Senin, 09 November 2015

Agama menurut Teori Fungsionalisme Emile Durkheim




       I.            PENDAHULUAN
Pada tanggal 22 maret 2012 mahasiawa STF Driyarkara angkatan 2011/2012 melakukan kunjungan lapangan atas kegiatan religious yang dilakukan oleh Agama Hindu di Monas dalam rangka menyongsong hari raya Nyepi yang akan dilaksanakan pada hari berikutnya. Dalam kunjungan yang dilakukan dengan tema umum yakni Konstruksi Makna dalam Ritual Keagamaan tersebut, membawa kami pada suatu kesimpulan bahwa ritual keagamaan yang dilakukan oleh suatu kelompok agama tidak terlepas dari rasa cinta dan hormat kepada Yang Esa. Karena satu persamaan tersebut mereka rela bersatu untuk merayakan hari keagamaan mereka walaupun mereka berasal dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut maka kami menemukan tema kunjungan yang dijadikan sebagai judul dari makalah ini yaitu: Agama menurut Teori Fungsionalisme Emile Durkheim   
Tujuan dari kegiatan kunjungan lapangan ini yakni: pertama,  menghubungkan teori-teori yang diperoleh dalam sosiologi agama dengan gejala-gejala social yang relevan yang terjadi di lapangan. Kedua, berkaitan dengan pengaplikasian teori-teori yang telah diperoleh dalam kuliah pada gejala-gejala social yang nyata di lapangan. Ketiga, menambah wawasan mahasiswa khususnya berkaitan dengan ritual agama Hindu.
Metode yang kami gunakan dalam kunjungan kali ini yakni metode observasi dan wawancara. Dimana kami mengamat-amati berlangsungnya kegiatan tersebut sambil juga terlibat secara aktif misalnya dengan mengikuti ritual-ritual seperti menyanyikan lagu-lagu berbahasa india dan juga terlibat dalam perarakan ogoh-ogoh.



    II.            Agama Menurut Teori Fungsionalis Emile Durkheim
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan teori fungsionalis, alangkah baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui definisi agama menurut Durkheim, Berger dan Wuthnow.[1] Berikut ini adalah tiga definisi yang diajukan:
a.    Agama adalah suatu bentuk budaya, di dalam arti, agama serupa dengan budaya terdiri dari kepercayaan, nilai, norma dan gagasan yang dialami bersama dan menciptakan identitas bersama di dalam suatu kelompok tertentu.
b.   Agama mencakup kepercayaan-kepercayaan yang mengambil bentuk di dalamberbagai praktek ritual. Terdapat kegiatan-kegiatan khusus yang wajib diikuti oleh para penganut agama tertentu dan yang mengidentifikasikan mereka sebagai anggota dari kelompok keagamaan tertentu.
c.    Agam memberikan makna dan tujuan hidup bagi para penganutnya. Secara sosiologis, inilah elemen terpenting dalam definisi agama. Agama dapat memberikan jawaban yang koheren dan holistic mengenai mengapa hidup manusia beramakna dengan cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh aspek-aspek budaya lain sepertipendidikandan politik (pemikiran Wuthnow dan Geertz).

Berdasarkan ketiga pengertian tentang agama tersebut, maka sekarang kita dapat memberikan pengertian tentang teori fungsionalis dari Durkheim. Agama dipandang sebagai sumber utama solidaritas social. Ritual agama yang dilakukan secara kolektif dapat memperkuat solidaritas(collective effervescene). Itulah yang terjadi pada apa yang kami perhatikan di lapangan ketika terjadi upacara ogoh-ogoh. Tampaknya, seluruh umat yang hadir pada saat itu merupakan satu keluarga walaupun mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda. Mereka begitu bersatu hanya karena mempunyai satu keyakinan yang sama.
Teori struktural fungsional dari Durkheim menjelaskan agama sebagai pencipta kohesi social, bagaimana menjelaskan semakin inklusif terhadap agama tersebut, pada saat yang sama semakin eksklusiv terhadapa kelompok-kelompok agama yang lain. Dan hal seperti inilah yang dapat kita perhatikan di Indonesia. Ketika terjadi sebuah perkumpulan yang mengatasnamakan kelompok tertentu maka rasa persaudaraan yang terjalin pun semakin erat dan akan semakin erat lagi jika terjadi kekacauan yang mengatasnamakan kelompok tersebut. Contohnya: orang-orang dari berbagai daerah berkumpul untuk merayakan hari agama A. oleh karena perayaan tersebut membuat mereka menjadi semakin bersatu dan semakin mencintai agama mereka. namun di lain pihak, bisa juga membuat mereka semakin tertutup dengan agama-agama yang lain karena mereka hanya mau menerima apa yang diperoleh dari agama mereka saja.
Secara singkat itulah yang dapat dijelaskan dari teori fungsionalisnya Durkheim. Intinya, agama dipandang sebagai sumber utama solidaritas social. Dengan mengatasnamakan agama orang dapat berkumpul bersama dan bersatu untuk melawan semua kelompok yang berusaha untuk melecehkan Tuhan mereka.

 III.            Deskripsi Hasil Kunjungan Lapangan
Kami berangkat menuju lokasi kira-kira pkl. 14.30. Sesuai dengan permintaan dari panitia pelaksana perayaan ogoh-ogoh, maka kami semua memakai baju berwarna putih disertai dengan selendang yang dililit diseputar leher. Setibanya kami di sana, semua orang berpencar-pencar mencari tempat berlindung karena udara siang itu sangat panas. Anggota kelompok kami yang terdiri dari 6 orang pun ikut berpencar. Parade ogoh-ogoh yang ditunggu-tunggu baru dimulai pada pkl. 16.00, sedangkan kami telah tiba di tempat tujuan satu jam sebelumnya. Sambil menunggu waktu paradenya, kami berjalan untuk mencari informasi-informasi seputar parade tersebut.
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala.[2] Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud raksasa. Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau SARA walaupun sebetulnya hal ini menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh. Contohnya Ogoh-ogoh yang menggambarkan seorang teroris.
Dalam fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Nyepi.
Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Berdasarkan  wawancara yang kami lakukan dengan beberapa umat Hindu yang hadir pada saat itu, mereka mengungkapkan bahwa sebelum Nyepi Ogoh-Ogoh diusung supaya para makhluk gaib tidak mengganggu kehidupan manusia.
Upacara ini juga dilakukan untuk menghindari bencana alam yakni banjir, petir, dan sebagainya. Di sini, terjadi pergesaran dari kehidupan negatif menuju positif agar berguna bukan hanya bagi alam saja melainkan juga bagi kehidupan manusia. Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa, Ogoh-Ogoh yang diarak itu tidak boleh sembarangan dibuat. Ogoh-ogoh tersebut harus disucikan terlebih dahulu, supaya memiliki kekuatan spiritual. Orang yang membuat Ogoh-Ogoh juga harus mempunyai pengetahuan spiritual, begitu juga dengan yang mengusung ogoh-ogoh harus disucikan terlebih dahulu kalau tidak demikian nantinya ada kejadian yang aneh seperti kerasukan atau yang lainnya, dan setelah itu ogoh-ogoh ini harus dibakar dan tidak boleh disimpan agar hal-hal negative di bumi ini pun ikut terbakar.
Berdasarkan hasil observasi, para pengunjung yang hadir pada saat itu pun ikut bergembira mengikuti parade ogoh-ogoh yang dilaksanakan dalam rangka menyongsong hari raya Nyepi. Bukan hanya umat hindu saja melainkan semua orang pun terkagum-kagum dengan ogoh-ogoh raksasa yang turut dipamerkan pada saat itu. umat Hindu yang pada saat itu hadir pun sangat menikmati parade tersebut. Sekilas kita melihat bahwa begitu indahnya jika Indonesia kita terus-menerus diwarnai dengan suasana persaudaraan bukan hanya karena satu keyakinan melainkan karena kita adalah satu bangsa.

 IV.            Analisis Hasil Kunjungan Lapangan
Pada bagian awal telah dijelaskan sedikit tentang teori fungsionalisme atas agama. Aliran fungsionalisme melihat masyarakat sebagai suatu equilibrium social dari semua institusi yang ada di dalamnya. Sebagai keseluruhan sisitem social masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri atas norma-norma yang dianggap sah dan mengikat oleh anggota-anggotanya yang menjadi pengambil bagian dari system itu.[3] keseluruhan dari institusi-institusi yang membentuk system social itu sedemikian rupa, sehingga setiap bagiannya saling bergantungan dengan bagian yang lain sedemikian erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi bagian yang lain dan keadaan system sebagai keseluruhan.
Lebih lanjut lagi teori ini melihat agama sebagai penyebab social yang dominan dalam terbentuknya lapisan social dalam tibih masyarakat, yang masing-masing mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup mengumpulkan orang-orangnya dalam suatu wadah persatuan yang amat kompak (jika mereka menganut satu agama yang sama) tetapi perasaan religious dari agama yang berlainan dapat memisahkan kelompok yang satu dengan yang lain secara tajam (konflik yang bermotif keagamaan)
Itulah salah satu kelemahan dari teori ini. Berusaha untuk mengumpulkan orang-orang yang senasib namun di lain pihak seolah-olah kelompok tersebut menjadi sangat eksklusif terhadap kelompok yang lainnya. Parade ogoh-ogoh yang dilakukan di monas pada tanggal 22 maret 2012 yang lalu jelas menunjukkan rasa persatuan diantara umat Hindu sebagai satu saudara yang mempunyai keyakinan yang sama, tetapi kita tidak tahu dan juga tidak bisa menebak apakah persaudaraan yang dibentuk pada saat itu masih bisa tetap terjalin kapan dan dimanapun mereka berada tidak hanya pada saat ada perkumpulan atas nama agama.
Menurut O’Dea, ketika orang-orang mengakui “sesuatu yang lain”, orang-orang yang tidak beragama justru mengatakan “tidak ada yang lain”.[4] Dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa orang yang bersatu dalam kelompok mempunyai satu kesamaan pikiran untuk menentang yang lain dan bagi mereka yang lain itu adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh mereka. ketika mereka memikirkan tentang orang lain yang tidak tergabung dalam kelompok manapun, justru pada saat itulah terbentuk suatu pola piker bahwa yang lain itu tidak baik atau tidak sesuai dengan ajaran mereka, maka muncullah apa yang kita katakana sebagai konflik antar kelompok.
Rasa persatuan memang perlu dibentuk dalam kehidupan kita sehari-hari baik sebagai umat yang beriman maupun sebagai satu bangsa. Dalam persatuan tersebut yang diperlukan adalah keterbukaan untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan orang maupun kelompok lain. Agar kita bisa saling mengenal satu sama lain maka dibutuhkan dialog. Dalam berdialog yang dibutuhkan adalah saling mendengarkan dan rendah hati tidak perlu menyombongkan apa yang menjadi kelebihan kita atau menjelekkan kelemahan oran atau kelompok lain.

    V.            Kesimpulan dan Saran
Rukun Negeriku, Damai Hatiku adalah tema malam budaya yang diselenggrakan di STF Driyarkara bulan yang lalu. Dari tema tersebut pasti kita bisa menafsirkan sebagai adanya suatu harapan untuk mencapai kesatuan Negara kita ini. Ketika berada di monas pada saat parade ogoh-ogoh, teman kelompok saya sempat berkata, seandainya tiap hari Negara kita seperti ini, tidak ada kekacauan dimana-mana atau korupsi maka betapa damainya negeri ini bukan? Tapi sayangnya rasa persatuan seperti itu hanya bisa terjalin pada momen-momen tertentu saja di saat kita percaya bahwa ada seseorang yang mempersatukan kita.
Teori fungsionalis agama jelas menunjukkan adanya kesatuan dalam kelompok untuk membentuk suatu persamaan baik dalam pikiran maupun dalam tindakan. Namun di lain pihak, teori ini juga secara tidak langsung menjauhkan kelompok lain dari kelompok kita. Orang akan bersatu apabila suatu kelompok A menghina kelompok B. Dengan demikian terciptalah suatu musuh bersama yang mengatasnamakan kelompok. Teori ini menjelaskan semakin inklusiv suatu kelompok, pada saat yang sama menjadi semakin eksklusiv pula terhadap kelompok-kelompok yang lain.
Saran kami terhadap pelaksanaan kegiatan ini sangat positif. Dengan kegiatan ini, kami tidak hanya belajar apa yang kami pelajari di bangku kuliah melainkan juga terjun langsung ke lapangan guna untuk melihat kesesuaian antara teori dan praktek. Selain itu, kegiatan ini juga menambah wawasan kami terhadap agama lain khususnya agama Hindu dan membuat kami bisa lebih menghargai sesame kami yang berasaal dari agama dan budaya lain. Harapan kami, semoga kegiatan seperti ini dapat terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya.

 DAFTAR PUSTAKA


Hendrosucipto, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1983.
Scharf, Betty R. Sosiologi Agama, ed II. Rawamangun: Prenada Media. 2004.
Seda, Fransisca. Diktat Sosiologi, Eksklusivitas dan Inklusivitas. 2010.

[1] Fransiska SSE Seda, Diktat Sosiologi Agama, Eksklusivitas dan Inklusivitas, 2010.
[2] Bhagavad gita, sloka 13.17.
[3] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, 1983,Yogyakarta: Kanisius, hlm. 27.
[4] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, ed. II, 2004, Rawamangun: Prenada Media, hlm. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar