______________________________________________________________________________
Bacaan
I : 1Raj.
17: 17- 24
Bacaan
II : Gal. 1: 11- 19.
Injil : Luk.
7: 11- 17.
1. Pembuka
Ketika masih duduk di bangku SD
kelas 2, saya terkena penyakit muntaber yang membuat hidup saya hampir saja berakhir
pada saat itu. Salah satu orang yang sangat panik dan kuatir atas keadaan saya
pada saat itu adalah ibu saya. Dalam keadaan saya yang sudah parah itu, Ibu beserta
bapak, mengantarkan saya ke sebuah rumah sakit swasta yang sangat jauh letaknya
dari desa kami. Pada saat itu saya merasa bahwa hidup saya tidak akan bertahan bila
saya harus diantar ke rumah sakit swasta tersebut. Dan apa yang terjadi, dalam
perjalanan tersebut, tiba-tiba saja saya meminta air kepada ibu saya. Lantas,
ibu menyuruh sopir untuk berhenti sejenak agar ibu bisa mampir di sebuah rumah
dan meminta air hangat. Setelah mendapat air tersebut, sang tuan rumah
menghampiri mobil kami dan bertanya kepada ibu saya tentang penyakit apa yang
saya derita. Ibu menceritakan apa yang sedang terjadi pada saya. Spontan, sang
ibu tersebut langsung menganjurkan kepada ibu saya agar mengantarkan saya ke
rumah sakit negeri yang ada di tempat tersebut karena sudah banyak orang yang
penyakitnya seperti saya tertolong disana.
Ibu mengantarkan saya ke rumah sakit
tersebut. Setelah para perawat berusaha keras untuk menemukan pembuluh nadi
saya untuk diinfus salah seorang dokter berkata bahwa untung anak ibu cepat
diantarkan kesini, terlambat sedikit lagi bisa berakibat fatal.
2.
Analisis
Kesenjangan Antara Cita-cita dan Realitas
Seandainya kejadian dalam Injil Lukas tadi menimpa
diri kita apa yang akan kita buat? Atau apa yang kita rasakan dalam situasi
seperti itu?
Kita semua tahu, bahwa Ibu adalah sosok yang tidak kenal putus asa dan selalu mempunyai
harapan. Bayangkan saja, seandainya waktu itu ibu melihat saya dalam kondisi
yang sudah parah dan ia berkata “sudahlah, kita serahkan semuanya pada
Tuhan”, maka saya tidak tahu lagi
bagaimana kelanjutan ceritanya. Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak ikut
campur dalam kesembuhan saya. Tentu saja Tuhan ikut campur di dalamnya, tapi Ia
juga mengharapkan agar kita juga bisa berusaha untuk mendapatkan yang terbaik
buat diri kita. Dan ibu bukanlah seorang tipe yang mudah putus asa.
Pengalaman yang saya alami pada saat itu tidak akan pernah
bisa dilupakan begitu saja baik oleh saya, ibu dan ayah saya. Kita semua yang
hadir pada saat ini juga mungkin pernah merasakan sentuhan Tuhan dalam hidup
kita sebagaimana yang saya alami. Entah itu dalam hal yang besar maupun dalam
hal-hal kecil. Tapi saya yakin, bagi orang yang percaya kepada-Nya, Tuhan akan
selalu hadir untuk membantu dan berkata “ Hai AnakKu, Aku berkata kepadamu,
Bangkitlah!”.
3.
Mendengarkan
Pesan Sabda Allah
Dalam bacaan injil tadi kita mendengarkan bahwa
Tuhan membangkitkan anak dari janda tersebut dengan sabdanya “Hai anak muda,
Aku berkata kepadamu, Bangkitlah!.” Kita semua bisa membayangkan bagaimana
perasaan seorang janda yang hanya mempunyai satu anak dan kini anaknya tersebut
harus meninggal. Betapa kesepiannya hidup sang janda tersebut.
Secara garis besar di perikop yang pertama (Luk 7:11-17), dikisahkan
bagaimana Kristus melakukan inisiatif terlebih dahulu untuk menolong janda yang
berduka karena anak laki- lakinya yang tunggal telah wafat. Kehilangan anak
laki- laki satu- satunya merupakan pukulan terbesar dalam kehidupan seorang
janda; yang artinya ia kehilangan segala- galanya. Dikatakan bahwa Yesus
‘tergerak olah belas kasihan’ (ay. 13). Maka Yesus bukannya tidak pernah turut
merasakan penderitaan kita manusia, yang terjadi karena cinta. Ia turut
merasakan pedihnya perpisahan antara anak- anak dan orang tua karena kematian,
dan karena itu Dia mengalahkan maut untuk memberikan kehidupan kekal, agar
dapat mempersatukan kembali mereka yang saling mengasihi tersebut.
Dalam injil tersebut dikisahkan Yesus menaruh belas kasihan kepada
janda itu, dan ia menghiburnya sambil mengatakan “Jangan menangis”, seolah
hendak mengatakan, “Aku tak mau melihat engkau menangis. Aku datang ke dunia
untuk membawa sukacita dan damai sejahtera.” Dan lalu terjadilah mujizat, yang
menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan, sebab Ia dapat membangkitkan anak muda
yang sudah mati itu. Namun sebelum mujizat itu terjadi, Yesus menaruh belas
kasihan terlebih dahulu, yang menjadi tanda kasih Kristus kepada manusia.
Dari perikop ini kita mengetahui bahwa Yesus peduli akan kesedihan
kita, yang disebabkan karena ditinggal oleh orang yang kita kasihi, atau
masalah kesehatan, masalah keluarga ataupun pekerjaan- yang mengakibatkan kita
merasa kehilangan segala- galanya, seperti janda itu. Tuhan Yesus berbelas
kasihan kepada kita, dan dengan kuasa-Nya Ia dapat menolong kita memberikan
jalan keluar, dan bahkan mujizat, sebab Ia adalah Tuhan.
4.
Mengantisipasi
Konsekuensi dari Mendengarkan Sabda Allah.
Hari ini minggu biasa X dan kita semua diajak,
melalui bacaan injil tadi untuk berbela rasa, mengulurkan tangan kita kepada
sesama kita yang membutukannya. Kita adalah agen Tuhan di dunia ini. Dan
sebagai seorang agen kita tidak bisa tinggal diam di rumah dan sibuk dengan
diri kita sendiri. Karena kita semua adalah makhluk social maka anda dan saya
bisa menggunakan rasa solidearitas itu untuk membantu sesama yang
berkekurangan.
Sikap yang demikian bisa kita lihat dari kehidupan
Tuhan Yesus sendiri dalam karya dan pelayanan-Nya ketika berada di Nain.
Melihat ada seorang janda yang kelihangan anak laki-laki, anak tunggalnya,
Yesus merasa tersentuh hati-Nya. Dan belas kasihan itu mendorongnya berbela
rasa dengan ibu yang berkabung itu dengan mengatakan “jangan menangis”. Tidak
cukup berhenti pada kata-kata penghiburan itu saja, Yesus melanjutkan belas
kasih-Nya dengan membangkitkan anak laki-laki itu. Dia bisa saja hanya berkata
“bangkitlah” pada anak itu. Tapi, itu tidak dilakukan-Nya. Yesus menyentuh
anak itu terlebih dahulu. Sentuhan itu memiliki daya dan kekuatan besar tidak
saja bagi anak yang sudah meninggal, namun pasti juga bagi ibunya. Yesus
memberi teladan kepada kita, perhatian dan sentuhan kasih-Nya adalah wujud
keterbukaan hatinya bagi sesama. Sentuhan itu bisa menghidupkan, karena dengan
sentuhan orang memberi diri bagi orang lain. Oleh karenanya, Mari meneladani
Dia. Dengan memberikan sentuhan kasih yang berguna untuk kehidupan. Marilah
kita sampaikan juga apa yang disampaikan oleh Yesus kepada anak tersebut
“Bangkitlah” kepada sesama kita yang berkekurangan dengan sentuhan kasih sayang
kita.
5.
Penutup
Kisah nyata tentang kehidupan saya pada awal kothbah
tadi merupakan salah satu contoh dari sentuhan kasih dari seorang ibu yang
memberikan seteguk air hangat kepada saya. Kepedulian dari sesama terhadap kita
atau kepedulian kita terhadap sesame menjadi kunci utama untuk berbela rasa.
Sikap berbela rasa tersebut bisa kita tumbuhkan pertama-tama dalam hati,
kemudian ke dalam keluarga dan akhirnya
ke lingkungan yang lebih luas. Marilah saudara-saudara sekalian, mulailah dari
sekarang tumbuhkan semangat untuk berbela rasa terhadap sesama kita. Karena
semua orang membutuhkan sentuhan kasih sayang dari kita. Tuhan tidak pernah
tutup mata bagi orang yang ingin berkorban untuk sesamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar