I.
PENDAHULUAN
Pada tanggal 22 maret 2012 mahasiawa STF
Driyarkara angkatan 2011/2012 melakukan kunjungan lapangan atas kegiatan
religious yang dilakukan oleh Agama Hindu di Monas dalam rangka menyongsong
hari raya Nyepi yang akan dilaksanakan pada hari berikutnya. Dalam kunjungan
yang dilakukan dengan tema umum yakni Konstruksi Makna dalam Ritual Keagamaan
tersebut, membawa kami pada suatu kesimpulan bahwa ritual keagamaan yang
dilakukan oleh suatu kelompok agama tidak terlepas dari rasa cinta dan hormat
kepada Yang Esa. Karena satu persamaan tersebut mereka rela bersatu untuk
merayakan hari keagamaan mereka walaupun mereka berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut maka kami menemukan tema
kunjungan yang dijadikan sebagai judul dari makalah ini yaitu: Agama menurut Teori Fungsionalisme Emile
Durkheim
Tujuan dari kegiatan kunjungan lapangan
ini yakni: pertama, menghubungkan
teori-teori yang diperoleh dalam sosiologi agama dengan gejala-gejala social
yang relevan yang terjadi di lapangan. Kedua, berkaitan dengan pengaplikasian
teori-teori yang telah diperoleh dalam kuliah pada gejala-gejala social yang
nyata di lapangan. Ketiga, menambah wawasan mahasiswa khususnya berkaitan
dengan ritual agama Hindu.
Metode yang kami gunakan dalam kunjungan
kali ini yakni metode observasi dan wawancara. Dimana kami mengamat-amati
berlangsungnya kegiatan tersebut sambil juga terlibat secara aktif misalnya
dengan mengikuti ritual-ritual seperti menyanyikan lagu-lagu berbahasa india
dan juga terlibat dalam perarakan ogoh-ogoh.
II.
Agama
Menurut Teori Fungsionalis Emile Durkheim
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan
teori fungsionalis, alangkah baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui
definisi agama menurut Durkheim, Berger dan Wuthnow.[1] Berikut
ini adalah tiga definisi yang diajukan:
a.
Agama adalah suatu
bentuk budaya, di dalam arti, agama serupa dengan budaya terdiri dari
kepercayaan, nilai, norma dan gagasan yang dialami bersama dan menciptakan
identitas bersama di dalam suatu kelompok tertentu.
b.
Agama mencakup
kepercayaan-kepercayaan yang mengambil bentuk di dalamberbagai praktek ritual.
Terdapat kegiatan-kegiatan khusus yang wajib diikuti oleh para penganut agama
tertentu dan yang mengidentifikasikan mereka sebagai anggota dari kelompok
keagamaan tertentu.
c.
Agam memberikan makna
dan tujuan hidup bagi para penganutnya. Secara sosiologis, inilah elemen
terpenting dalam definisi agama. Agama dapat memberikan jawaban yang koheren
dan holistic mengenai mengapa hidup manusia beramakna dengan cara-cara yang
tidak dapat dilakukan oleh aspek-aspek budaya lain sepertipendidikandan politik
(pemikiran Wuthnow dan Geertz).
Berdasarkan ketiga pengertian
tentang agama tersebut, maka sekarang kita dapat memberikan pengertian tentang
teori fungsionalis dari Durkheim. Agama dipandang sebagai sumber utama solidaritas
social. Ritual agama yang dilakukan secara kolektif dapat memperkuat
solidaritas(collective effervescene). Itulah yang terjadi pada apa yang kami
perhatikan di lapangan ketika terjadi upacara ogoh-ogoh. Tampaknya, seluruh
umat yang hadir pada saat itu merupakan satu keluarga walaupun mereka berasal
dari daerah yang berbeda-beda. Mereka begitu bersatu hanya karena mempunyai
satu keyakinan yang sama.
Teori struktural fungsional dari
Durkheim menjelaskan agama sebagai pencipta kohesi social, bagaimana
menjelaskan semakin inklusif terhadap agama tersebut, pada saat yang sama
semakin eksklusiv terhadapa kelompok-kelompok agama yang lain. Dan hal seperti
inilah yang dapat kita perhatikan di Indonesia. Ketika terjadi sebuah
perkumpulan yang mengatasnamakan kelompok tertentu maka rasa persaudaraan yang
terjalin pun semakin erat dan akan semakin erat lagi jika terjadi kekacauan
yang mengatasnamakan kelompok tersebut. Contohnya: orang-orang dari berbagai
daerah berkumpul untuk merayakan hari agama A. oleh karena perayaan tersebut
membuat mereka menjadi semakin bersatu dan semakin mencintai agama mereka.
namun di lain pihak, bisa juga membuat mereka semakin tertutup dengan
agama-agama yang lain karena mereka hanya mau menerima apa yang diperoleh dari
agama mereka saja.
Secara singkat itulah yang dapat
dijelaskan dari teori fungsionalisnya Durkheim. Intinya, agama dipandang
sebagai sumber utama solidaritas social. Dengan mengatasnamakan agama orang
dapat berkumpul bersama dan bersatu untuk melawan semua kelompok yang berusaha
untuk melecehkan Tuhan mereka.
III.
Deskripsi
Hasil Kunjungan Lapangan
Kami berangkat menuju lokasi kira-kira
pkl. 14.30. Sesuai dengan permintaan dari panitia pelaksana perayaan ogoh-ogoh,
maka kami semua memakai baju berwarna putih disertai dengan selendang yang
dililit diseputar leher. Setibanya kami di sana, semua orang berpencar-pencar
mencari tempat berlindung karena udara siang itu sangat panas. Anggota kelompok
kami yang terdiri dari 6 orang pun ikut berpencar. Parade ogoh-ogoh yang
ditunggu-tunggu baru dimulai pada pkl. 16.00, sedangkan kami telah tiba di
tempat tujuan satu jam sebelumnya. Sambil menunggu waktu paradenya, kami
berjalan untuk mencari informasi-informasi seputar parade tersebut.
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang
menggambarkan kepribadian Bhuta Kala.[2]
Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala
merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur
dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan
patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan
menakutkan; biasanya dalam wujud raksasa. Dalam perkembangannya, ada yang
dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau
tokoh agama bahkan penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau
SARA walaupun sebetulnya hal ini
menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh. Contohnya Ogoh-ogoh yang menggambarkan
seorang teroris.
Dalam
fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat
menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling
desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Nyepi.
Menurut
para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan
manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan
tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit
(diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat
mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju
kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia,
sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi
dunia.
Berdasarkan wawancara yang kami lakukan dengan beberapa
umat Hindu yang hadir pada saat itu, mereka mengungkapkan bahwa sebelum Nyepi
Ogoh-Ogoh diusung supaya para makhluk gaib tidak mengganggu kehidupan manusia.
Upacara ini juga dilakukan untuk menghindari bencana alam yakni banjir, petir, dan sebagainya. Di sini, terjadi pergesaran dari kehidupan negatif menuju positif agar berguna bukan hanya bagi alam saja melainkan juga bagi kehidupan manusia. Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa, Ogoh-Ogoh yang diarak itu tidak boleh sembarangan dibuat. Ogoh-ogoh tersebut harus disucikan terlebih dahulu, supaya memiliki kekuatan spiritual. Orang yang membuat Ogoh-Ogoh juga harus mempunyai pengetahuan spiritual, begitu juga dengan yang mengusung ogoh-ogoh harus disucikan terlebih dahulu kalau tidak demikian nantinya ada kejadian yang aneh seperti kerasukan atau yang lainnya, dan setelah itu ogoh-ogoh ini harus dibakar dan tidak boleh disimpan agar hal-hal negative di bumi ini pun ikut terbakar.
Upacara ini juga dilakukan untuk menghindari bencana alam yakni banjir, petir, dan sebagainya. Di sini, terjadi pergesaran dari kehidupan negatif menuju positif agar berguna bukan hanya bagi alam saja melainkan juga bagi kehidupan manusia. Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa, Ogoh-Ogoh yang diarak itu tidak boleh sembarangan dibuat. Ogoh-ogoh tersebut harus disucikan terlebih dahulu, supaya memiliki kekuatan spiritual. Orang yang membuat Ogoh-Ogoh juga harus mempunyai pengetahuan spiritual, begitu juga dengan yang mengusung ogoh-ogoh harus disucikan terlebih dahulu kalau tidak demikian nantinya ada kejadian yang aneh seperti kerasukan atau yang lainnya, dan setelah itu ogoh-ogoh ini harus dibakar dan tidak boleh disimpan agar hal-hal negative di bumi ini pun ikut terbakar.
Berdasarkan hasil observasi, para
pengunjung yang hadir pada saat itu pun ikut bergembira mengikuti parade
ogoh-ogoh yang dilaksanakan dalam rangka menyongsong hari raya Nyepi. Bukan
hanya umat hindu saja melainkan semua orang pun terkagum-kagum dengan ogoh-ogoh
raksasa yang turut dipamerkan pada saat itu. umat Hindu yang pada saat itu
hadir pun sangat menikmati parade tersebut. Sekilas kita melihat bahwa begitu
indahnya jika Indonesia kita terus-menerus diwarnai dengan suasana persaudaraan
bukan hanya karena satu keyakinan melainkan karena kita adalah satu bangsa.
IV.
Analisis
Hasil Kunjungan Lapangan
Pada bagian awal telah dijelaskan
sedikit tentang teori fungsionalisme atas agama. Aliran fungsionalisme melihat
masyarakat sebagai suatu equilibrium
social dari semua institusi yang ada di dalamnya. Sebagai keseluruhan
sisitem social masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri atas
norma-norma yang dianggap sah dan mengikat oleh anggota-anggotanya yang menjadi
pengambil bagian dari system itu.[3]
keseluruhan dari institusi-institusi yang membentuk system social itu
sedemikian rupa, sehingga setiap bagiannya saling bergantungan dengan bagian
yang lain sedemikian erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi
bagian yang lain dan keadaan system sebagai keseluruhan.
Lebih lanjut lagi teori ini melihat
agama sebagai penyebab social yang dominan dalam terbentuknya lapisan social
dalam tibih masyarakat, yang masing-masing mempunyai perasaan tersendiri yang
sanggup mengumpulkan orang-orangnya dalam suatu wadah persatuan yang amat
kompak (jika mereka menganut satu agama yang sama) tetapi perasaan religious
dari agama yang berlainan dapat memisahkan kelompok yang satu dengan yang lain
secara tajam (konflik yang bermotif keagamaan)
Itulah salah satu kelemahan dari
teori ini. Berusaha untuk mengumpulkan orang-orang yang senasib namun di lain
pihak seolah-olah kelompok tersebut menjadi sangat eksklusif terhadap kelompok
yang lainnya. Parade ogoh-ogoh yang dilakukan di monas pada tanggal 22 maret
2012 yang lalu jelas menunjukkan rasa persatuan diantara umat Hindu sebagai
satu saudara yang mempunyai keyakinan yang sama, tetapi kita tidak tahu dan
juga tidak bisa menebak apakah persaudaraan yang dibentuk pada saat itu masih
bisa tetap terjalin kapan dan dimanapun mereka berada tidak hanya pada saat ada
perkumpulan atas nama agama.
Menurut O’Dea, ketika orang-orang
mengakui “sesuatu yang lain”, orang-orang yang tidak beragama justru mengatakan
“tidak ada yang lain”.[4] Dari
pendapat ini, dapat dikatakan bahwa orang yang bersatu dalam kelompok mempunyai
satu kesamaan pikiran untuk menentang yang lain dan bagi mereka yang lain itu
adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh mereka.
ketika mereka memikirkan tentang orang lain yang tidak tergabung dalam kelompok
manapun, justru pada saat itulah terbentuk suatu pola piker bahwa yang lain itu
tidak baik atau tidak sesuai dengan ajaran mereka, maka muncullah apa yang kita
katakana sebagai konflik antar kelompok.
Rasa persatuan memang perlu
dibentuk dalam kehidupan kita sehari-hari baik sebagai umat yang beriman maupun
sebagai satu bangsa. Dalam persatuan tersebut yang diperlukan adalah
keterbukaan untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan orang maupun
kelompok lain. Agar kita bisa saling mengenal satu sama lain maka dibutuhkan
dialog. Dalam berdialog yang dibutuhkan adalah saling mendengarkan dan rendah
hati tidak perlu menyombongkan apa yang menjadi kelebihan kita atau menjelekkan
kelemahan oran atau kelompok lain.
V.
Kesimpulan
dan Saran
Rukun
Negeriku, Damai Hatiku adalah tema malam
budaya yang diselenggrakan di STF Driyarkara bulan yang lalu. Dari tema
tersebut pasti kita bisa menafsirkan sebagai adanya suatu harapan untuk
mencapai kesatuan Negara kita ini. Ketika berada di monas pada saat parade
ogoh-ogoh, teman kelompok saya sempat berkata, seandainya tiap hari Negara kita
seperti ini, tidak ada kekacauan dimana-mana atau korupsi maka betapa damainya
negeri ini bukan? Tapi sayangnya rasa persatuan seperti itu hanya bisa terjalin
pada momen-momen tertentu saja di saat kita percaya bahwa ada seseorang yang
mempersatukan kita.
Teori fungsionalis agama jelas
menunjukkan adanya kesatuan dalam kelompok untuk membentuk suatu persamaan baik
dalam pikiran maupun dalam tindakan. Namun di lain pihak, teori ini juga secara
tidak langsung menjauhkan kelompok lain dari kelompok kita. Orang akan bersatu
apabila suatu kelompok A menghina kelompok B. Dengan demikian terciptalah suatu
musuh bersama yang mengatasnamakan kelompok. Teori ini menjelaskan semakin
inklusiv suatu kelompok, pada saat yang sama menjadi semakin eksklusiv pula
terhadap kelompok-kelompok yang lain.
Saran kami terhadap pelaksanaan
kegiatan ini sangat positif. Dengan kegiatan ini, kami tidak hanya belajar apa
yang kami pelajari di bangku kuliah melainkan juga terjun langsung ke lapangan
guna untuk melihat kesesuaian antara teori dan praktek. Selain itu, kegiatan
ini juga menambah wawasan kami terhadap agama lain khususnya agama Hindu dan
membuat kami bisa lebih menghargai sesame kami yang berasaal dari agama dan
budaya lain. Harapan kami, semoga kegiatan seperti ini dapat terus terjadi pada
tahun-tahun berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendrosucipto, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1983.
Scharf, Betty R. Sosiologi Agama, ed II. Rawamangun: Prenada Media. 2004.
Seda, Fransisca. Diktat Sosiologi,
Eksklusivitas dan Inklusivitas. 2010.
[1] Fransiska SSE Seda, Diktat Sosiologi Agama, Eksklusivitas dan
Inklusivitas, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar