakukan, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri.”
Dengan mengubah cara kita ‘berbicara’, berarti kita juga mengubah identitas
kita sebagai manusia. Di dalam ruang publik para penyair, masalah-masalah yang
muncul tidak lagi dipandang sebagai masalah filosofis tentang politik, ekonomi,
ataupun kehidupan sosial, tetapi lebih merupakan masalah poetik (poetic
problems).Artinya, permasalahan yang ada tidaklah berkaitan dengan akar
fundamental dari pemahaman tentang realitas ataupun tentang manusia,
tetapi lebih merupakan masalah ‘penggunaan metafora-metafora’ (metaphors)
yang berbeda untuk menjelaskan dan memahami realitas. “Sebuah kesadaran tentang
sejarah manusia sebagai sejarah tentang metafora-metafora yang diteruskan”,
demikian Rorty, “akan membuat kita melihat para penyair, dalam arti yang umum
sebagai sang pencipta dunia-dunia baru, yang menajamkan bahasa-bahasa baru, dan
sebagai barisan depan spesies-spesies.”
Di dalam ruang publik para penyair, seperti sudah sedikit disinggung
sebelumnya, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar
waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara
metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors).Artinya,
upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan
untuk semua konteks haruslah ditinggalkan.Dalam arti itu hanya para penyairlah
yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari
kebenaran.Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk
menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada
di hadapan mereka.“Kita,” demikian Rorty, “dikutuk untuk menggunakan hidup
sadar kita mencoba untuk melarikan diri dari kontingensi daripada, seperti para
penyair, mengakui dan mengizinkan kontingensi.” Rorty memperoleh argumen
semacam ini dari pemikiran Nietzsche. Perbedaan antara para penyair di satu
sisi dan orang-orang pada umumnya di sisi lain adalah perbedaan antara manusia
yang sesungguhnya di satu sisi, dan binatang di sisi lain. Walaupun para
penyair tetaplah merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan alam, sama seperti
binatang, tetapi mereka mampu merumuskan serta menyampaikan refleksi mereka
atas dunia dengan cara-cara baru yang belum pernah digunakan
sebelumnya. Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan
orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa
kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang
masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman
tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan
cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada.
Di dalam ruang publik para penyair, perubahan politik tidak lagi
dipandang sebagai suatu perubahan yang rasional, tepat karena kriteria apa yang
rasional dan apa yang tidak rasional tersebut tidak lagi bisa dipastikan.
Menurut Rorty, ketika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan lagi
menggunakan kata-kata berikut: “rasional”, “kriteria”, “argumen”, “fondasi”,
dan “absolut”. Ruang publik para penyair adalah ruang publik liberal plus
kesadaran akan kontingensi radikal dari realitas, di mana segala sesuatu
diperbolehkan untuk mengalir, bergerak, dan merumuskan apa yang sesungguhnya
menjadi keprihatinan bersama. Pertanyaan dasarnya tidak lagi, “bagaimana kamu
sampai pada pengetahuan, atau bagaimana kita dapat sampai pada kebenaran?”,
tetapi lebih “mengapa kita membicarakan pengetahuan dan kebenaran dengan
cara-cara yang kita gunakan sekarang?”
Ruang publik penyair adalah juga merupakan ruang publik liberal.Di
dalam masyarakat liberal, politik persuasi jauh lebih penting daripada politik
represi.Persuasi melalui argumentasi adalah sentral.Represi dengan menggunakan
senjata dan sensor ditolak.Hal ini menandakan adanya keterbukaan pemikiran di
dalam masyarakat liberal tersebut.Akan tetapi, ruang publik yang liberal dalam
arti umum masih membutuhkan semacam pengandaian filosofis, bahwa manusia itu
merupakan mahluk yang pada esensinya adalah bebas.Hal inilah yang ingin ditolak
oleh Rorty. Ruang publik para penyair, dengan demikian, adalah ruang publik
liberal minus asumsi metafisis tentang apa itu manusia.
Kesimpulan
Ruang publik para penyair adalah ruang untuk bercerita tentang semua
bentuk penderitaan yang dialami manusia.Cerita-cerita ini memang berangkat dari
ruang privat, tetapi alirannya menggaung di dalam kehidupan publik, dan menjadi
bagian dari ruang publik.Mata kita seolah terbuka terhadap penderitaan yang
dialami banyak manusia, ketika kita membaca tulisan-tulisan para penyair dan
penulis novel. Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai
tercipta.Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan
di dalam syair, puisi, dan novel.Apa yang disebut sebagai keresahan tentang
kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam
diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para
novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan
pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang
muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.
Di dalam ruang publik para penyair, konsep kebenaran tidak lagi
merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal.Kebenaran
lebih dipandang sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile
army of metaphors).Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang
berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan.Dalam
arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek
kontingensi dari kebenaran.Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada
kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal
dari realitas yang ada di hadapan mereka.Di dalam ruang publik para penyair,
perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara
orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan
realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata
lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda
kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan
metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada. Ruang publik para penyair
adalah ruang publik yang berupaya mengartikulasikan penderitaan dengan
menggunakan metafor-metafor yang kontingen dan berbeda.
Sumber Bacaan
Rorty, Richard. Contingency,
Irony and Solidarity.Cambridge University Press: Australia. 1993.
Suseno,Franz Magnis..12 Tokoh Etika Abad
ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 2000.