Senin, 09 November 2015

KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA: (Benarkah Agama Islam Mengilhami Tindak Kekerasan Kaum Muslim?)


        


1.      Pengantar
Dalam sejarah tercatat banyak konflik, kererasan, bahkan perang yang bermotif agama. Agama seakan menjadi kedok dan alasan fundamental yang terus ada dan tak terhapus di balik masalah kekerasan yang tak berujung tersebut. Perang atas nama agama tersebut kadang menyertakan identitas lain seperti etnis, suku bangsa, bahkan negara. Sebut saja beberapa perang yang atas nama agama seperti “perang Salib” yang melibatkan negara-negara Kristen Eropa dan negara Muslim Arab. Perang antara India yang beragama Hindu dengan Pakistan yang beragama Islam. Selain itu pemebrontakan etnis Moro yang beragama Islam kepada Pemerintah Philipina yang mayoritasnya beragama Katolik. Di Indonesia kekerasan atas nama agama telah menjadi bagian dari sejarah kita. Kekerasan atas nama agama di Indonesia yang cukup besar terjadi di Ambon dan Poso. Masalah yang kini sedang menjadi pembicaraan adalah kasus kekerasan atas nama agama di Temanggung dan Cikeusik.
Kita seringkali mengidentifikasi kasus-kasus yang tersebut di atas sebagai konflik agama murni. Namun penilaian kita kurang memberikan kepastian karena kita tidak terlibat dalam kasus kasus tersebut. Kita kurang menggali akar-akar masalah yang dihadapi masyarakat sehingga mengarahakan mereka kepada tindak kekerasan. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba mengemukakan probelematis agama dan kekerasan dalam perspektif Muslim.

2.      Agama dan Kekerasan
1.      Pengertian Agama dan Kekerasan
Secara umum ada banyak definisi tentang agama. E. B. Tylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan tehadap adanya wujud spiritual. Definisi ini berimplikasi bahwa sasaran sikap keagamaan selalu bersifat personal. Selain itu Betty R. Scharf memberikan pengertian agama dari sudut sosiologi. Pertama ia menitik beratkan agama dalam suatu sistem peribadatan yang menjadi penghubung antara berbagai kesatuan masyarakat. Yang kedua ia membahas tentang peran agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda. Dengan demikian agama dapat dikatakan sebagai kesatuan dan komunal.[1] Kedua hal ini mengarahkan kita pada keikutsertaan kita dalam peribadatan dan pemahaman kita akan kepercayaan. Kita disadarkan bahwa suatu agama memiliki kekhasan tersendiri seperti yang nampak dalam sistem peribadatannya.
Agus Cremers dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler mendefinisikan religion sebagai suatu kumpulan tradisi dari masa lampau yang terinternalisasi dan diekspresikan dalam suatu lembaga. Dengan demikian agama menurutnya merupakan suatu saran perwujudkan kepercayaan. Agama dapat menyalurkan dan mengarahan seluruh cinta dan keinginan kita untuk berpartisipasi dengan yang Ilahi.[2]

2.      Adakah Agama memungkinan terjadinya kekerasan?
Agama memberikan kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan. Pertama, dalam kerangka ideologi agama menjadi pemersatu semua penganutnya. Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberati kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial dianggap sebagai representasi religius, seperti yang dikehendaki Tuhan.[3] Sebagai fungsi perekat ini agama dapat menimbulkan kontadiksi ketika berhadapan dengan masalah-masalah sosial yang dialami oleh masyarakat. Hal ini nampak dalam ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan, yang kadang menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan tindakan kekerasan.
Kedua, agama sebagai faktor identitas. Dengan demikian secara spesifik agama diidentikan kepemilikannya pada individu atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos, dan sebagainya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat bila dikaitkan dengan identitas lainya seperti identitas biologis seksual, etnis, kesukuan, dan kebangsaan. Dengan demikian konfilk dan tindak kekerasan dengan mudah menggunakan agama sebagai alat yang melegitimasikan konflik tersebut.[4] Identitas yang ditonjolkan dalam tindak kekerasan akan menciptakan labeling tentang suatu yang negatif dan melekat pada identitas tertentu.
Ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Agama pada dasarnya mendukung hubungan antar manusia. Dalam kesatuan itu agama mudah diakomodasi untuk tujuan tertentu yang dinilai sebagai gerakan kesetaraan dan biang dari kekerasan struktural yang dialami oleh dunia ketiga. Dengan demikian agama berpotensi untuk diikutsertakan dalam tindak kekerasan.[5] Agama mengajarkan pola hubungan etis antar manusia yang memungkinkan kesatuan dan persaudaraan antar manusia. Hal ini merupakan suatu yang positif tetapi kesatuan itu masih dilatarbelakangi oleh persamaan seperti, agama, suku, dan etnis. Oleh karena itu, kesatuan itu akan menjadi kekuatan yang besar dan menakutkan jika berhadapan dengan perbedaan yang sulit mereka terima. Di sinilah agama dapat melegitimasi suatu tindak kekerasan.
Kaum ateis menuduh agama mengilhami tindakan kekerasan dengan mengacuh pada kitab-kitab sucinya. mereka mengemukakan bahwa agama menilmbulkan perpecahan di anatara manusia. hal ini diajukan dengan mengutip Injil Matius 10:34-36: “Aku datang untuk memisahkan orang”. Selain itu, agama juga meberikan label untuk memisahkan satu kelompok dari kelompok lain. Perang terjadi kerena label yang berbeda dan mengikuti agama yang diridohi Allah untuk melawan agama yang dimurkai Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa agama penyebab tersirat dari tindakan kekerasan dan perang.[6]

1.      Akar-akar tindakan kekerasan atas nama agama
Akar kekerasan agama dapat dibagi menjadi dua hal utama yakni; bagaimana peran agama dan bagaimana keterkaitan pemeluknya terhadap agamanya masing-masing. Mengenai peran agama ada dua konsep yang dimiliki oleh setiap agama yang mempengaruhi penganutnya dalam hubungan dengan penganut agama yang lain yakni, fanatisme dan toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekan secara seimbang. Ketidaksembangan akan melahirkan problem dalam umat beragama.
Toleransi yang berlebihan dari umat beragama tertentu dapat menjebak suatu agama dalam pengaburan makna ajaran agama dan eksistensi agama akan melamah. Situasi ini kadang menyebabkan tidak setia dengan ajaran agamanya. Agama hanya menjadi ritual belaka sehingga derajat dan kebenaran agama yang satu disamakan dengan agama yang lainya. Selanjutnya, fanatisme akan melahirkan permusuhan dengan penganut agama lain dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan akan melahirkan truth claim yang eksklusif. Eksklusivisme dapar mengarahkan orang pada radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama.[7]
Selain itu ada faktor situasional juga menjadi pendorong aktor agama melakukan tindakan kekerasan. Di sini disebutkan dua hal yakni, orientasi keagamaan yang dianut oleh kelompok mayoritas dan perlakuan yang tidak adil dari pemegang hegemoni. Aktor agama hidup di tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang berlaku sejak zaman nenek moyangnya. Perlahan tetapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan doktrin-doktrin yang diterima secara umum. Hal itu terinternalisasi setelah terlibat dengan agen-agen ssoisalisasi seperti sekolah, madrasah, gereja, media, komunitas, dan tokoh-tokohnya.
Kekerasan atas nama agama juga dapat terjadi dalam hubungan atara agama yang ditandai oleh ambiguitas. Sifat mendua yang sangat nyata inilah yang melahirkan potensi ganda dalam agama. Agama di suatu sisi menjadi sumber kedamaian tetapi di sisi lain agama juga dapat menjadi sumber konflik dan kekerasan. Ambiguitas tersebut dapat terjadi karena tidak adanya orientasi. Dengan demikian setiap agama harus memiliki orientasi yang jelas sehingga para pengikutnya tahu dengan pasti arah kehidupan imanya.
Ada tiga orientasi dalam meyelesaikan suatu konflik. Pertama, ekslusivis adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave” daerah terlindung yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahamu realitas, dan satu cara dalasm menafsirkan teks-teks suci, ia percaya bahwa hanya kelompoknya yang selamat. Kelompok yang lain dimjamin “masuk neraka”. Kedua, inklusivis yang mengakui keragaman tradisi, komunitas, dan kebenaran. Semua adalah jalan menuju kebenaran. Ketiga, pluralis yang berpandangan bahwa kebenran bukan milik satu tradisi atau komunitan keagamaan. Perbedaan bukanlah penghalang tetapi peluang dalam berdialog.[8]

2.      Benarkah Agama Islam Mengilhami Tindak Kekerasan Kaum Muslim?
1.      Siapakah Kaum Muslim?
Islam berarti komitmen yang kuat kepada Tuhan. Islam dikatakan berasal dari akar kata Arab yang sama untuk kedamaian yakni salâm. Sebagian ulama mendefinisikan Islam sebagai memperoleh kedamaian melalui penyerahan diri kepada kehendak Allah. Orang yang memenuhi criteria ini dapat disebut sebagai seorang “Muslim”. Sehingga menurut orang Muslim yang menjadi Muslim Pertama adalah Nabi Adam. Umat Islam percaya bahwa Islam merupakan kelanjutan dari tradisi keimanan Nabi Ibrahim, dan bukan sebagai agama baru. Umat Islam menghormati Nabi Muhammad dan Al-Quran, utusan Tuhan dan pesan Tuhan, sebagai wahyu terakhir yang sempurna dan lengkap. [9]
2.      Kekerasan dalam Tradisi Islam
Dalam Tradisi agama-agama fenomena kekerasan memiliki legitimasi tersendiri bagi keberlangsungan doktrin dan ajaran agama tertentu. Dalam tradisi Islam terdapat bebebrapa konsep kekerasan yang terangkum dalam doktrin.
Jihad: Berjuang untuk Tuhan
Jihad dalam Al-Quran berarti “ berjuang atau bekerja keras” dan menyediakan diri untuk menjalankan kehendak Allah, untuk menjalani kehidupan yang baik. Kadangkala jihad dianggap sebagai rukun keenam Islam tetapi tidak memiliki status yang resmi. Di bagian mana pun dalam Al-Quran,jihad tidak dihubungkan atau disamakan dengan frasa “perang suci”. Namun, dalam sejarah, penguasa Islam dengan dudkungan dari cendikiawan dan ulama, menggunakan kata jihad untuk menegaskan peperangan demi memperluas kerajaan. Kelompok-kelompok ektremis awal menisbahkan kepada Islam untuk mengesahkan pemberontakan, pembunuhan, dan usaha untuk menggulingkan penguasa Muslim.[10]
Jihad pada umumnya dimengerti sebagai perang fisik. Jihad juga bisa berarti perang psikis terhadap segala bentuk nafsu politik, keserakahan, hegemoni, superioritas, egoisme dan lain-lain. Banyak kalangan termasuk para ahli salah memahami jihad identik dengan kekerasan dan terorisme. Al-Banna membagi kategori jihad pada dua tataran. Pertama, jihad yang bernuansa revolusioner sebagai metode yang absah untuk mencapai cita-cita Islam. Kedua, jihad apologetik yang bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam bukanlah agama kekerasan dan perang. Al-Bana juuga mengkritik pandangan yang menilai jihad sebagai perjuangan spiritual, yakni perjuangan melawan hawa nafsu lebih utama dibandingkan dengan perjuangan melawan musuh-musuh Islam. Menurutnya jihad yang demikian itu tidak sesuai dengan hadits Nabi dan memperlemah semanagt perjuangan. Ada yang berpendapat bahwa ada jihad yang bernuansa plitik.[11]
Sekarang ini terjadi pergeseran makna kata jihad. Gerakan fundamental kontemporer yang memperjuangkan cita-cita yang sama, melalui garis kultural maupun struktural, dengan cara damai maupun kekerasan menemukan rujukan historisnya, kendati dengan intensita yang berbeda. Pemahaman tentang jihad dalam konteks sejarah perang melahirkan bebbagai konflik. Sebagai contoh konflik Muslim-Hindu di India dan Pakistan, Palestina dan Israel. Oleh keran itu, ekspresi keberagamaan ini hampir disamakan dengan terorisme.

3.      Kesimpulan
Kekerasan atas nama agama, kendati memiliki legitimasi teologis, sesungguhnya juga dipahami sebagai fenomena yang memiliki hubungan dengan entitas lain misalnya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Namun, karena ekspresi kekerasan sering dibungkus dengan agama, maka kemudian kekerasan lebih kental nuansa dan motif agamanya dibandingkan dengan motif lainnya. pada dasarnya agama hanya diperalat untuk mencapai tujuan tertentu. Faktor situasional seperti dominasi golongan mayoritas, orientasi agama yang belum pasti, serta perlakuan yang tidak adil membangkitkan kecenderungan untuk melakuakan tindakan kekerasan. Kita dituntut untuk tidak terjebak dalam keadaan seperti itu.
Menentukan apakah agama menyebabkan kekerasan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Sering terjadi bahwa motif-motif keagamaan berada di balik atau dimanfaatkan oleh institusi-institusi sekular. Banyak rintangan yang akan dihadapi baik dari pikak pro dan kontra agama mengilmami umatnya dalam dindakan kekerasan. Masalah idelogis dan identitas yang mengadirkan sosok agama tidak bisa diselesaikan tampa melibatkan pihak-pihak yang berselisih.





Daftar acuan
Buku:
Cremers, Agus Tahap-Tahap Perkebangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius. 1995
L., Esposito John dan Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara Bandung: Mizan. 2008
R., Schaarf Betty. Sosiologo Agama ed.II. Jakarta: Kencana. 2004

Majalah:
Rakhmat, Jalaluddin Benarkah Agaman Menyebabkan Tindakan Kekerasan? dalam Maarif ol.6. No. 1—April 2011
Sumbulah, Umi. Agama dan Kekerasa: Menelisik Akar Kekerasan dalam Studia Philosophica et Theologia, Vol. 5. No. 1 Maret 2005
Suratno, Agama, Kekerasan, dan Filsafat: Aakar Kekerasan Teologis dalam Prespektif Filosofisdalam Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1, April 2007





[1] Betty R. Schaarf Sosiologo Agama ed.II Jakarta: Kencana. 2004, hlm. 33-48
[2] Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkebangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius. 1995, hlm. 47
[3] Suratno, Agama, Kekerasan, dan Filsafat: Aakar Kekerasan Teologis dalam Prespektif Filosofisdalam Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1, April 2007 hlm. 88
[4] Ibid.Suratno, hlm. 88
[5] Ibid.Suratno, hlm. 88
[6] Jalaluddin Rakhmat, Benarkah Agaman Menyebabkan Tindakan Kekerasan? dalam Maarif ol.6. No. 1—April 2011, hlm.167
[7] Ibid.Suratno, hlm. 89
[8] Op. Cit. Jalaluddin Rakhmat, hlm.172-173
[9] John L. Esposito dan Dalia Mogahed, 2008, Saatnya Muslim Bicara Bandung: MIzan, hlm. 28-31
[10] Ibid. John L. Esposito dan Dalia Mogahed , hlm. 39
[11] Umi Sumbulah, Agama dan Kekerasa: Menelisik Akar Kekerasan dalam Studia Philosophica et Theologia, Vol. 5. No. 1 Maret 2005



Tidak ada komentar:

Posting Komentar