Senin, 09 November 2015

Tanggapan Kritis atas Estetika Transedental : Pengetahuan Pada Taraf Indra Immanuel Kant



Kiranya hanya sedikit orang yang tidak menyebut Kant jika kita bertanya siapa filosof Zaman modern yang paling menentukan pemikiran filsafat kemudian hari.Filosof  yang memiliki irama hidup yang teratur, bahkan rutin itu mengubah gaya manusia berpikir dengan pemikirannya yang radikal. Bukan seakan-akan semua pikiran Kant sekarang masih diterima umum, tetapi rumusan kerangka permasalahan kant yang sampai sekarang  untuk sebagaian tetap tidak dapat dihindari.Rupanya ajaran Kant berkaitan dengan Estetika Transendental : Pengetahuan pada taraf indra, masih menyisahkan sebuah persoalan. Di sini saya mau memberikan tanggapan kritis terhadap ajaran Kant yang masih menjadi persoalan tersebut,  teutama berkaitan dengan Das Ding An Sich.

Hidup dan Karya Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis Zaman Afklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18.Kant  lahir  pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, ibukota Prussia Timur, Jerman (sekarang :kalininggrad, masuk wilaya Russia).[1] Pada usia delapan Tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat  peitisme. Mulai 1740 : belajar filsafat, matematika, ilmu pengetahuan alam dan karena rasaingin tahunya, dia  juga belajar teologi.Tahun  1755 : mendapat gelar doktor dengan disertasi berjudul: uraiansingkat dari sejumlah pemikiran tentang Api ( meditationum quarundumde igne uccintadelineatio),  setelah itu dia bekerja sebagai privatdozent di  Konigsberg.[2] Masa kehidupan kant sebagai privatdozent  (1755-1770) dikenal sebagai masa pra-kritis. Pada masa itu Kant dipengaruhi oleh Rasionalisme ala Leibniz dan Wolff.Pada periode ini Kant adalah seorang dosen yang sangat luar biasa dalam penguasaannya atas hampir semua ilmu waktu itu.
Kant hidup membujang seumur hidupnya.Kegiatan Kant dari hari ke hari berjalan dengan sangat tertib dan monoton. Setiap hari Kant mempunyai acara yang sama. Konon karena begitu teratur acara harian Kant, maka penduduk Konigsberg tahu bahwa waktu menunjukkan pukul setengahlima sore bila mereka melihat Kant melewati halaman balai kota dengan tongkat kayu dan jas kelabunya.
Pada tahun 1770 Kant dikukuhkan sebagai Profesor. Sekitar tahun 60-an-70-an ini, Kant mulai meninggalkan sistem filsafat wolff dan Leibniz dan berkat filsafat Hume, kant mengaku bangun dari tidur dogmatis-nya, dan memulai suatu filsafat yang dinamakannya sendiri “Kritisisme”. Terbitnya buku “Kritik atas Budi Murni” dapat dianggap sebagai tonggak pertama yang menandai masa kritisisme Kant.
Pada hari Minggu tanggal 12 Februari 1804 pukul 11.00 siang kant meninggal dalam Usia 80 tahun. Dengan upacara yang meriah dan dihadiri ribuan tamu terhormat, jenasanya dikuburkan di serambi samping gereja induk kota Konigsberg.

Estetika Transedental : Pengetahuan Pada Taraf Indra[3]
Menurut Kant, tidak seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman, walaupun dia menerima pandangan para filsuf empiris bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengalaman indrawi. Berhubungan dengan objek pengetahuan diluar diri kita ? menurut Kant dalam ‘estetikatransedental’  adalah lewat intuisi lansung dengan pengandaiaan   bahwa intuisi  kita dipengaruhi oleh objek dengan cara tertentu. Kemampuan subjek untuk menerima representasi objek disebut   ‘‘sensibilitas’’ atau kemampuan mengindrai. Jadi intuisi manusia adalah intuisi indrawi. Efek sebuah objek kemampuan pikiran sejauh dipengaruinya disebut pengindraan.Objek pengindraan disebut penampakan.
Kant mengatakan bahwa ada dua unsur dalam penampakan objek yaituunsur materi (bentuk) dan unsur bentuk (forma). Forma merupakan unsur a priori dari pengindraan sedangkan materi merupakan  unsuraposteriori.Menurutnya pengetahuan kita selalu meupakan sintesis dari unsur a priori dengan aposteriori.Pada tingkat pencerapan  indrawi sudah dua unsur apriori yaitu ruang dan waktu (raum dan zeit). Kant  mengatakan bahwa keduanya adalah struktur–struktur dalam diri subjek. Bagi kant ruang dan waktu bukanlah bagian dari realitas yang empiris, melainkan merupakan perlengkapan mental, instrument rohaniah yang menggarap data-data indrawi. Pada tingkat ini baru terjadi pengalaman manusia, belum pengetahuan.[4]
Implikasi dari pernyataan di atas adalah bahwa memang ada realitas yang berdiri sendiri ; kant menatakan : ada benda pada diri sendiri ( Das Ding An Sich) tidak kita ketahui. Menurut kant memang “das ding an sich” tidak kita ketahui, tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori dan a posteriori. Kenyataan yang tampak itu tidak hanya kelihatannya berada dalam ruang dan waktu, melainkan sungguh berada dalam ruang dan waktu. Keduanya menjadi “ syarat kemungkinan” penampakan objek empiris. Kant mengatakan bahwa ruang dan waktu itu secara empiris real, karena ruang dan waktu bukan ilusi,melainkan sesuatu yang nyaa secara indrawi. Secara trasendental ideal real, karena ruang dan waktu hanya bisa di terapkan pada penampakan, tidak pada “das ding an sich”, jadi ditentukan oleh struktur subjek.

Tanggapan AtasDas Ding An Sich
Salah satu faktor yang melahirkan idealisme jerman yaitu dari dalam filsafat sendiri yaitu, pandangan kant mengenai das ding an sich. Pandangan ini menimbulkan sebuah problem  inkosistensi dalam filsafat Kant. Menurut Kant adanya “das ding an sich”  ini menjadi sebab unsur materi dari pengindraan. Das ding an sich itu tidak bisa diketahui karena melampaui pengetahuan kita. Yang menjadi pertanyaanya, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa ia menjadi sebab sesuatu ?konsep “sebab’ disini dipakai untuk melampai sesuatu yang melampaui pengetahuan, padahal Kant sendiri menegaskan bahwa kausalitas tidak bisa dipakai sesuatu yang melampaui pengetahuaan.Selain itu ada kelemahan kedua yang juga jelas yaitu dengan menetapkan das ding an sich  sebagai sesuatu yang tidak mungkin diketahui, Kant berada dalam bahaya dogmatisme yang sebenarnya ingin dikritiknya.[5]
Idealisme subjektif Fichte mengajarkan bahwa subjek manusiawi itu betul-betul menciptakan realitas.Maka tidak ada realitas yang berdiri sendiri, terlepas dari keaktifan subjek. Dengan ini Fiche menolak ajaran Kant bahwa ada benda pada dirinya sendiri ( das ding an sich) sebagai realitas mandiri yang menjadi sebab dari pengetahuan kita. Meskipun tentang realitas itu kita tidak bisa mengetahui apapun. Menurut Fitche, Kant tidak cukup konsekwen dengan pemikirannya. Dalam kritik der reinen vernunft,Kant  sudah melihat bahwa subjeklah yang mengkonstruksi realitas dan  dengan demikian menciptakan objek-objek. Namun kalau begitu untuk apa Kant masih beranggapan bahwa masih ada objek atau realitas lain di luar pengamatan subjek? Disini Fitche lantas meradikalisasi pemikiran Kant dengan mencoret das ding an sich dalam kasanah idealisme subjektifnya. Menurut Fitche, subjek seperti Allah dalam kitab kejadian ;dunia diciptakannya dari ketiadaan. Kenyataan pertama adalah subjek yang tengah berpikir. Saya yang mengatakan  ‘aku adalah aku. Dari aku kenyataan pertama  ‘aku absolut ini muncul segala sesuatu yang lain.[6]
Dalam duduk perkara idealisme Shelling yang menjadi permasalahannya adalah korelasi subjek dan objek, roh dan alam. Kant menekankan peranan subjek dalam membentuk kenyataan secara a priori.Akibatnya dia menghasilkan das ding an sichyang tidak diketahui itu. Bagi Schelling ini absurd sebab bagaimana mungkin ada objek yang sama sekali terpisah dari subjek ?subjek memasukan  sebuah kerangka a priori tertentu pada kenyataan sudah menunjukan sebuah hubungan dan mengapa hubungan itu tidak diradikalkan ? Fitche menghapus das ding an sich tetapi dia kemudian mengutamakan subjek atas objek. Untuk mengatasi dikotomi ini, menurut Schelling, melalui refleksi, memperlihatkan bahwa alam objektif juga merupakan sistem terpadu yang dinamis mengarah pada tujuan tertentu yaitu kembali pada dirinya sendiri.[7]
Sama seperti Fitche, Schelling, dan Hegel, filsafat Schopenhauer pun memiliki hubungan yang erat dengan filsafat kant. Schopenhauer menyetujui pendapat kant bahwa jangkauan pengetahuan kita hanya terbatas pada bidang penampakan atau fenomena belaka, sedangkan realitas pada dirinya sendiri  das ding an sich tetap tinggal suatu X yang tidak dikenal. Maksudnya : apa yang secara lansung bisa kuketahui bukannya bendanya sendiri, melainkan gagasan atau ideku mengenai benda itu; bukan pohon melainkan gagasanku tentang pohon. Implikasnya jelas bagi Schopenhauer, dunia yang kita lihat dan alami ini, dunia fenomenal adalah dunia sebagai gagasan.Dunia ini adalah gagasanku.[8]Yang menjadi pertanyaannya, apakah di balik semua penampakan atau fenomena itu? Merasa tidak puas dengan jawaban Kant yang mengatakan bahwa benda pada dirinya sendiri tidak bisa diketahui, Schopenhauer menyelidiki lebih lanjut das ding an sich isi terdalam , hakikat dunia. Dia berkeyakinan bahwa  semua fenomena dalam dunia sebagai gagasan. Mulai dari gravitasi planet hingga kesadaran manusia, mulai dari kekuatan-kekuatan alam, proses tumbuhya tanaman, perilaku instinktual pada hewan sampai dorongan manusiawi untuk mempertahankan diri, ternyata dipengaruhi, dikontrol, digerakan dan diarahkan oleh keinginan-keinginan mulai dari harapan yang paling halus dan tersembunyi hingga nafsu yang kuat mendesak. Menurut Schopenhauer, hakikat dunia ini bukanlah sesuatu yang rasional melainkan sesuatu yang justru irasional sifatnya. Unsur irasional ini kehendak untuk hidup.kalau kant mengatakan bahwa das ding an sich merupakan suatu X yang ada di balik fenomen dan karenanya tidak diketahuinya, maka Schopenhauer mau menetapakan dengan tegas; kehendak inilah das ding an sichitu. Kehendak transedental ini menampakan dirinya dalam milyaran eksistensi , dalam semua fenomena atau dalam ideku tentang pelbagai fenomena. Dunia sebagai gagasan mempunyai dasarnya pada dunia sebagai kehendak.
Aguste Comte sebagai figur yang paling representatif untuk positivisme menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain seperti etika, teologi, seni yang melampaui fenomena yang teramati.  Dalam kritisisme kant masih menerima adanya das ding an sich objek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Namun Comte sama sekali menolaknya, baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan. Realita dimengerti sebagai “ fenomena yang dapat di observasi “. Bagi positivisme yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi.[9]
Daftar Pustaka

Hardiman, F.  budi,Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (dari  Machiavelli sampai Nietzsche), Jakarta: Erlangga, 2011.
Tjahjadi, simon petrus, Sejarah Filsafat Barat Modern,(manuskrip) Jakarta : Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2000.
Tjahjadi, simon petrus, Hukum Moral ajaran immnuel Kant Tentang Etika dan ImperatifKategoris,Yogyakarta  :kanisisus, 1991.




[1]S. P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral, Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta : kanisuis ) 199.  hlm.25.
[2]Ibid. hlm. 26.

[3]F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran  yang Membentuk Dunia Moder (dari Machiavelli sampai Nietzsche,(Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 118.
[4]S. P. Lili Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern( Manuskrip),(Jakarta : Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2000), hlm.79.


[5]F.Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran Yang membentuk Dunia Modern (dari Machiavelli sampai Nietzsche),hlm. 134-135.
[6]S. P. Lili Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, hlm. 96.
[7]F.Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran Yang membentuk Dunia Modern (dari Machiavelli sampai Nietzsche),hlm. 146.

[8]S. P. Lili Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, hlm.113.
[9] F. Budi Hardiman,Pemikiran-pemikiran Yang membentuk Dunia Modern , hlm.178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar