Selasa, 10 November 2015

Khotbah Minggu BIasa X



______________________________________________________________________________



Bacaan I   :     1Raj. 17: 17- 24
Bacaan II :     Gal. 1: 11- 19.
Injil           :     Luk. 7: 11- 17.


1.      Pembuka
            Ketika masih duduk di bangku SD kelas 2, saya terkena penyakit muntaber yang membuat hidup saya hampir saja berakhir pada saat itu. Salah satu orang yang sangat panik dan kuatir atas keadaan saya pada saat itu adalah ibu saya. Dalam keadaan saya yang sudah parah itu, Ibu beserta bapak, mengantarkan saya ke sebuah rumah sakit swasta yang sangat jauh letaknya dari desa kami. Pada saat itu saya merasa bahwa hidup saya tidak akan bertahan bila saya harus diantar ke rumah sakit swasta tersebut. Dan apa yang terjadi, dalam perjalanan tersebut, tiba-tiba saja saya meminta air kepada ibu saya. Lantas, ibu menyuruh sopir untuk berhenti sejenak agar ibu bisa mampir di sebuah rumah dan meminta air hangat. Setelah mendapat air tersebut, sang tuan rumah menghampiri mobil kami dan bertanya kepada ibu saya tentang penyakit apa yang saya derita. Ibu menceritakan apa yang sedang terjadi pada saya. Spontan, sang ibu tersebut langsung menganjurkan kepada ibu saya agar mengantarkan saya ke rumah sakit negeri yang ada di tempat tersebut karena sudah banyak orang yang penyakitnya seperti saya tertolong disana.
            Ibu mengantarkan saya ke rumah sakit tersebut. Setelah para perawat berusaha keras untuk menemukan pembuluh nadi saya untuk diinfus salah seorang dokter berkata bahwa untung anak ibu cepat diantarkan kesini, terlambat sedikit lagi bisa berakibat fatal.

2.      Analisis Kesenjangan Antara Cita-cita dan Realitas
Seandainya kejadian dalam Injil Lukas tadi menimpa diri kita apa yang akan kita buat? Atau apa yang kita rasakan dalam situasi seperti itu?
Kita semua tahu, bahwa Ibu adalah sosok yang  tidak kenal putus asa dan selalu mempunyai harapan. Bayangkan saja, seandainya waktu itu ibu melihat saya dalam kondisi yang sudah parah dan ia berkata “sudahlah, kita serahkan semuanya pada Tuhan”,  maka saya tidak tahu lagi bagaimana kelanjutan ceritanya. Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam kesembuhan saya. Tentu saja Tuhan ikut campur di dalamnya, tapi Ia juga mengharapkan agar kita juga bisa berusaha untuk mendapatkan yang terbaik buat diri kita. Dan ibu bukanlah seorang tipe yang mudah putus asa.
Pengalaman yang saya alami pada saat itu tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja baik oleh saya, ibu dan ayah saya. Kita semua yang hadir pada saat ini juga mungkin pernah merasakan sentuhan Tuhan dalam hidup kita sebagaimana yang saya alami. Entah itu dalam hal yang besar maupun dalam hal-hal kecil. Tapi saya yakin, bagi orang yang percaya kepada-Nya, Tuhan akan selalu hadir untuk membantu dan berkata “ Hai AnakKu, Aku berkata kepadamu, Bangkitlah!”.

3.      Mendengarkan Pesan Sabda Allah
Dalam bacaan injil tadi kita mendengarkan bahwa Tuhan membangkitkan anak dari janda tersebut dengan sabdanya “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, Bangkitlah!.” Kita semua bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang janda yang hanya mempunyai satu anak dan kini anaknya tersebut harus meninggal. Betapa kesepiannya hidup sang janda tersebut.
Secara garis besar di perikop yang pertama (Luk 7:11-17), dikisahkan bagaimana Kristus melakukan inisiatif terlebih dahulu untuk menolong janda yang berduka karena anak laki- lakinya yang tunggal telah wafat. Kehilangan anak laki- laki satu- satunya merupakan pukulan terbesar dalam kehidupan seorang janda; yang artinya ia kehilangan segala- galanya. Dikatakan bahwa Yesus ‘tergerak olah belas kasihan’ (ay. 13). Maka Yesus bukannya tidak pernah turut merasakan penderitaan kita manusia, yang terjadi karena cinta. Ia turut merasakan pedihnya perpisahan antara anak- anak dan orang tua karena kematian, dan karena itu Dia mengalahkan maut untuk memberikan kehidupan kekal, agar dapat mempersatukan kembali mereka yang saling mengasihi tersebut.
Dalam injil tersebut dikisahkan Yesus menaruh belas kasihan kepada janda itu, dan ia menghiburnya sambil mengatakan “Jangan menangis”, seolah hendak mengatakan, “Aku tak mau melihat engkau menangis. Aku datang ke dunia untuk membawa sukacita dan damai sejahtera.” Dan lalu terjadilah mujizat, yang menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan, sebab Ia dapat membangkitkan anak muda yang sudah mati itu. Namun sebelum mujizat itu terjadi, Yesus menaruh belas kasihan terlebih dahulu, yang menjadi tanda kasih Kristus kepada manusia.
Dari perikop ini kita mengetahui bahwa Yesus peduli akan kesedihan kita, yang disebabkan karena ditinggal oleh orang yang kita kasihi, atau masalah kesehatan, masalah keluarga ataupun pekerjaan- yang mengakibatkan kita merasa kehilangan segala- galanya, seperti janda itu. Tuhan Yesus berbelas kasihan kepada kita, dan dengan kuasa-Nya Ia dapat menolong kita memberikan jalan keluar, dan bahkan mujizat, sebab Ia adalah Tuhan.
4.      Mengantisipasi Konsekuensi dari Mendengarkan Sabda Allah.
Hari ini minggu biasa X dan kita semua diajak, melalui bacaan injil tadi untuk berbela rasa, mengulurkan tangan kita kepada sesama kita yang membutukannya. Kita adalah agen Tuhan di dunia ini. Dan sebagai seorang agen kita tidak bisa tinggal diam di rumah dan sibuk dengan diri kita sendiri. Karena kita semua adalah makhluk social maka anda dan saya bisa menggunakan rasa solidearitas itu untuk membantu sesama yang berkekurangan.
Sikap yang demikian bisa kita lihat dari kehidupan Tuhan Yesus sendiri dalam karya dan pelayanan-Nya ketika berada di Nain. Melihat ada seorang janda yang kelihangan anak laki-laki, anak tunggalnya, Yesus merasa tersentuh hati-Nya. Dan belas kasihan itu mendorongnya berbela rasa dengan ibu yang berkabung itu dengan mengatakan “jangan menangis”. Tidak cukup berhenti pada kata-kata penghiburan itu saja, Yesus melanjutkan belas kasih-Nya dengan membangkitkan anak laki-laki itu. Dia bisa saja hanya berkata “bangkitlah” pada anak itu. Tapi, itu tidak dilakukan-Nya. Yesus menyentuh anak itu terlebih dahulu. Sentuhan itu memiliki daya dan kekuatan besar tidak saja bagi anak yang sudah meninggal, namun pasti juga bagi ibunya. Yesus memberi teladan kepada kita, perhatian dan sentuhan kasih-Nya adalah wujud keterbukaan hatinya bagi sesama. Sentuhan itu bisa menghidupkan, karena dengan sentuhan orang memberi diri bagi orang lain. Oleh karenanya, Mari meneladani Dia. Dengan memberikan sentuhan kasih yang berguna untuk kehidupan. Marilah kita sampaikan juga apa yang disampaikan oleh Yesus kepada anak tersebut “Bangkitlah” kepada sesama kita yang berkekurangan dengan sentuhan kasih sayang kita.
5.      Penutup
Kisah nyata tentang kehidupan saya pada awal kothbah tadi merupakan salah satu contoh dari sentuhan kasih dari seorang ibu yang memberikan seteguk air hangat kepada saya. Kepedulian dari sesama terhadap kita atau kepedulian kita terhadap sesame menjadi kunci utama untuk berbela rasa.
Sikap berbela rasa tersebut bisa  kita tumbuhkan pertama-tama dalam hati, kemudian ke dalam  keluarga dan akhirnya ke lingkungan yang lebih luas. Marilah saudara-saudara sekalian, mulailah dari sekarang tumbuhkan semangat untuk berbela rasa terhadap sesama kita. Karena semua orang membutuhkan sentuhan kasih sayang dari kita. Tuhan tidak pernah tutup mata bagi orang yang ingin berkorban untuk sesamanya.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar