1.
Pengantar
Dalam sejarah tercatat banyak konflik,
kererasan, bahkan perang yang bermotif agama. Agama seakan menjadi kedok dan
alasan fundamental yang terus ada dan tak terhapus di balik masalah kekerasan
yang tak berujung tersebut. Perang atas nama agama tersebut kadang menyertakan
identitas lain seperti etnis, suku bangsa, bahkan negara. Sebut saja beberapa
perang yang atas nama agama seperti “perang Salib” yang melibatkan
negara-negara Kristen Eropa dan negara Muslim Arab. Perang antara India yang
beragama Hindu dengan Pakistan yang beragama Islam. Selain itu pemebrontakan
etnis Moro yang beragama Islam kepada Pemerintah Philipina yang mayoritasnya
beragama Katolik. Di Indonesia kekerasan atas nama agama telah menjadi bagian
dari sejarah kita. Kekerasan atas nama agama di Indonesia yang cukup besar
terjadi di Ambon dan Poso. Masalah yang kini sedang menjadi pembicaraan adalah
kasus kekerasan atas nama agama di Temanggung dan Cikeusik.
Kita seringkali mengidentifikasi
kasus-kasus yang tersebut di atas sebagai konflik agama murni. Namun penilaian
kita kurang memberikan kepastian karena kita tidak terlibat dalam kasus kasus
tersebut. Kita kurang menggali akar-akar masalah yang dihadapi masyarakat
sehingga mengarahakan mereka kepada tindak kekerasan. Oleh karena itu, dalam
makalah ini penulis mencoba mengemukakan probelematis agama dan kekerasan dalam
perspektif Muslim.
2.
Agama dan Kekerasan
1.
Pengertian Agama dan
Kekerasan
Secara umum ada banyak definisi tentang
agama. E. B. Tylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan tehadap adanya
wujud spiritual. Definisi ini berimplikasi bahwa sasaran sikap keagamaan selalu
bersifat personal. Selain itu Betty R. Scharf memberikan pengertian agama dari
sudut sosiologi. Pertama ia menitik beratkan agama dalam suatu sistem
peribadatan yang menjadi penghubung antara berbagai kesatuan masyarakat. Yang
kedua ia membahas tentang peran agama dalam berbagai masyarakat dan sistem
keagamaan yang berbeda. Dengan demikian agama dapat dikatakan sebagai kesatuan
dan komunal.[1] Kedua hal ini
mengarahkan kita pada keikutsertaan kita dalam peribadatan dan pemahaman kita
akan kepercayaan. Kita disadarkan bahwa suatu agama memiliki kekhasan
tersendiri seperti yang nampak dalam sistem peribadatannya.
Agus Cremers dalam buku Tahap-tahap
Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler mendefinisikan religion
sebagai suatu kumpulan tradisi dari masa lampau yang terinternalisasi dan
diekspresikan dalam suatu lembaga. Dengan demikian agama menurutnya merupakan
suatu saran perwujudkan kepercayaan. Agama dapat menyalurkan dan mengarahan
seluruh cinta dan keinginan kita untuk berpartisipasi dengan yang Ilahi.[2]
2.
Adakah Agama memungkinan
terjadinya kekerasan?
Agama memberikan kemungkinan terjadinya
tindakan kekerasan. Pertama, dalam kerangka ideologi agama menjadi
pemersatu semua penganutnya. Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena
memberati kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni
sejauh mana tatanan sosial dianggap sebagai representasi religius, seperti yang
dikehendaki Tuhan.[3] Sebagai
fungsi perekat ini agama dapat menimbulkan kontadiksi ketika berhadapan dengan
masalah-masalah sosial yang dialami oleh masyarakat. Hal ini nampak dalam
ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan, yang kadang menjadi pemicu lahirnya
konflik bahkan tindakan kekerasan.
Kedua, agama
sebagai faktor identitas. Dengan demikian secara spesifik agama diidentikan
kepemilikannya pada individu atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini
memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos, dan
sebagainya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat bila
dikaitkan dengan identitas lainya seperti identitas biologis seksual, etnis,
kesukuan, dan kebangsaan. Dengan demikian konfilk dan tindak kekerasan dengan
mudah menggunakan agama sebagai alat yang melegitimasikan konflik tersebut.[4] Identitas yang ditonjolkan
dalam tindak kekerasan akan menciptakan labeling tentang suatu yang
negatif dan melekat pada identitas tertentu.
Ketiga, agama
sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Agama pada dasarnya mendukung
hubungan antar manusia. Dalam kesatuan itu agama mudah diakomodasi untuk tujuan
tertentu yang dinilai sebagai gerakan kesetaraan dan biang dari kekerasan
struktural yang dialami oleh dunia ketiga. Dengan demikian agama berpotensi
untuk diikutsertakan dalam tindak kekerasan.[5] Agama mengajarkan pola
hubungan etis antar manusia yang memungkinkan kesatuan dan persaudaraan antar
manusia. Hal ini merupakan suatu yang positif tetapi kesatuan itu masih
dilatarbelakangi oleh persamaan seperti, agama, suku, dan etnis. Oleh karena
itu, kesatuan itu akan menjadi kekuatan yang besar dan menakutkan jika
berhadapan dengan perbedaan yang sulit mereka terima. Di sinilah agama dapat
melegitimasi suatu tindak kekerasan.
Kaum ateis menuduh agama mengilhami
tindakan kekerasan dengan mengacuh pada kitab-kitab sucinya. mereka
mengemukakan bahwa agama menilmbulkan perpecahan di anatara manusia. hal ini
diajukan dengan mengutip Injil Matius 10:34-36: “Aku datang untuk memisahkan
orang”. Selain itu, agama juga meberikan label untuk memisahkan satu kelompok
dari kelompok lain. Perang terjadi kerena label yang berbeda dan mengikuti
agama yang diridohi Allah untuk melawan agama yang dimurkai Allah. Dengan
demikian jelaslah bahwa agama penyebab tersirat dari tindakan kekerasan dan
perang.[6]
1.
Akar-akar tindakan kekerasan
atas nama agama
Akar kekerasan agama dapat dibagi
menjadi dua hal utama yakni; bagaimana peran agama dan bagaimana keterkaitan
pemeluknya terhadap agamanya masing-masing. Mengenai peran agama ada dua konsep
yang dimiliki oleh setiap agama yang mempengaruhi penganutnya dalam hubungan
dengan penganut agama yang lain yakni, fanatisme dan toleransi. Kedua hal ini
harus dipraktekan secara seimbang. Ketidaksembangan akan melahirkan problem
dalam umat beragama.
Toleransi yang berlebihan dari umat
beragama tertentu dapat menjebak suatu agama dalam pengaburan makna ajaran
agama dan eksistensi agama akan melamah. Situasi ini kadang menyebabkan tidak setia
dengan ajaran agamanya. Agama hanya menjadi ritual belaka sehingga derajat dan
kebenaran agama yang satu disamakan dengan agama yang lainya. Selanjutnya,
fanatisme akan melahirkan permusuhan dengan penganut agama lain dan kekerasan
atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan akan melahirkan truth claim
yang eksklusif. Eksklusivisme dapar mengarahkan orang pada radikalisme dan
fundamentalisme dalam beragama.[7]
Selain itu ada faktor situasional juga
menjadi pendorong aktor agama melakukan tindakan kekerasan. Di sini disebutkan
dua hal yakni, orientasi keagamaan yang dianut oleh kelompok mayoritas dan
perlakuan yang tidak adil dari pemegang hegemoni. Aktor agama hidup di
tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang berlaku sejak zaman nenek
moyangnya. Perlahan tetapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan doktrin-doktrin
yang diterima secara umum. Hal itu terinternalisasi setelah terlibat dengan
agen-agen ssoisalisasi seperti sekolah, madrasah, gereja, media, komunitas, dan
tokoh-tokohnya.
Kekerasan atas nama agama juga dapat
terjadi dalam hubungan atara agama yang ditandai oleh ambiguitas. Sifat mendua
yang sangat nyata inilah yang melahirkan potensi ganda dalam agama. Agama di
suatu sisi menjadi sumber kedamaian tetapi di sisi lain agama juga dapat
menjadi sumber konflik dan kekerasan. Ambiguitas tersebut dapat terjadi karena
tidak adanya orientasi. Dengan demikian setiap agama harus memiliki orientasi
yang jelas sehingga para pengikutnya tahu dengan pasti arah kehidupan imanya.
Ada tiga orientasi dalam meyelesaikan
suatu konflik. Pertama, ekslusivis adalah aktor agama yang
membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave” daerah terlindung yang
steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahamu
realitas, dan satu cara dalasm menafsirkan teks-teks suci, ia percaya bahwa
hanya kelompoknya yang selamat. Kelompok yang lain dimjamin “masuk neraka”. Kedua,
inklusivis yang mengakui keragaman tradisi, komunitas, dan kebenaran.
Semua adalah jalan menuju kebenaran. Ketiga, pluralis yang
berpandangan bahwa kebenran bukan milik satu tradisi atau komunitan keagamaan.
Perbedaan bukanlah penghalang tetapi peluang dalam berdialog.[8]
2.
Benarkah Agama Islam
Mengilhami Tindak Kekerasan Kaum Muslim?
1.
Siapakah Kaum Muslim?
Islam berarti komitmen yang kuat kepada
Tuhan. Islam dikatakan berasal dari akar kata Arab yang sama untuk kedamaian
yakni salâm. Sebagian ulama mendefinisikan Islam sebagai memperoleh
kedamaian melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah. Orang yang memenuhi
criteria ini dapat disebut sebagai seorang “Muslim”. Sehingga menurut orang
Muslim yang menjadi Muslim Pertama adalah Nabi Adam. Umat Islam percaya bahwa
Islam merupakan kelanjutan dari tradisi keimanan Nabi Ibrahim, dan bukan
sebagai agama baru. Umat Islam menghormati Nabi Muhammad dan Al-Quran, utusan
Tuhan dan pesan Tuhan, sebagai wahyu terakhir yang sempurna dan lengkap. [9]
2.
Kekerasan dalam Tradisi
Islam
Dalam Tradisi agama-agama fenomena
kekerasan memiliki legitimasi tersendiri bagi keberlangsungan doktrin dan
ajaran agama tertentu. Dalam tradisi Islam terdapat bebebrapa konsep kekerasan
yang terangkum dalam doktrin.
Jihad:
Berjuang untuk Tuhan
Jihad
dalam Al-Quran berarti “ berjuang atau bekerja keras” dan menyediakan diri
untuk menjalankan kehendak Allah, untuk menjalani kehidupan yang baik.
Kadangkala jihad dianggap sebagai rukun keenam Islam tetapi tidak
memiliki status yang resmi. Di bagian mana pun dalam Al-Quran,jihad
tidak dihubungkan atau disamakan dengan frasa “perang suci”. Namun, dalam
sejarah, penguasa Islam dengan dudkungan dari cendikiawan dan ulama, menggunakan
kata jihad untuk menegaskan peperangan demi memperluas kerajaan.
Kelompok-kelompok ektremis awal menisbahkan kepada Islam untuk mengesahkan
pemberontakan, pembunuhan, dan usaha untuk menggulingkan penguasa Muslim.[10]
Jihad
pada umumnya dimengerti sebagai perang fisik. Jihad juga bisa berarti
perang psikis terhadap segala bentuk nafsu politik, keserakahan, hegemoni,
superioritas, egoisme dan lain-lain. Banyak kalangan termasuk para ahli salah memahami
jihad identik dengan kekerasan dan terorisme. Al-Banna membagi kategori jihad
pada dua tataran. Pertama, jihad yang bernuansa revolusioner sebagai
metode yang absah untuk mencapai cita-cita Islam. Kedua, jihad apologetik yang
bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam bukanlah agama kekerasan dan perang.
Al-Bana juuga mengkritik pandangan yang menilai jihad sebagai perjuangan
spiritual, yakni perjuangan melawan hawa nafsu lebih utama dibandingkan dengan
perjuangan melawan musuh-musuh Islam. Menurutnya jihad yang demikian itu tidak
sesuai dengan hadits Nabi dan memperlemah semanagt perjuangan. Ada yang
berpendapat bahwa ada jihad yang bernuansa plitik.[11]
Sekarang ini terjadi pergeseran makna
kata jihad. Gerakan fundamental kontemporer yang memperjuangkan cita-cita yang
sama, melalui garis kultural maupun struktural, dengan cara damai maupun
kekerasan menemukan rujukan historisnya, kendati dengan intensita yang berbeda.
Pemahaman tentang jihad dalam konteks sejarah perang melahirkan bebbagai
konflik. Sebagai contoh konflik Muslim-Hindu di India dan Pakistan, Palestina
dan Israel. Oleh keran itu, ekspresi keberagamaan ini hampir disamakan dengan
terorisme.
3.
Kesimpulan
Kekerasan atas nama agama, kendati
memiliki legitimasi teologis, sesungguhnya juga dipahami sebagai fenomena yang
memiliki hubungan dengan entitas lain misalnya, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Namun, karena ekspresi kekerasan sering dibungkus dengan agama,
maka kemudian kekerasan lebih kental nuansa dan motif agamanya dibandingkan
dengan motif lainnya. pada dasarnya agama hanya diperalat untuk mencapai tujuan
tertentu. Faktor situasional seperti dominasi golongan mayoritas, orientasi
agama yang belum pasti, serta perlakuan yang tidak adil membangkitkan
kecenderungan untuk melakuakan tindakan kekerasan. Kita dituntut untuk tidak
terjebak dalam keadaan seperti itu.
Menentukan apakah agama menyebabkan
kekerasan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Sering terjadi bahwa
motif-motif keagamaan berada di balik atau dimanfaatkan oleh
institusi-institusi sekular. Banyak rintangan yang akan dihadapi baik dari
pikak pro dan kontra agama mengilmami umatnya dalam dindakan kekerasan. Masalah
idelogis dan identitas yang mengadirkan sosok agama tidak bisa diselesaikan
tampa melibatkan pihak-pihak yang berselisih.
Daftar acuan
Buku:
Cremers, Agus Tahap-Tahap
Perkebangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius. 1995
L., Esposito John dan Dalia Mogahed, Saatnya
Muslim Bicara Bandung: Mizan. 2008
R., Schaarf Betty. Sosiologo Agama
ed.II. Jakarta: Kencana. 2004
Majalah:
Rakhmat, Jalaluddin Benarkah Agaman
Menyebabkan Tindakan Kekerasan? dalam Maarif ol.6. No. 1—April 2011
Sumbulah, Umi. Agama dan Kekerasa:
Menelisik Akar Kekerasan dalam Studia Philosophica et Theologia, Vol. 5.
No. 1 Maret 2005
Suratno, Agama, Kekerasan, dan
Filsafat: Aakar Kekerasan Teologis dalam Prespektif Filosofisdalam Jurnal
Universitas Paramadina Vol. 1, April 2007
[1] Betty R. Schaarf Sosiologo
Agama ed.II Jakarta: Kencana. 2004, hlm. 33-48
[2] Agus Cremers, Tahap-Tahap
Perkebangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius.
1995, hlm. 47
[3] Suratno, Agama,
Kekerasan, dan Filsafat: Aakar Kekerasan Teologis dalam Prespektif Filosofisdalam
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1, April 2007 hlm. 88
[4] Ibid.Suratno, hlm.
88
[5] Ibid.Suratno, hlm.
88
[6] Jalaluddin Rakhmat, Benarkah
Agaman Menyebabkan Tindakan Kekerasan? dalam Maarif ol.6. No. 1—April 2011,
hlm.167
[7] Ibid.Suratno, hlm.
89
[8] Op. Cit. Jalaluddin
Rakhmat, hlm.172-173
[9] John L. Esposito dan Dalia
Mogahed, 2008, Saatnya Muslim Bicara Bandung: MIzan, hlm. 28-31
[10] Ibid. John L.
Esposito dan Dalia Mogahed , hlm. 39
[11] Umi Sumbulah, Agama
dan Kekerasa: Menelisik Akar Kekerasan dalam Studia Philosophica et
Theologia, Vol. 5. No. 1 Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar