St.Agustinus dari Hipoo dianggap sebagai perintis gagasan perang adil. Perang adil dipandangnya kurang jahat jika dibandingkan dengan kejahatan kaum bar-bar yang memandang segala sesuatu yang bisa dilakukan adalah selalu benar.[1] Gagasan perang adil muncul dalam kurun tertentu dan dengan situasi serta latar belakang di mana kekuasan berpusat pada satu otoritas tertinggi abad pertengahan yakni, Gereja Katolik Roma. Dalil perang adil menurut Agustinus dikaitkan dengan perang untuk melawan penghujat Allah. “Hanya karena alasan-alasan yang adil dan benar sajalah, perang dapat dibenarkan dan dilaksanakan. Perang boleh bahkan harus ditempuh demi membelah dan mendapatkan kembali hak milik pribadi yang dirampas pihak lain.”[2]
Dalam konteks
perang salib konsep perang adil dijiwai
oleh semangat untuk merebut kembali Yerusalem (the Holy Land) yang diyakini
sebagai wilayah milik agama Kristiani. Hal ini didasarkan pada pandangan
tentang peristiwa Yesus Kristus yang terjadi di wilayah tersebut dan agama
Kristen pun lahir dan berkembang di tempat itu. Namun semangat perang salib
sebagi (perang suci) saat itu
dipengaruhi oleh motivasi yang berbeda-beda, seperti tawaran indulgensi,
kepentingan sosial, ekonomis, dan kepentingan pribadi.
Gagasan
perang adil (bellum iustum) menjadi
gagasan yang berubah dan selalu diperbaharui pemahamannya berdasarkan peradaban
masyarakat. Berhadapan dengan etika dan moral yang termuat dalam gagasan Hak
Asasi Manusia (HAM) perang memunculkan pertanyaan: apakah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk
melindungi dan menjaga nilai-nilai? Membunuh tidak dapat dibenarkan secara
moral. Dalam ajaran agama Kristiani juga gagasan perang secara mendasar
ditolak. Hal ini nampak dalam hukum utama Kristiani yakni cinta kasih. Selain
itu ajaran gereja yang menekankan perdamaian dan keadilan sebagaiman yang
diperjuangkan geraja saat ini.[3]
Pada abad 20 ada banyak
peryaratan yang dibuat dalam suatu perang. Bukan hanya sekadar larangan
berperang di hari besar keagamaan seperti yang terjadi pada perang salib.
Syarat-syarat yang dibuat sedemikian rumit seperti, perang sebagai jalan untuk
membela dan mempertahankan diri terhadap serangan yang tak adil. Perang harus
ada kemungkinan berhasil yang sungguh nyata untuk meperoleh nilai yang lebih
tinggi. Nilai-nilai yang hakiki tetap menjadi sumber dan tujuan perjuangan. Kekerasan hanya boleh digunakan setelah
semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh
diusahakan dengan tuntas. Prasyarat ini dimaksudkan agar perang tidak terdadi
karena pada kenyataan perang selalu berujung pada degradasi nilai moran dan
kerugian materi bahhkan nyawa.
Peristiwa 1054 (
Skisma Timur)
Skisma
Timur merupakan peristiwa perpecahan dan pemisahan diri persekutuan gerejawi
yang umumnya menyangkut disiplin, tata tertib. Sebagai suatu skisma pemisahan
diri tersebut tidak berakibat pada
ajaran iman dan sakramen-sakramen gereja. Pertentangan tersebut
melibatkan gereja barat (Roma) dan gereja timur (Konstantinopel) yang merupakan
gereja-gereja besar.[4]
Skisma tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan. Pertama, skisma
dilihat sebagai rivalitas pribadi dengan dalil gengsi dan haga diri. Kedua,
persaingan Timur dan Barat dalam ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Ketiga,
persaingan antartaktha Roma dan Konstatinopel. Keempat, perbedaan ungkapan
liturgi, ajaran filioque, puasa,
paskah, dan bahasa liturgi. Kelima, masalah tata tertib, disiplin, termasuk
masalah selibat dan hubungan dengan penguasa sipil.[5]
Pokok permasalahan
skisma timur berada di bawah otoritas penguasa yang hendak memperluas
kekuasaannya. Oleh karena itu, konflik itu sesungguhnya tidak mewakili permasalah
mendasar yang dihadapi umat pada umumnya. Ada masalah mendasar yang
melatarbelakangi perisstiwa skisma yakni, sejumlah perbedaan, Roma dan
Konsatantinopel saling mengekskomunikasi. Peristiwa skisma timur memberi
pengaruh positif bagi Gereja sendiri dalam menilai peristiwa sejarah. Setiap
batrik memiliki alasan atas skisma dan bertanggung jawab terhadap
akibat-akibatnya. Skisma memberikan sudut pandang baru dalam melihat keberadaan
batrik-batrik lain dan makna yang diberikannya terhadap kekristenan universal.
Gereja Timur menyebut dirinya sebagai Gereja Ortodoks
sebagai suatu Gereja resmi yang sesuai dengan ajaran dan Tradisi Kristen yang
diwarisi oleh para Rasul, pengikut Yesus. Gereja Ortodoks dipersatukan oleh teologi yang sama. Semua anggota Gereja
memeluk keyakinan yang sama terlepas dari ras atau kebangsaan. Dalam praktek dan tradisi, bagaimanapun, ada variasi
dalam gaya tergantung tempat atau adat setempat. Ini kebiasaan setempat disebut sebagai perbedaan yang
dapat diterima oleh para pemimpin gereja karena
mereka tidak dianggap bertentangan dengan ajaran teologis Ortodoks dasar.
Gereja Timur bukanlah
tatanan atau kelas sekunder. Gereja Timur memberikan tanda kehadirannya dimana
selama berabad-abad menjadi maestro
bagi Barat. Dalam banyak Gereja Timur memberikan harta karun kerohanian bagi
Gereja universal. Dalam dogma, gerakan hidup membiara, dan bentuk-bentuk
kesalehan.[6]
[1] Gerald O’C, sj dan Edward
G. Farrugia,Sj. ,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,1996, hal. 235
[2] Eddy Kristiyanto, Gagasan
yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 185
[3] Thompson J. Milburn , Keadilan
dan perdamaian: Tanggung Jawab kristiani dalam Membangun Perdamaian Dunia, ed.Steve Gaspersz, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009, hal. 220
[4] Kristiyanto, Eddy, hal. 162-163
[6] Ibid. hal. 170-171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar