Jumat, 13 November 2015

Rorty tentang Kekejaman dan Pesan-Pesan Moral “Sang Penyair”





“..karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”
Richard Rorty

1.      Tentang Richard Rorty
Richard Rorty adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya maupun karena pemikiran dalam bidang budaya.Rorty dilahirkan di New York pada tahun 1931.Pada tahun 1949, ia lulus dari Universitas Chicago, dan tahun 1952 dari Universitas Yale. Rorty mulai mengajar di Wellesley College, dan kemudian pada tahun 1961, ia mengajar di Universitas Princeton.Pada tahun 1979, Rorty menerbitkan buku pertama yang berjudul "Philosophy and the Miror of Nature"[1].Buku ini berisi kritik Rorty terhadap filsafat analitis yang berkembang pada masanya.
Rorty berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat universal, dan ia juga menentang usaha Pencerahan untuk menemukan dasar rasional bagi pengetahuan manusia. Di sini, Rorty mengambil posisi etnosentris radikal. Baginya, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari orang tersebut. Bahasa di sini dipahami sebagai perwujudan budaya tertentu, pandangan dunia tertentu, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu. Akan tetapi, kehadiran seorang manusia di budaya tertentu bersifat kebetulan, sebab tidak ada orang yang dapat memilih di mana ia dilahirkan. Oleh karena itu, Rorty berpendapat tidak ada budaya atau nilai-nilai yang paling benar dan berlaku universal.Budaya atau nilai-nilai apapun hanya membantu pengembangan diri seorang manusia.Dengan demikian, posisi Rorty di sini adalah pragmatisme.
2.      Latar Belakang Pemikiran Rorty
Kebanyakan korban abad ke-20 adalah korban pemikiran ideologis, contohnya di Auschwitz. Auschwitz adalah kamp pemusnahan massal yang dibangun oleh Nazi untuk secara sistematik membunuh orang-orang Yahudi dan orang-orang lain yang dianggap “tidak pantas hidup”.“Mesin pembunuhan” Auschwitz mampu menggas dan membakar mayat sampai 10.000 orang per hari.
 Adorno mengatakan, bahwa sesuatu seperti di Auschwitz tidak boleh diizinkan lagi.Selain itu, hal tersebut tidak hanya tidak perlu diberi pendasaran, melainkan setiapusaha pendasaran adalah tidak senonoh. Ini berarti bahwa mencari alasan mengapa harus bersikap moral adalah tanda orang tidak bermoral! Orang semacam ini menakutkan karena begitu pikirannya berubah, ia tanpa ragu-ragu dapat melakukan apa saja berdasarkan pendasarannya yang baru (misalnya: membunuh, memperkosa). 
Dengan latar belakang tersebut posisi filosofis Richard Rorty menjadi amat menarik. Ia menyatakan ”kekejaman adalah perbuatan paling buruk”. Mirip dengan Adorno, Rorty menyatakan bahwa kita harus solider dengan orang lain tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik atau prinsip-prinsip umum.  Ia merangsang untuk merefleksikan kembali posisi-posisi kaku dalam filsafat. Tugas filsafat bukan mencari dasar dari segala apa yang ada, melainkan menjadi sarana pengembangan diri sang filsuf[2].

3.      Pandangan Rorty tentang Kekejaman
Rorty mengajak kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita tentang perbudakan, kemiskinan, eksploitasi.Harapannya adalah, dengan menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya, kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi semakin ‘tidak kejam’ (less cruel).
Charles Guignon dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty lebih sering memilih untuk menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan Orwell, daripada merumuskan argumentasi filsafatnya sendiri[3].
Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang esensial,..di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”
Dua novel terakhir dari Orwell merupakan contoh yang baik tentang apa yang dipikirkan oleh Nabokov tentang topik-topik yang tidak penting bagi kepentingan mereka merupakan hasil dari terbentuknya perbedaan Praktis yang besar. Novel-novel Orwell hanya bisa dipahami apabila kita mempunyai latar belakang pengetahuan tentang politik di abad 20 sebagaiamana yang dilakukan oleh Orwell. Sejauh mana hal tersebut akan terus bergantung pada kesatuan politik kita di masa depan.
Pada suatu waktu, deskripsi tentang abad kita akan kelihatan kabur dan tidak jelas. Jika hal itu terjadi, pandangan Orwell tentang kejahatan tidak dapat dimengerti secara keseluruhan. Keturunan kita akan memahami Orwell sebagaiamana kita memahammi Swiftdengan kekaguman pada seseorang pria yang melayani kebebasan manusia, tetapi dengan sedikit kecenderungan untuk mengadopsi klasifikasinya tentang tendensi politik atau perbendaharaan moral dan deliberasi politik. Pada masa sekarang terdapat kritik aliran kiri  terhadap Orwell ( Christpher Noris), berpikir bahwa kita telah mempunyai cara untuk melihat Orwell secara sepeleh atau dangkal. Mereka berpikir bahwa kenyataan yang mana ia menyebutnya dengan perhatian dapat ditempatkan pada konteks dimana mereka terlihat benar-benar berbeda. Tidak seperti Norris, saya berpikir bahwa kita mempunyai alternatif lain yang lebih baik. Sejak 40 tahun setelah Orwell menulis , sejauh yang saya lihat, tidak ada seorangpun yang datang dengan cara lebih baik dalam mengemukakan alternatif politik yang berhadapan dengan kita.
Orwell berhasil karena ia menulis buku yang benar di saat yang tepat. Pendeskripsiannya tentang kesatuan particular historis adalah bahwa, kesatuan particular historis  mematikan,tentang apa yang dibutuhkan untuk membuat suatau perbedaan masa depan dari politik liberal. Ia menjatuhkan pemikiran Nabokov tentang “Bolshevik Propaganda” melebihi para pemikir liberal di Amerika dan inggris. Mendeskripskan kembalisituasi politik setelah perang dunia II adalah kontribusi praktikal yang terbesar dari Orwell.Apa yang Howe sebutkan sebagai kombinasi dari “desperrate topicality dan desperate tenderness” dalam animal farm dan 1984 cukup menyempurnakan batas ini, tujuan praktis. Tetapi pada bagian ketiga terakhir dari 1984 kita menenmukan sesuatu yang berbeda- sesuatu tak bertopik, prospektif daripada deskriptif.
Rorty ingin membicarakan secara terpisah dua hal yang dilakukan Orwell dalam dua novel terakhirnya-  menggambarkan kembali Rusia Soviet dan menemukan O’Brien. Kekaguman Orwell sering memberi kesan bahwa ia telah menyelesaikan pendeskripsiannya dengan mengingatkan kita tentang beberapa kebenaran yang nyata-kebenaran moral akan menjadi tidak jelas apabila disamakan dengan “2+2=4.” Tetapi mereka sering dibuat gugup oleh prestasinya yang kedua dan cenderung, sebagaimana yang Howe katakan, untuk mengabaikan “apocalyptic desperation” dari 1984 dan sesungguhnya untuk merayakan humanitasnya Orwell dan kebaikannya. Hal ini terus berlanjut dengan kecenderungan untuk memberi kesan bahwa Orwell bukanlah seorang penulis yang telah menyelesaikan tulisannya dengan teliti, tetapi bahwa ia telah memutuskan dalam kebaikannya tentang kekurangannya dalam hal artistek. Orwell mengatakan, “seseorang dapat menulis sesuatu yang tidak dapat dibaca satu secata konstan berjuang untuk menghapuskan kepribadian seseorang.Prosa yang baik adalah seperti kaca jendela.Hal seperti ini sering dibaca bersamaan dengan bagian berikutnya yaitu1984.
Rorty mengatakan bahwa, sesungguhnya Orwell mau memberitahu kita bahwa masa depan sebagaimana yang dipikirkan oleh O’Brien atau J. S. Mill tidak bergantung pada kenyataan mendalam tentang sifat dasar kemanusiaan (human Nature). O’Brien dan Humbert Humbert lebih menekankan tentang intelektual – kecerdasan, pengadilan, keanehan, imajinasi, rasa keindahan- yang bersumber dari nafsu seksual. Intinya Rorty mau mengatakan bahwa, penguasa masa depan kita tidak akan ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan kebenaran tentang sifat alami manusia dan relasinya dengan kebenaran dan keadilan melainkan oleh kontingensi fakta yang sangat kecil.

4.      Ruang Publik Penyair.
Di dalam ruang publik para penyair, kebenaran tidak lagi ditemukan, melainkan dirumuskan secara bersama-sama. Kecenderungan untuk merumuskan semacam kriteria filosofis-rasional guna menentukan apa yang dimaksud dengan ‘esensi dunia’ dan ‘esensi manusia’ telah ditinggalkan. Kecenderungan semacam itu adalah kecenderungan berpikir para filsuf tradisional yang secara jelas ingin ditinggalkan oleh Rorty.Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan sesuatu yang dirumuskan, dan bukan sesuatu yang sudah ada di sana, serta siap untuk direngkuh untuk diketahui. Pengetahuan manusia sepenuhnya dimediasi dan mengharuskan adanya bahasa.Bahasa juga sudah selalu merupakan sebuah hasil konstruksi sosial.Kebenaran pun sudah selalu merupakan bentukan bahasa yang juga sudah selalu merupakan hasil kreasi manusia. Oleh karena itu, kebenaran sifatnya kontingen, sama kontingennya seperti perubahan pemahaman bahasa itu sendiri.
Dengan konsep ruang publik para penyair, Rorty tidak hanya mau mengubah konstelasi peran sosial di dalam masyarakat, tetapi ia juga mengajak kita untuk “…mengubah cara kita berbicara, dan dengan demikian mengubah apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri.” Dengan mengubah cara kita ‘berbicara’, berarti kita juga mengubah identitas kita sebagai manusia. Di dalam ruang publik para penyair, masalah-masalah yang muncul tidak lagi dipandang sebagai masalah filosofis tentang politik, ekonomi, ataupun kehidupan sosial, tetapi lebih merupakan masalah poetik (poetic problems).Artinya, permasalahan yang ada tidaklah berkaitan dengan akar fundamental dari pemahaman tentang realitas ataupun tentang manusia, tetapi lebih merupakan masalah ‘penggunaan metafora-metafora’ (metaphors) yang berbeda untuk menjelaskan dan memahami realitas. “Sebuah kesadaran tentang sejarah manusia sebagai sejarah tentang metafora-metafora yang diteruskan”, demikian Rorty, “akan membuat kita melihat para penyair, dalam arti yang umum sebagai sang pencipta dunia-dunia baru, yang menajamkan bahasa-bahasa baru, dan sebagai barisan depan spesies-spesies.”
Di dalam ruang publik para penyair, seperti sudah sedikit disinggung sebelumnya, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors).Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan.Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran.Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka.“Kita,” demikian Rorty, “dikutuk untuk menggunakan hidup sadar kita mencoba untuk melarikan diri dari kontingensi daripada, seperti para penyair, mengakui dan mengizinkan kontingensi.” Rorty memperoleh argumen semacam ini dari pemikiran Nietzsche. Perbedaan antara para penyair di satu sisi dan orang-orang pada umumnya di sisi lain adalah perbedaan antara manusia yang sesungguhnya di satu sisi, dan binatang di sisi lain. Walaupun para penyair tetaplah merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan alam, sama seperti binatang, tetapi mereka mampu merumuskan serta menyampaikan refleksi mereka atas dunia dengan cara-cara baru yang belum pernah digunakan sebelumnya. Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada.
Di dalam ruang publik para penyair, perubahan politik tidak lagi dipandang sebagai suatu perubahan yang rasional, tepat karena kriteria apa yang rasional dan apa yang tidak rasional tersebut tidak lagi bisa dipastikan. Menurut Rorty, ketika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan lagi menggunakan kata-kata berikut: “rasional”, “kriteria”, “argumen”, “fondasi”, dan “absolut”. Ruang publik para penyair adalah ruang publik liberal plus kesadaran akan kontingensi radikal dari realitas, di mana segala sesuatu diperbolehkan untuk mengalir, bergerak, dan merumuskan apa yang sesungguhnya menjadi keprihatinan bersama. Pertanyaan dasarnya tidak lagi, “bagaimana kamu sampai pada pengetahuan, atau bagaimana kita dapat sampai pada kebenaran?”, tetapi lebih “mengapa kita membicarakan pengetahuan dan kebenaran dengan cara-cara yang kita gunakan sekarang?”
Ruang publik penyair adalah juga merupakan ruang publik liberal.Di dalam masyarakat liberal, politik persuasi jauh lebih penting daripada politik represi.Persuasi melalui argumentasi adalah sentral.Represi dengan menggunakan senjata dan sensor ditolak.Hal ini menandakan adanya keterbukaan pemikiran di dalam masyarakat liberal tersebut.Akan tetapi, ruang publik yang liberal dalam arti umum masih membutuhkan semacam pengandaian filosofis, bahwa manusia itu merupakan mahluk yang pada esensinya adalah bebas.Hal inilah yang ingin ditolak oleh Rorty. Ruang publik para penyair, dengan demikian, adalah ruang publik liberal minus asumsi metafisis tentang apa itu manusia.

Kesimpulan

Ruang publik para penyair adalah ruang untuk bercerita tentang semua bentuk penderitaan yang dialami manusia.Cerita-cerita ini memang berangkat dari ruang privat, tetapi alirannya menggaung di dalam kehidupan publik, dan menjadi bagian dari ruang publik.Mata kita seolah terbuka terhadap penderitaan yang dialami banyak manusia, ketika kita membaca tulisan-tulisan para penyair dan penulis novel. Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai tercipta.Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan di dalam syair, puisi, dan novel.Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.
Di dalam ruang publik para penyair, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal.Kebenaran lebih dipandang sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors).Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan.Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran.Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka.Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada. Ruang publik para penyair adalah ruang publik yang berupaya mengartikulasikan penderitaan dengan menggunakan metafor-metafor yang kontingen dan berbeda.




Sumber Bacaan
Rorty, Richard. Contingency, Irony and Solidarity.Cambridge University Press: Australia. 1993.
Suseno,Franz Magnis..12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 2000.






[1]Franz Magnis-Suseno..12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 2000Hal. 242-243.
[2]http://nikolaskristiyantosj.wordpress.com/2012/08/11/richard-rorty-manusia-ironis-liberal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar