Kamis, 12 November 2015

Gagasan perang adil ( bellum iustum)





St.Agustinus dari Hipoo dianggap sebagai perintis gagasan perang adil. Perang adil dipandangnya kurang jahat jika dibandingkan dengan kejahatan kaum bar-bar yang memandang segala sesuatu yang bisa dilakukan adalah selalu benar.[1] Gagasan perang adil muncul dalam kurun tertentu dan dengan situasi serta latar belakang di mana kekuasan berpusat pada satu otoritas tertinggi abad pertengahan yakni, Gereja Katolik Roma. Dalil perang adil menurut Agustinus dikaitkan dengan perang untuk melawan penghujat Allah. “Hanya karena alasan-alasan yang adil dan benar sajalah, perang dapat dibenarkan dan dilaksanakan. Perang boleh bahkan harus ditempuh demi membelah dan mendapatkan kembali hak milik pribadi yang dirampas pihak lain.”[2] 
Dalam konteks perang  salib konsep perang adil dijiwai oleh semangat untuk merebut kembali Yerusalem (the Holy Land) yang diyakini sebagai wilayah milik agama Kristiani. Hal ini didasarkan pada pandangan tentang peristiwa Yesus Kristus yang terjadi di wilayah tersebut dan agama Kristen pun lahir dan berkembang di tempat itu. Namun semangat perang salib sebagi (perang suci) saat itu dipengaruhi oleh motivasi yang berbeda-beda, seperti tawaran indulgensi, kepentingan sosial, ekonomis, dan kepentingan pribadi.
Gagasan perang adil (bellum iustum) menjadi gagasan yang berubah dan selalu diperbaharui pemahamannya berdasarkan peradaban masyarakat. Berhadapan dengan etika dan moral yang termuat dalam gagasan Hak Asasi Manusia (HAM) perang memunculkan pertanyaan: apakah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan menjaga nilai-nilai? Membunuh tidak dapat dibenarkan secara moral. Dalam ajaran agama Kristiani juga gagasan perang secara mendasar ditolak. Hal ini nampak dalam hukum utama Kristiani yakni cinta kasih. Selain itu ajaran gereja yang menekankan perdamaian dan keadilan sebagaiman yang diperjuangkan geraja saat ini.[3]
Pada abad 20 ada banyak peryaratan yang dibuat dalam suatu perang. Bukan hanya sekadar larangan berperang di hari besar keagamaan seperti yang terjadi pada perang salib. Syarat-syarat yang dibuat sedemikian rumit seperti, perang sebagai jalan untuk membela dan mempertahankan diri terhadap serangan yang tak adil. Perang harus ada kemungkinan berhasil yang sungguh nyata untuk meperoleh nilai yang lebih tinggi. Nilai-nilai yang hakiki tetap menjadi sumber dan tujuan perjuangan. Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas. Prasyarat ini dimaksudkan agar perang tidak terdadi karena pada kenyataan perang selalu berujung pada degradasi nilai moran dan kerugian materi bahhkan nyawa.

Peristiwa 1054 ( Skisma Timur)

            Skisma Timur merupakan peristiwa perpecahan dan pemisahan diri persekutuan gerejawi yang umumnya menyangkut disiplin, tata tertib. Sebagai suatu skisma pemisahan diri tersebut tidak berakibat pada  ajaran iman dan sakramen-sakramen gereja. Pertentangan tersebut melibatkan gereja barat (Roma) dan gereja timur (Konstantinopel) yang merupakan gereja-gereja besar.[4] Skisma tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan. Pertama, skisma dilihat sebagai rivalitas pribadi dengan dalil gengsi dan haga diri. Kedua, persaingan Timur dan Barat dalam ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Ketiga, persaingan antartaktha Roma dan Konstatinopel. Keempat, perbedaan ungkapan liturgi, ajaran filioque, puasa, paskah, dan bahasa liturgi. Kelima, masalah tata tertib, disiplin, termasuk masalah selibat dan hubungan dengan penguasa sipil.[5]
Pokok permasalahan skisma timur berada di bawah otoritas penguasa yang hendak memperluas kekuasaannya. Oleh karena itu, konflik itu sesungguhnya tidak mewakili permasalah mendasar yang dihadapi umat pada umumnya. Ada masalah mendasar yang melatarbelakangi perisstiwa skisma yakni, sejumlah perbedaan, Roma dan Konsatantinopel saling mengekskomunikasi. Peristiwa skisma timur memberi pengaruh positif bagi Gereja sendiri dalam menilai peristiwa sejarah. Setiap batrik memiliki alasan atas skisma dan bertanggung jawab terhadap akibat-akibatnya. Skisma memberikan sudut pandang baru dalam melihat keberadaan batrik-batrik lain dan makna yang diberikannya terhadap kekristenan universal.
Gereja Timur menyebut dirinya sebagai Gereja Ortodoks sebagai suatu Gereja resmi yang sesuai dengan ajaran dan Tradisi Kristen yang diwarisi oleh para Rasul, pengikut Yesus. Gereja Ortodoks dipersatukan oleh teologi yang sama. Semua anggota Gereja memeluk keyakinan yang sama terlepas dari ras atau kebangsaan. Dalam praktek dan tradisi, bagaimanapun, ada variasi dalam gaya tergantung tempat atau adat setempat. Ini kebiasaan setempat disebut sebagai perbedaan yang dapat diterima oleh para pemimpin gereja karena mereka tidak dianggap bertentangan dengan ajaran teologis Ortodoks dasar.
Gereja Timur bukanlah tatanan atau kelas sekunder. Gereja Timur memberikan tanda kehadirannya dimana selama berabad-abad menjadi maestro bagi Barat. Dalam banyak Gereja Timur memberikan harta karun kerohanian bagi Gereja universal. Dalam dogma, gerakan hidup membiara, dan bentuk-bentuk kesalehan.[6]






[1] Gerald O’C, sj dan Edward G. Farrugia,Sj. ,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,1996, hal. 235
[2] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 185
[3] Thompson J. Milburn , Keadilan dan perdamaian: Tanggung Jawab kristiani dalam Membangun Perdamaian Dunia,     ed.Steve Gaspersz, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hal. 220
[4] Kristiyanto, Eddy, hal. 162-163
[5] Ibid. hal. 163-165
[6] Ibid. hal. 170-171

Tidak ada komentar:

Posting Komentar