Selasa, 10 November 2015

MEDIA KRISTIANI DALAM SEJARAH KRISTIANITAS DI INDONESIA


 Pengantar

Dalam rangka mengejawantahkan ajaran Kristiani, peran media massa menjadi sangat penting. Manisfestasi ajaran Kristiani dalam media massa tampak jelas dalam tulisan-tulisan, sebagaimana dalam sejarah kristianitas di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari peran para misionaris. Dengan bantuan mesin cetak dan dana finansial dari lembaga-lembaga misi, secara bertahap ajaran Kristiani mulai menyebarluas dan merasuk ke dalam hati banyak orang. Media massa secara perlahan membantu orang tidak hanya mengerti berbagai macam informasi, tetapi juga melatih untuk berpikir kritis atas gejala-gejala sosial, ekonomi, politik, budaya, dan religius, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran historis tentang media kristiani mulai dari abad 17 sampai abad 20. Lebih dalam lagi, masalah serius yang perlu direfleksikan bersama adalah pemberdayaan manusia melalui pendidikan. Para misionaris melihat permasalahan ini dan kemudian mereka terdorong untuk membantu orang-orang di tanah misi supaya mereka bisa membaca, belajar bersama, bekerjasama, dan memperkaya satu sama lain. Dengan kata lain, berbagai macam percetakan tidak hanya bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristiani saja, tetapi juga memberikan informasi dan pendidikan bagi penduduk pribumi.
Harapan dari adanya media kristiani ini supaya dapat merangsang orang-orang Kristiani Indonesia untuk membagikan pemikiran-pemikiran mereka dan merumuskan ide-ide mereka dengan jelas supaya mereka menumbuhkembangkan kedewasaan berpikir. Kemudian, salah satu pokok permasalahan dalam perkembangan media kristiani adalah kurangnya jurnalis-jurnalis profesional dari masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, kita mesti berterima kasih kepada para misionaris yang memberikan dirinya untuk membuat tulisan, mengedit artikel-artikel, dan membantu mempublikasikan media kristiani hingga ke daerah-daerah terpencil.
Pada bagian ini akan dijelaskan gambaran singkat Pers dan Media Protestan dari abad XVII sampai abad XIX, Media Protestan pada tahun-tahun awal Perkembangan Pers di Indonesia, Media Kristen yang Bertujuan Komersial, Media Kristen yang tidak bertujuan Komersial,   

Gambaran Singkat Pers dan Media Protestan dari abad XVII sampai abad XIX
Upaya untuk menyebarluaskan ajaran Kristiani melalui media massa mulai dipikirkan oleh Gereja. Pada saat itu Gereja mulai menyadari akan pentingnya pewartaan melalui media masa. Gereja Protestan di Hindia Belanda yang memprakarsai berdirinya percetakan yang menerbitkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Kristiani. Pada 1624, umat Protestan membeli sebuah mesin cetak dari Belanda. Namun, keberadaan mesin cetak ini, awalnya, tidak membantu mereka dalam menjalankan misi pewartaan sebab belum ada orang yang mampu mengoperasikan mesin ini.[1] Untuk mengatasi hal ini, Gereja mengusulkan supaya pemerintahan Hindia Belanda mengirim seorang operator  yang terampil dari Belanda. Pada 1659, keinginan itu terwujud. Seorang bernama Kornelis Pjil mendirikan sebuah percetakan yang mendukung penyebaran ajaran Kristiani. Dalam perkembangannya, percetakan ini dikelolah oleh pemerintahan Kolonial dan berkerja sama dengan pihak swasta untuk menerbitkan dukumen-dokumen yang berkaitan dengan pemerintahan.
Pada 1819, sebuah mesin cetak milik seorang misionaris, Joseph Kam tiba di kepulauan Maluku.[2] Tujuan Kam dengan mendatangkan mesin cetak di Maluku adalah menghidupakan kembali kekristenan lokal dengan penyaluran Alkitab, buku nyanyian, buku-buku renungan dan juga buku-buku untuk murid-murid Sekolah Dasar (SD). Pada saat itu, Kam mulai melibatkan penduduk lokal dalam menerbitkan dan membantu penyebaran ajaran Kristiani. Sementara itu, pada 1819 di Bengkulu, Nathaniel Ward, misionaris Inggris dari Serikat Misionaris Baptis (Baptis Missionari Soceity) mendatangkan sebuah mesin cetak untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang bercorak religius dan sekuler. Namun, kegiataannya ini terhenti karena pada 1826 Bengkulu diserahkan kepada pihak Kolonial.
Sekolah seminari yang didirikan oleh Walter Walter Henry Medhurst yang berasal dari Serikat Misinaris London (London Missionary Society) memiliki sebuah mesin cetak. Mesin cetak ini menerbitkan berbagai tulisan dalam bahasa Inggris, China, Belanda, Jepang, dan Melayu. Mesin cetak ini menjadi percetakan yang paling produktif antara 1823-1842 karena menerbitkan berbagai kotbah, beberapa tulisan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Kamus China-Inggris, dan beberapa artikel nonreligius lainnya.[3] Pada abad kesembilan-belas, tulisan-tulisan ini mulai beredar ke luar Jawa, terutama di Temohon, Tondano, Banjarmasin, dan Ambon. Adapun hal-hal yang dipublikasikan adalah: buku-buku, literatur gereja, dan buku-buku untuk sekolah misi.      
Dengan kehadiran mesin cetak di berbagai tempat seperti di Batavia, Maluku, Bengkulu, dan di berbagai daerah lainnya, para misionaris semakin menyadari pentingnya peranan pers dan berbagai media lainnya dalam mendorong perkembangan pewartaan Kerajaan Allah. Dari berbagai penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu antara abad ke XVII dan XIX, telah didirikan berbagai macam percetakan yang tidak hanya bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristiani tetapi juga untuk memberi informasi dan pendidikan bagi penduduk pribumi. Dari segi pewartaan, keberadaan percetakan ini sangat membantu para misionaris dalam menyebarluasakan pokok-pokok ajaran Kristiani. Dari segi pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, keberadaan percetakan ini dapat mendorong pekembangan intelektual dari bangsa pribumi.    
Media Protestan pada tahun-tahun awal Perkembangan Pers di Indonesia
            Sampai pada 1856, hampir semua surat kabar, majalah, dan jurnal menggunakan bahasa Belanda. Hal ini disebabkan karena banyak para pekerja di percetakan berasal dari Belanda. Surat Kabar pertama yang diterbitkan dengan menggunakan bahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melaijoe. Surat Kabar ini diterbitkan pada 5 Januari 1956 oleh orang Belanda, E. Fuhri.[4] Pada tahun yang sama, H. Nygl dari Rotterdam juga menerbitkan jurnal pertama dalam bahasa Melayu, Bintang Oetara. Pada pertengahan abad ke XIX, muncul majalah Biang Lala (1867) dan Tjahja Sijang (1868/1869) yang menggunakan bahasa Melayu. Berbagai surat kabar orang Kristen mengalami perkembangan yang pesat pada pertengahan abad 19. Hal ini disebabkan karena penggunaan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca. Selain itu, ada perubahan kebijakan pemerintahan kolonial terkait dengan pendidikan dalam lembaga pemerintahan antara 1863 sampai 1871.
           Dengan diberlakukannya jaringan telegram pada 1856 dan pengenalan layanan pos (pengiriman surat) yang lebih modern di tahun 1862, diikuti dengan pembukaan jalur kereta api pertama di 1867, secara tidak langsung telah membantu pertumbuhan pers. Pemerintahan kolonial juga telah mengeluarkan UU Pers tahun 1856.[5] Keberadaaan UU tersebut dianggap sebagai perkembangan positif sebab sebagai sarana untuk mencegah tindakan sewenang-wenang pemerintah dalam mengendalikan opini publik dan kritik terhadap pemerintah kolonial.
            Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan media protestan sangat berperan penting dalam mengemban misi pewartaan. Media Protestanlah yang mengawali misi pewartaan melalui media cetak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penggunaan bahasa Melayu dalam koran, majalah, ataupun dalam jurnal sangat mendorong perkembangan media di Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Melayu, minat penduduk pribumi terhadap koran, majalah, ataupun jurnal terus meningkat. Upaya inkulturasi ini ternyata membawa dampak yang positif tidak hanya terhadap perkembangan misi tetapi juga terhadap perkembangan media tersebut.
            Ada dua macam media Kristen yang muncul pada pertengahan abad XIX, yang dibedakan berdasarkan tujuan atau orientasi mereka. Pertama adalah media Kristen yang bertujuan komersial. Yang termasuk dalam golongan ini adalah suat kabar yang diterbitkan oleh penerbit swasta termasuk para misionaris. Yang kedua adalah media Kristen yang tidak bertujuan komersial, seperti berita yang diterbitkan oleh sinode Gereja.
Media Kristen yang Berorientasi Komersial
Seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa media Kristen yang berorientasi komersial merupakan media yang dipegang oleh kelompok misionaris. Berkaitan dengan hal ini, ada dua media masa yang dijelaskan secara khusus, yaitu: Biang Lala dan Tjahaja Sijang. Pada bagian ini, kami akan mendeskripsikan secara spesifik terkait dengan dua media massa ini. 
Biang Lala
Pada 1867, John Muhleisen Arnold, misionaris Anglikan di Parapatan (Batavia), memulai surat kabar mingguan di Batavia bernama Biang Lala.[6] Untuk melancarkan usahanya ini, Arnold bekerja sama dengan Ogilvie & Co untuk mencetak dan menerbitkan Biang Lala. Nama Biang Lala diambi dari sebuah buletin Belanda yang diterbitkan oleh Lange & Co di Batavia pada tahun 1852. Bagi para misionaris, pengetahuan akan budaya setempat sangat membantu mereka dalam merumuskan ajaran iman ke dalam kebudayaan setempat. Biang Lala pertama kalinya diterbitkan pada 11 September 1867. Surat kabar ini dijadwalkan akan diterbitkan setiap Rabu, terdiri dari empat halaman, dengan biaya langganannya adala 12 gulden per tahun. Seperti surat kabar lainnya pada waktu itu, Biang Lala tidak hanya berisikan berita lokal dan internasional, tetapi juga berisikan artikel dan cerita agama Kristen atau ajaran moral Kristiani. Sekalipun Biang Lala tidak menyembunyikan misi religiusnya, surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar yang bertahan cukup lama. Surat kabar ini tidak hanya mendapat dukungan dari orang-orang Kristen, tetapi juga oleh para editior surat kabar populer, seperti Selompret Melajoe dan Bintang Timoer.
Sebagai sebuah surat kabar misionaris, Biang Lala didistribusikan ke seluruh pulau Jawa. Biang Lala juga tercatat sebagai surat kabar pertama sejak 1867 yang menggunakan gambar dalam kolomnya dan ilustrasi yang tebuat dari ukiran kayu. Gambar-gambar (peta) ini melukiskan berbagai macam negera seperti: China, Belanda, Inggris, atau Rusia. Gambar-gambar ini diberikan gratis kepada para pelanggan untuk menarik minat dan perhatian mereka sehingga mereka tetap menjadi pelanggan. Dengan demikian, Biang Lala juga memberikan informasi dan pengetahuan umum kepada para pembacanya.
Pada 1872, sebuah surat kabar yang juga bertujuan komersial diterbitkan di Batavia dengan nama Hindia Nederland. Surat kabar ini mampu menyaingi popularitas berbagai macam surat kabar yang telah terkenal saat itu, termasuk Biang Lala. Munculnya Hindia Nederland membuat Biang Lala ditutup untuk sementara waktu. Namun, surat kabar ini diterbitkan kembali pada 13 Juli 1872 dengan seorang kepala editor baru, F.L. Anthung, seorang misionaris yang terkenal. Pada 1 Januari 1873, Biang Lala berubah nama menjadi Bintang Djohar dan juga mengubah formatnya dengan menyediakan halaman terakhir dalam bahasa Belanda. Kegagalan surat kabar ini dalam menarik minat pembaca yang mayoritasnya menggunakan Melayu memaksa Biang Lala mengarahkan perhatiannya kepada orang-orang Belanda.
Tjahaja Sijang       
Surat Kabar Kristen lainnya adalah Tjahaja Sijang. Surat Kabar ini diterbitkan di Minahasa pada akhir 1868. Oleh para misionaris, surat kabar ini biasa disebut dengan nama Koran Chabar Minahasa (Koran Minahasa). Surat kabar ini diprakarsai oleh Nicholaas Graafland, seorang misionaris yang dikirim oleh Zendeling Genootschap.[7] Surat kabar ini, untuk pertama kalinya, diterbitkan pada 1868 dan mulai diterbitkan secara reguler sejak 1 Januari 1869. Surat kabar ini merupakan surat kabar yang dipegang oleh kelompok misionaris dan dipublikasikan tidak hanya untuk menyebarkan ajaran Kristen, tetapi juga untuk menyediakan bahan bacaan bagi orang Kristen pribumi dan bagi guru-guru di Tondano, dan juga kepada siswa-siswa yang bersekolah di Amurang dan Tanawangko. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian pembacanya adalah penduduk pribumi.    
Pada awalnya, Tjahaja Sijang merupakan surat kabar bulanan, tetapi memasuki abad 20 diterbitkan dua kali dalam seminggu. Surat kabar ini menggunakan bahasa Melayu yang sangat sederhana sehinga dapat dipahami oleh kebanyakan penduduk pribumi. Biaya bagi pelanggannya adalah empat Gulden pertahun. Tjahaja Sijang dipimpin oleh Graafland dan dibantu oleh para kontributor dan korespondennya. Mayoritas koresponden dan kontributornya adalah alumni dari sekolah-sekolah misi. Secara berkala Tjahaja Sijang mempublikasikan isu-isu yang berkaitan dengan agama dan pendidikan, seperti esai tentang agama Kristen, Mazmur. Tjahaja Sijang juga berisikan teka-teki dan berita-berita dari berbagai belahan dunia. Selain itu, artikel agama seperti refleksi terhadap bacaan Injil, meditasi, pemahaman tentang kematian dan kebangkitan Kristus, dan penjelasan mengenai muculnya berbagai sekte ditempatkan dalam kolom tambahan.
Meskipun pada waktu itu pendidikan di Minahasa lebih berkembang dari pada di Jawa, mayoritas orang Minahasa belum mendapat pendidikan karena penyebaran sekolah-sekolah hanya terbatas pada wilayah perkotaan. Tjahaja Sijang hanya didistribuksikan terbatas kepada daerah-daerah di mana sekolah telah didirikan oleh para misionaris. Pada tahun 1902, ketika berusia genap 33 tahun, percetakan dipindahkan dari Tanah Wangko ke Manado. Sementara itu, dua tahun kemudian, sebuah surat kabar Pewarta Manado muncul sebagai saingan. Namun, karena mendapat sokongan dana yang kuat dari gereja dan harga berlanggganan lebih rendah, Tjahaja Sijang dapat bertahan lebih lama.[8]
Perbedaan Antara Biang Lala dan Tjahaja Sijang dalam Kaitannya dengan Pewartaan
Perbedaan utama antara Biang Lala dan Tjahaja Sijang adalah: Biang Lala merupakan surat kabar mingguan yang menyediakan banyak kolom untuk berita. Dalam mewartakan Kabar Gembira di Batavia, Biang Lala sangat memperhatikan reaksi dari kaum Muslim yang menjadi kelompok mayoritas. Sementara itu, Tjahaja Sijang lebih terbuka dalam menyampaikan Kabar Gembira dan lebih terbuka dalam menyerang agama Islam. Misalnya, menerbitkan cerita yang mempermalukan orang Muslim dan nabi Muhhamad.[9]
Sekalipun, di bawah kepemimpinan Arnold Biang Lala dapat mengkritik pemimpin Muslim, namun mereka tidak pernah mengkritik para editior surat kabar kontemporer. Dalam Biang Lala selalu ada informasi tentang jadwal pelayanan Gereja di Batavia. Untuk menarik perhatian pembaca, Biang Lala tidak menerbitkan berita yang berkaitan dengan pembunuhan, perampokan, pelanggaran terhadap hukum, dan artikel-artikel yang memfitnah.
Berbagai Surat Kabar Lainnya
Di Ambon juga terdapat surat kabar Kristen bernama Penghentar yang muncul pada Oktober 1894. Surat kabar ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Ambonsche Drukkerij dan selanjutnya oleh Ong Kie Hong, seorang China yang tinggal di Ambon. Pengehentar merupakan kelanjutan dari sebuah jurnal dengan nama Penabur
Media Kristen yang tidak Bertujuan Komersial
Kelompok misi di Batak menilai bahwa keberhasilan penginjilan tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan dan pelatihan terhadap penduduk pribumi. Hal ini akan meningkatkan peran dan keterampilan mereka. Proses pendidikan yang perlu menjadi prioritas adalah pendidikan untuk para guru. Sejak 1883, misi Batak telah mengadakan pembaharuan seluruh pendidikan termasuk dalam pendidikan dasar. Majalah Immanuel diterbitkan pada 1 Januari 1890 bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. J.H Meerwaldt adalah salah satu guru di seminari Pansur Napitu, yang kemudian menjadi pemimpin redaksi.[10]
Majalah Immanuel merupakan majalah yang tertua di Indoensia. Pada awalnya, majaah ini berbentuk surat edaran, yang menggunakan bahasa Batak, dan target pembacanya adalah para misionaris atau pengkotbah, tua-tua jemaat, guru, dan orang-orang yang bisa membaca huruf Latin. Adapun yang menjadi isi dari surat edaran ini adalah berkaitan dengan topik-topik pastoral, refeleksi, pengetahuan Alkitab, ajaran teologi termasuk dogma Kristen, pengajaran dan sejarah, berita tentang misi dan pengetahuan umum.
Pada awalnya majalah Immanuel ditulis dengan tangan dan berfungsi sebagai surat edaran.[11] Majalah ini diterbitkan setiap bulan. Pada tahun 1895, majalah ini mulai dicetak di Padang dan sejak 1904 telah dicetak di Narumonda. Dalam perkembangannya, majalah Immanuel juga menyajikan informasi-informasi tentang aljabar, geologi, pengetahuan umum, pengetahuan Alkitab, dan metode pedagogik yang berguna bagi guru dan murid. Selain itu, kadang-kadang majalah ini juga menerbitkan saran atau peringatan kepada para siswa seminari dan guru. Aktivis dari penduduk pribumi juga didorong untuk menulis dan mempublikasikan tulisan-tulisan mereka di dalam majalah ini.

Pers Katolik, media, dan majalah-majalah 1890-1942
            Superior misi Jesuit dan kepala paroki di Batavia, Petrus Jacobus van Santen mengambil inisiatif pertama untuk mempublikasikan koran Katolik. Untuk tujuan ini maka kerjasama dicari dengan pengiklanan kecil seperti De Express. Bermula dari minggu pertama Juni 1891, beberapa isu mempunyai artikel-artikel Katolik yang spesifik. Setiap bulannya bayaran kecil sebesar lima puluh sen dibebankan. Tibalah Godefridus Jonckbloet, SJ dan kemudian Antonius Dijkmans, SJ memberi kepedulian pada isi majalah. Tema-tema umum yang disajikan sangat jarang berkaitan dengan situasi religius dalam Hindia di mana Islam merupakan agama yang besar dan Kristianitas hanyalah minoritas. Latar belakang polemik-polemik di Batavia tidak berbeda dari latar belakang orang-orang Eropa di masyarakat Batavia. Bagi orang-orang Katolik, partner dalam debat adalah Freemasonri dan Protestantisme. Setelah satu tahun kerjasama dengan pemilik De Express berakhir, Jonckbloet kemudian melanjutkan publikasi artikel-artikel Katolik dalam Bataviaasch Handelsblad, dari 1 Juli hingga 31 Desember 1892. Alasannya adalah besarnya kerugian keuangan bagi partai Katolik.[12]
Sejak 14 Maret 1903, De Java Post dipublikasikan sebagai mingguan Katolik, tetapi dengan sub-judul netral Weekblad van Nederlandsch-Indie. W. H. Boogardt adalah editor pertama yang dipilih sebagai anggota parlemen Belanda hingga akhir 1905. Artikel-artikel dalam mingguan ini menunjukkan perkembangan kesadaran diri komunitas Katolik. Mulai 11 November 1905 Boogaardt digantikan oleh seorang Jesuit bernama W. van den Heuvel dan sejak saat itu para jesuit memimpin mingguan sampai dihentikan pada bulan Desember 1927. Supaya membuat koran harian sukses, De Koerier sebagai harian baru Katolik, maka mingguan Java Post dihentikan. Sejak awal mula sebenarnya kelemahan De Koerier adalah kurangnya jurnalis profesional. Pada 1 April 1937 kantor dan percetakan De Koerier pindah ke Batavia. Pimpinan-pimpinan Katolik memperkirakan bahwa harian Katolik sangatlah penting sebagai suara komunitas Katolik kepada pemerintah dan kelompok-kelompok lain.
Pada 1 Juni 1909 seorang jesuit bernama A. van Velsen memulai bulanan Geredja Katholik di Minahasa. Mulai 1910 dan seterusnya suplemen Iman dan Ilmoe ditambahkan dalam bentuk brosur-brosur berseri. Dari 1920 hingga 1958 majalah ini dipublikasikan oleh tarekat MSC. Mereka menghiasi tampilan dan mengubah nama suplemen menjadi Ibadat, Iman, Ilmoe. Artikel-artikel selain variatif juga memberikan banyak informasi mengenai pengembangan kehidupan Katolik di seluruh dunia dan doktrin Katolik dipelihara tanpa polemik yang kaku[13].
Percetakan Arnoldus di Ende mempublikasikan bulanan Kristus Ratu Itang dalam bahasa Sikka mulai dari 1926 hingga 1938. Arnoldus juga menerbitkan bulanan Bintang Timur dalam bahasa Melayu/Indonesia mulai 1928-1937. Bulanan ini berisi artikel-artikel tentang agama Katolik, kehidupan keluarga, pendidikan dan memberikan beberapa berita regional.
Pada 28 Maret 1909 Bond van Katholieken diterbitkan di Surabaya. SCU (Surabaya Catholic Union) ini dimulai pada tahun 1910 dengan majalah Onze Bode. Pada bulan Juni 1912 Onze Bode berubah menjadi minguan Orgaan van den ‘Bond voor Katholieken’ di Surabaya. Setelah beberapa tahun, mingguan ini menjadi bulanan dan diterbitkan sampai 1919. Pada 12 Mei 1913 Katholieke Sociale Bond (KSB) ditemukan di Batavia. Pada 1922 bulanan Sociaal Leven dan Sociaal Streven keduanya disatukan ke dalam mingguan dengan judul: Sociaal Leven en Streven. Hingga akhir abad 20 nyaris tidak ada kontribusi dari klerus. Perubahan terjadi pada 1930 saat P. Victorius Beekman, OFM menjadi editornya dalam waktu yang cukup panjang. Pada 1938 Sociaal Leven en Streven diganti menjadi Toorts van Sociale Leven, tetapi bulanan ini berhenti pada pertengahan 1938.
Sejak 1928 Swara Tama juga menerbitkan edisi dalam bahasa Melayu yang disebut Soeara Katholiek, yang pada tahun 1930 menjadi mingguan. Publikasi-publikasi ini mempromosikan realisasi pengajaran-pengajaran sosial Katolik. Pada mulanya Swara Tama lebih netral, tetapi dari 1924 ia mulai menunjukkan secara jelas identitas Katoliknya. Bagi anak-anak mereka mempunyai suplemen: Taman Poetra. Pakempalan Politik Katolik Djawi yang dipimpin I. J. Kasimo dapat menggunakan Swara Tama, tetapi majalah tidak pernah terbatas pada politik saja. Pada 1918 orang-orang Katolik Eropa mendirikan Indische Katholieke Partij. Atas dasar ketidaksetujuan terhadap artikel-artikel dalam koran Katolik, De Koerier, pada tahun 1913 Kerstens mengawali majalah khusus dua-mingguan yang bernama De Nieuwe Tijd. Kemudian Kanisius di Yogyakarta mencetak Poesari Dewi Maria (1926) yang kemudian menjadi malajah bulanan dalam bahasa Jawa dari Konggregasi Maria dengan nama baru Tamtama Dalem Dewi Maria (1928-1941), yang diterbitkan di Muntilan. Tujuannya adalah memperdalam iman.
Mulai 1928 bulanan Veritas diterbitkan di Padang yang dengan daya tahan yang besar mempertahankan ketertarikan pada sekolah-sekolah Katolik. Pada 1936 W. Dekkers MSC memulai dengan bulanan apologetis, De Waarheid di Makasar. Kemudian Dr. G. Giezenaar CICM meneruskannya dan mengedarkannya dalam skala yang besar di Sulawesi dan seluruh Indonesia sampai 1942.
Pers Protestan, media dan majalah-majalah 1910-1945
Dalam kalangan Protestan ada banyak majalah. Sebagian besar bukanlah majalah-majalah nasional Indonesia, namun diterbitkan oleh kelompok misionaris regional, asosiasi misionaris, dan sinode-sinode.[14] Meskipun beberapa pengamat melihat Biang-Lala dan Tjahaja Sijang sebagai koran-koran Kristiani, E. J. Hoogerwerf menyatakan bahwa orang-orang Protestan tidak berhasil mempublikasikan koran dalam skala nasional berbahasa Belanda pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa publikasi-publikasi awal tidaklah seutuhnya membaktikan dirinya pada doktrin Kristiani dan praksisnya.
Selama Konferensi kedua-puluh NIZB (Nederlandsch-Indische Zendingbond, Netherlands-Indies Mission Union) 18-26 Agustus 1906, komisi untuk distribusi bahan-bahan bacaan Kristiani di Jawa diajukan. Kelompok ini pada tahun 1917 disebut “komisi untuk naskah misionaris”, untuk waktu yang lama tidak aktif dan karena itu pada 1912 diorganisasi ulang sebagai “komisi literatur NIZB”.  Pada 1 Mei 1927 komisi ini dilengkapi dengan kantor pusat untuk literatur. Menurut H. Kraemer, yang menjadi ketua komisi sesudah kedatangannya di Jawa pada tahun 1922, ada kebutuhan literatur yang bermacam-macam untuk kelompok yang berbeda.
Bagi orang-orang Kristiani dengan pendidikan sejarah Kitab Suci yang baik dibutuhkan buku untuk memberikan gambaran tentang Kristus. Di samping bahwa ikhtisar sejarah Gereja dengan menampilkan biografi-biografi orang-orang kitab suci yang terkemuka dan periode-periode selanjutnya juga dibutuhkan. Sedangkan, bagi orang-orang yang berpendidikan kitab suci yang lebih rendah, kisah-kisah orang Jawa yang terkemuka tetap diperlukan. Bagi mereka yang non-Kristiani, literatur yang bersifat polemik dan apologetis memang dibutuhkan. Literatur ini bertujuan bukan untuk menyerang Islam, melainkan untuk menunjukkan betapa orang-orang Kristiani mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pergulatan perbedaan pendapat.
Salah satu inisiatif dari Komisi literatur adalah edisi Zaman Baroe (New Era) antara tahun 1926 dan 1931. Ini merupakan tindak lanjut dari Bentara Hidup (The Indian Herald) yang berakhir pada 1925 sebagaimana halnya yang terjadi pada Tjahaja Sijang. Mingguan Zaman Baroe beredar di antara 2000 pembaca. Dalam majalah-majalah terkemuka orang-orang Indonesia dapat menulis bermacam-macam tulisan aktual perkembangan dalam Gereja dan masyarakat. Mingguan tidak dapat dilanjutkan setelah 1931 karena lemahnya finansial dari organisasai-organisasi misionaris. Namun ini bukanlah hanya majalah yang muncul sekitar 1925. Di samping majalah-majalah berbahasa Belanda seperti De Banier dan Het Algemeen Protestantsch Kerkblad, yang nyaris tidak ada kontribusi dari penulis-penulis Indonesia. Ada lebih dari seratus majalah yang melayani umat Kristiani dalam bahasa Melayu, Jawa, Batak atau bahasa-bahasa daerah lainnya. Proporsi majalah-najalah ini langsung diarahkan kepada kelompok-kelompok tertentu, kaum muda, para wanita, dan persatuan para guru atau hanya menyebar ke daerah-daerah lokal. Kebanyakan dari majalah itu ditulis dan diedit oleh para misionaris. Di Jawa Tengah beberapa dicetak dalam jumlah yang tinggi, misalnya Mardi Rahardja yang mencapai puncak 80.000 kopi.
Ada juga mingguan dan bulanan dengan editan bahasa Indonesia. Khususnya majalah-majalah ini memainkan peran penting dalam stimulasi perkembangan kedewasaan gereja-gereja yang bebas. Pada 1910 majalah untuk guru-guru baru dimulai di Jawa Timur, yakni Oedyana Among Siswa, lalu dilanjutkan sebagai Pniel. Dari 1915 dan seterusnya ada bulanan Taman Soewara, majalah dari Perserikatan Kaoem Christen (The Christian Union). Beberapa tahun kemudian, dari 1925, Kristen Djawa diterbitkan di Jawa Timur dalam kalangan GKJW (East Javanese Christian Church). Dari tahun 1935 pegawai majalah gereja GKJW menjadi Doeta (messenger).
Majalah-majalah ini merangsang orang-orang Kristiani Indonesia untuk membagikan pemikiran-pemikiran mereka dan merumuskan ide-ide mereka dengan jelas supaya mereka memperkaya kedewasaan berpikir. Untuk diskusi dengan orang-orang Belanda dan dengan kaum elit di sekitar orang-orang Kristiani Indonesia yang berbicara dengan bahasa Belanda, De Opwekker dipakai dan terkadang Eltheto dan Rondom ons Zendingsveld.[15] Hanya sebelum pendudukan Jepang (1942-1945) masih ada terbitan-terbitan baru seperti Theologische Stemmen (Theological Voices) dari Seminari Teologi di Jakarta yang muncul enam kali pada tahun 1941.
Pada bulan Desember 1940 majalah Semangat Baru muncul dengan isi yang sama dengan pendiri Zaman Baroe. Majalah ini bertujuan untuk menjadi suara dari orang-orang Kristiani Protestan di Indonesia, tanpa afiliasi dengan partai Kristiani. Selama pendudukan Jepang hal ini sangat sulit dan nyaris  tidak mungkin untuk menerbitkan majalah-majalah tetapi ada pengecualian bagi edisi khusus Badan Persiapan Persatoean Kaoem Kristen, Christmas.[16]
Pers, Media, dan Jurnal Katolik 1945-1990
            Setelah zaman pendudukan Jepang (15 Agustus 1945) terdapat berbagai majalah Katolik, tetapi tak satu pun majalah yang benar-benar (sepenuhnya) menggambarkan identitas Katolik. Di Ende diterbitkan majalah Bentara (1946-1958) bersama majalah Anak Bentara dan Pandoe Pendidikan (1946-1959). Di Yogyakarta, Kanisius menerbitkan majalah mingguan Praba yang kemudian berganti nama menjadi Peraba sebagai majalah Keuskupan Agung Semarang, yang kemudian diikuti dengan penerbitan majalah Swara Tama, antara tahun 1949 dan 1972. Kanisius juga menerbitkan majalah Basis yang sejak 1951 mulai diterbitkan sebagai majalah bulanan oleh Prof. Dr. N. Driyarkara SJ, L. Subiyat, dan G Vriens SJ. Sebagai majalah yang terbit dua kali sebulan majalah budaya tertua di Indonesia ini dipimpin oleh Pater G.P. Sindhunata, SJ sebagai kepala redaksi. Majalah Rohani mulai terbit pada 1954 sebagai majalah bulanan bagi anggota tarekat atau biara. Majalah ini berisi tema-tema tulisan yang berhubungan dengan iman, spiritualitas dan hidup membiara dalam masyarakat dan realisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sejak 1975 mahasiswa teologan Yesuit, dibantu oleh beberapa suster dan awam, bertanggungjawab mengolah majalah ini, di bawah bimbingan seorang Pastor Yesuit yang berpengalaman. Bagi para remaja, siswa SMP diterbitkan majalah semangat (awalnya bernama Spirit). Pada 1968-1973 diterbitkan majalah berwarna pertama kalinya, yang diterbitkan sampai 1974.
Majalah bulanan Trubus diterbitkan sejak 1969 oleh organisasi sosial Tani Membangun, majalah ini memberi informasi tentang pertanian dan perkebunan kepada para petani; dan sejak 1975 majalah Utusan yang diterbitkan sebagai majalah tentang hidup spiritual Komunitas Katolik yang berisi berbagai artikel reflektif. Majalah Familia yang baru-baru diterbitkan dengan tujuan pendewasaan iman Keluarga Kristiani. Antara 1946 dan 1969 di Jakarta majalah terbit dua kali seminggu Penabur diterbitkan di bawah pimpinan para Fransiskan. Majalah ini mendiskusikan banyak hal tentang permasalahan sosial.
Majalah Katolik mingguan Hidup mulai diterbitkan pada 1946 awalnya bernama Kerkelijk Weekblad. Pada 1948 namanya diganti menjadi Khatoliek Leven dan sejak 1958 namanya diganti menjadi majalah Hidup. Yayasan majalah Hidup di bawah tanggung jawab Keuskupan Agung Jakarta dan Uskup Agung Jakarta memiliki hak dalam mengangkat anggota-anggota dewan direksi. Majalah ini menyediakan informasi, memberi bahan refleksi dan bahan bacaan lain tentang kehidupan komunitas Katolik di Indonesia dan di seluruh dunia. Sejak surat perizinan untuk mengedit dan mempublikasikan majalah dihapuskan oleh pemerintah pada 1998 sebuah majalah Katolik baru, Sabda, muncul untuk melawan majalah-majalah Islam fanatik seperti Sabili. Pada awalnya majalah ini diterbitkan setiap minggu, setelah itu diterbitkan tidak teratur, dan sebagian besar didistribusikan secara gratis pada hari Minggu di pintu gereja.
            Konferensi Wali Gereja (KWI) memiliki beberapa divisi. Sebagian besar di antara mereka memiliki majalahnya masing-masing. KWI menerbitkan majalah bersama bernama Spektrum sejak 1971. Selain itu sebagian besar keuskupan dan beberapa paroki di Indonesia juga memiliki majalah terbitan sendiri dengan peredaran, jumlah halaman, dan frekuensi terbitan yang sangat bervariasi.[17]
Majalah dan Jurnal Protestan 1945-1990
            Setelah zaman pendudukan Jepang hanya terdapat beberapa majalah Kristiani berbahasa Indonesia dan lokal secara berkelanjutan dapat diterbitkan. Salah satu yang paling dikenal adalah majalah Immanuel milik HKBP (Gereja Batak) yang diterbitkan sejak 1890. Majalah berbahasa Belanda De Zaaier (penabur) diterbitkan pada 1923, kemudian diterbitkan lagi pada 1945 sampai 1957. Pada 1946 konferensi misionaris meminta sebuah majalah yang mulai diterbitkan sebagai majalah  Pedoman Goeroe dan pada 1949 melanjutkan penerbitan dengan mengganti nama majalah dengan nama Pedoman Masjarakat Kristen, tetapi hal tersebut tidak berhasil. Pada 1945 majalah Pedoman dari Partai Kristen Indonesia diterbitkan. B. Probowinoto menjadi editor dari beberapa majalah seperti Warta Salam dan Sadulur (yang kemudian berganti nama jadi Sabda Rahaya) dalam bahasa Jawa dan majalah Richtlijn dalam bahasa Belanda. Beberapa divisi Dewan Gereja Indonesia (DGI/DPI) memiliki majalah terbitan sendiri. Sejak 1952 terdapat majalah Berita D.G.I. (majalah Dewan Gereja Indonesia). Majalah paling penting dari DGI/DPI adalah jurnal ilmiah Peninjau, yang diterbitkan dari 1974 sampai 1995.
            Sejumlah fakultas teologi dan seminari Katolik dan Protestan memiliki majalah sekolahnya sendiri. Sebagai contoh majalah bulanan Panjadar, Madjalah Theologia yang diterbitkan sejak 1954 di Jawa Tengah yang sepenuhnya berisi tulisan dari para guru seminari Duta Wacana.
Penerbit Kanisius Katolik, BPK Gunung Mulia Protestan, dan penerbit-penerbit lain
            Pada abad XIX para misionaris mulai menerbitkan di beberapa daerah di Indonesia dan ke dalam beberapa bahasa lokal Doktrin Gereja dalam bentuk katekismus, buku doa dan liturgi, dan beberapa bagian tulisan Kitab Suci. Tujuannya untuk mendukung tugas misi Gereja Katolik. Salah satu kegiatan misi yang sangat penting adalah karya pendidikan, dan penerbitan yang secara berkelanjutan terhadap buku yang dibutuhkan bagi pendidikan sekolah dasar dan lanjutan.
            Kanisius di Yogyakarta secara nyata mulai menjadi Yayasan sekolah Katolik pada 1918.[18] Pada 1987 yayasan ini memanajemen 87 Taman Kanak-kanak, 157 Sekolah Dasar, 38 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan 8 Sekolah  Lanjutan Tingkat Atas di Keuskupan Agung Semarang. Sejak 26 Januari 1922 yayasan ini juga mengatur rumah penerbitan dan percetakan. Mereka telah menerbitkan berbagai macam buku doa, buku kursus religius, buku sekolah, dan buku-buku teologi. Sejak 1954 yayasan ini juga mengoperasikan pabrik kayu sebagai tempat pelatihan bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan untuk Industri Kayu di Semarang.
            Sejarah Perkembangan Kanisius dapat dibagi menjadi tiga periode yang berbasis pada pertanggungjawaban operasional manjemen. Pertama, praktik operasional manajemen penerbit dan percetakaan Kanisius antara tahun 1922 dan 1966 yang di bawah kontrol Bruderan FIC bersama beberapa awam (Menejer Umum: 1922-1927 Br. Bellinus FIC, 1928-1933 Br. Bertinus FIC, 1933-1942 dan 1949-1965 Br. Baldewinus FIC). Kedua, antara 1967 dan 1993 Kanisius di bawah kontrol pastor-pastor Yesuit dan beberapa awam (menejer umum: J. Lampe SJ). Ketiga, setelah 1993 seluruh pertanggungjawaban praktik operasional manajemen Kanisius dipegang awam (manejer umum: E. Surono). Dilihat dari sudut pandang Katolik dalam tubuh Kanisius terdapat dobel proses peralihan kepemimpinan: Pengindonesiasian, karena semua manejer umum sebelum E. Surono adalah orang-orang bukan warga negara Indonesia, dan transformasi tanggungjawab dari kaum religius ke awam.
            Penerbit Nusa Indah di Ende, dijalankan oleh Provinsi Serikat Sabda Allah (SVD) Indonesia, dan mengikuti tradisi SVD dalam pelayanan Gereja dan masyarakat dengan media massa, dan sejak 1875 ditetapkan berada di bawah yayasan SVD oleh Arnoldus Janssen. Pusat publikasi di Ende saat ini terdiri atas percetakan Arnoldus (sejak 1926), toko buku Nusa Indah (sejak 1956), dan penerbit Nusa Indah, dimulai sejak 1970. Visi awal dari formasi media massa ini adalah membangun kemanusiaan yang baik melalui pendidikan keimanan. Visi ini memberi bentuk nyata dalam penerbitan buku-buku dan majalah religius sebagai penuntun bagi doa dan sebagai sarana pendidikan iman Katolik; juga diterbitkan beberapa buku, majalah, dan koran untuk mendukung proses pembangunan masyarakat. Realisasi strategi ini sangat dipengaruhi oleh tiga faktor eksternal: finansial, ketertarikan masyarakat dalam membaca buku, dan daya beli masyarakat. Nusa Indah merupakan anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Beberapa penerbit awalnya memberi subsidi pada Nusa Indah pada 1970 sampai 1985 untuk membantu pelayanan terhadap masyarakat. Pada periode ini, dengan diterbitkan buku seperti buku “Bapa Kami”, terjemahan Kitab suci dan beberapa buku non-religius lainnya, Nusa Indah memiliki pengaruh yang sangat besar di seluruh Indonesia. Nusa Indah menerbitkan sekitar 32 judul buku baru tiap tahun. Kemiskinan dan rendahnya tingkat melek huruf membuat minat baca dan pembelian buku sangat rendah. Walaupun setelah tahun 1986 Direktur Hendri Daros SVD, dan Wakil Direktur, Frans Ndoi SVD, mulai melakukan proses penerbitan secara modern, Nusa Indah tetap mengalami krisis, karena tidak tersedianya dana subsidi dan banyak terjadi bencana alam, sehingga pada periode 2002 ke atas hanya terdapat rata-rata 10 judul publikasi yang diterbitkan tiap tahun. Tetapi Nusa Indah tetap berkomitmen untuk melayani masyarakat dan menjadi rekan dalam usaha peningkatan kualitas.
            Pada 1951 beberapa penerbit Katolik Belanda dan para misionaris dari empat ordo mendirikan penerbit Obor. Penerbit ini mengambil alih toko buku Glorieux, yang didirikan pada 1949 oleh Bruderan Budi Mulia (BM), di jalan Gunung Sahari, Jakarta. Awalnya Obor bertujuan untuk menerbitkan, mengimpor, dan mendistribusikan buku tentang dokumen Katolik dalam bentuk buku sekolah, khususnya untuk sekolah-sekolah di luar pulau Jawa. Sejak 1957 yayasan Ekapraya yang didirikan oleh Yesuit, SVD, dan 4 Vikaris Apostolik menjadi pemilik penerbit dan toko buku Obor. Sejak 1960-an Obor mengurangi kegiatan penerbitannya. Untuk memperkuat arah dasar firma Obor dilakukan pengalihan terhadap KWI pada 1979 dan penerbitan (khususnya dokumen KWI dan Dokumen katolik lainnya), toko buku, pendistribusian buku-buku dan artikel devosional ditingkatkan lagi. Sejak 1970 yayasan Cipta Loka Caraka melanjutkan kerja Konggregasi Maria 1936. Kegiatan ini berganti nama pada 1967 menjadi Komunitas Hidup Kristiani (CLC). Staff dari CLC dikepalai oleh pastor Yesuit, Adolf Heuken, yang menulis, menerjemahkan, menerbitkan dan medistribusikan brosur dan buku, yang berisi informasi bagi komunitas Katolik tentang Gereja beserta dokumennya, materi untuk pendidikan iman dan bagi kerasulan awam.
            Dioma (singkatan dari Diosesan Malang) adalah salah satu Penerbit Katolik yang sejak 1987 telah menerbitkan seri buku religius berjudul ‘Karmelitana’. Ini adalah buku tentang kerasulan awam dan berisi pertanyaan-pertanyaan penting menyangkut karya pastoral. Buku ini dicetak dalam jumlah yang terbatas.
            Seperti yang telah ditulis di atas, sebagian besar organisasi misionaris Protestan memiliki penerbitannya sendiri. Bersama dengan bertumbuhnya nasionalisme di Indonesia sebelum 1942, beberapa kelompok Protestan mengembangkan keinginan untuk menjadi lebih koorporatif. Selama zaman pendudukan Jepang sebagian besar orang Belanda, termasuk pendeta Protestan bertemu satu sama lain dan merencanakan kerja sama. Setelah zaman pendudukan Jepang beberapa di antaranya secara langsung mengakui kemerdekaan Indonesia dan dalam Gereja-gereja dimulai proses kerjasama Ekumene, dengan harapan bahwa hal ini dapat memberi pengaruh terhadap penerbitan Gereja-gereja. Sebelum zaman pendudukan Jepang sebagian besar penerbit dari organisasi misi dan gereja-gereja menerbitkan majalah dalam bahasa Melayu, Belanda, atau dalam bahasa daerah setempat. Pada 1946 gereja-gereja secara bersama merasa perlu memulai penerbitan dalam bahasa Indonesia. Pada oktober 1946 (tidak diketahui secara pasti tanggalnya, tetapi kemudian dinyatakan menjadi 31 Oktober dirayakan hari Reformasi). Sebuah komisi sementara bagi literatur gereja-gereja dan organisasi misi terbentuk. Inilah yang menjadi cikal-bakal BPK Gunung Mulia, dan menjadi organisasi legal pada 31 Agustus 1951.
Orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan BPK adalah Dr. J. Verkuyl. Komisi ini didukung oleh Indische Kerk atau Partai Gereja Protestan ‘Putih’ di Hindia Belanda, Gereja Reformasi lainnya, YMCA, Organisasi misionaris, dan beberapa tokoh Kristiani Indonesia terkemuka di antaranya Dr. J. Leimena, A.M. Tambunan, Pendeta B. Probowinoto dan Pendeta W.J. Rumambi. Sejak awal untuk menyukseskan kerjasama dalam melayani masyarakat, secara khusus terhadap Gereja dan komunitas Kristen di seluruh Indonesia yakni, menyediakan buku-buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Ketika DGI didirikan pada Mei 1950, BPK menjadi badan dari DGI. Pemimpin pertama dari DGI adalah Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia. Ia menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam BPK dan karenanya sejak 1971 namanya diasosiasikan dengan BPK, sehingga perusahaan itu berganti nama menjadi BPK Gunung Mulia.
            BPK sebagai sebagai badan dari DGI juga didirikan sebagai lembaga resmi dengan tiga tugas utama, yaitu: pertama, meningkatkan produksi literatur Kristiani ke dalam bahasa Indonesia; kedua, menerbitkan bacaan-bacaan Kristiani; dan ketiga, mendistribusikan literatur-literatur Kristiani. Karena situasi politik dan ekonomi di Indonesia, pada 1949 komisi sementara mampu menerbitkan paling banyak 25 buku tiap tahun, sebagian besar buku-buku tersebut berupa buku kecil (brosur). Sejak 1950 jumlah dan kualitas buku yang diterbitkan meningkat. Sebagai hasilnya terdapat 17 kategori atau seri buku dan rata-rata jumlah copy-an tiap buku diterbitkan antara 5.000-10.000 eksemplar. Pada mulanya sebagian buku ditulis dalam bahasa-bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun di antara para penulis asing buku tersebut terdapat seorang penulis Indonesia seorang teolog yakni Dr.  J.L.Ch. Abineno. Sampai ia meninggal dunia pada 22 Januari 1995 lebih dari 70 buku yang ditulisnya diterbitkan oleh BPK. Para penulis Indonesia yang kemudian mengikuti jejaknya adalah O. Notohamidjojo, R. Soedarmo, W.B. Sidjabat, T.B. Simatupang, Eka Darmaputera, dan Andar Ismail. BPK mencoba melayani, tulisan-tulisan lain dari seminari-seminari dan Perguruan Tinggi Teologi, Gereja-gereja, relasi inter-religius, Universitas, sekolah-sekolah, dan organisasi-organisasi professional.
            Karakteristik lain dari BPK GM adalah membangun kerjasama dengan beberapa institusi, yang memperkuat  identitas ekumenis dan internasional BPK. Segera setelah Perang Dunia II di Asia, BPK berpartisipasi dalam beberapa pertemuan ekumene di Asia dan secara Khusus di Asia Tenggara. BPK juga menerbitkan beberapa buku yang ditulis oleh teolog-teolog Asia di antaranya V.S. Azariah, Choan Seng Song, R.S. Sugirtharajah, dan Tissa Balasuriya. Di level global mereka berpartisipasi dalam Pengembangan Literatur Kristiani dan sejak 1975 tergabung dalam Asosiasi Dunia bagi Komunitas Kristiani (WACC).
            Sejak 1970 Kanisius menjadi rekan kerja BPK dalam menerbitkan buku secara bersama dan keduannya berpartisipasi dalam WACC. Sejak 1970 strategi kerjasama yang dibangun adalah menerbitkan dalam bahasa Indonesia majalah Roma terpopuler The Upper Room, dari Nashville, Amerika, dengan judul Saat Teduh (A Quiet Time). Setelah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Spanyol, edisi dalam bahasa Indonesia adalah salah satu edisi terbesar mereka. BPK membangun kerja sama lebih jauh dengan Dewan Kerjasama Gereja dalam Misi Dunia dari Gereja Lutheran Australia, penerbitan Lutheran ada di Adelaide, Australia Selatan, Bina Kasih (Persahabatan Misionaris Luar Negeri, yang didirikan pada 1995 dan bertempat di Indonesia), dan beberapa Gereja dan misi di Eropa, secara khusus di Belanda.
            BPK GM juga mulai menerbitkan buku-buku aktual tentang perkembangan Indonesia, mulai dari perhatian terhadap keempat permasalahan teologis: Pluralisme, Kekerasan, Gender, dan Ilmu pengetahuan dan Agama. Penerbitan buku-buku ini membantu Gereja-gereja mampu menangani isu-isu sehari-hari. Oleh karena topik-topik ini juga diterbitkan oleh Agama-agama lain, mereka secara intensif membangun kerjasama antara BPK GM dengan institusi-institusi dari agama lain. Sebagai contoh pada 10 April 2002 Memorandum of Understanding (MOU) antara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Jakarta dan BPK GM ditandatangani bersama. Tindak lanjut dari surat pernyataan tersebut adalah dengan membangun kerjasama dalam menerbitkan buku-buku dan artikel-artikel khusus tentang pluralisme agama dan kerjasama membangun kemanusiaan.

Kerjasama Ekumenis selanjutnya: Kokosia
Pada tanggal 1 Agustus 1978, menteri agama Indonesia mengeluarkan sebuah aturanbagi agama-agama dalam mempropagandakan agamanya, yang mana pada tanggal 2 Januari 1979 menjadi sebuah keputusan bersama antara menteri agama dan menteri dalam negeri. Keputusan ini berbicara tentang propaganda agama-agama dan bantuan luar negeri bagi organisasi-organisasi agama di Indonesia. Salah satu keputusannya adalah melarang agama-agama untuk mempropagandakan agamanya kepada orang atau kelompok yang telah memeluk agama lain dengan cara sebagai berikut: menyebarkan pamflet, majalah, buletin, buku, dan barang-barang lainnya yang berkaitan dengan penyebaran agama. Menanggapi keputusan ini, orang-orang Kristen mulai memikirkan cara lain dalam menghadapi situasi seperti ini.
            Dua minggu setelah keputusan tersebut dikeluarkan, orang Kristen mulai membentuk suatu kelompok untuk membahas masalah ini. Maka, pada tanggal 22-25 Agustus 1978, diadakanlah sebuah pertemuan yang dinamakan Kokosia[19] atau Koordinasi Komunikasi Kristen Indonesia yang diselenggarakan di Seminari Baptis Teologi di Semarang. Tujuan pertemuan ini sebagaimana yang dirumuskan oleh M. S. Anwariyakni sebagai berikut: “untuk menciptakan kemungkinan bahwa orang-orang Kristen di Indonesia dapat bersatu, berdoa, belajar dan berbagi pengalaman bersama di tempat pelayanan.” Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa semoga dengan pertemuan ini setiap orang saling mengenal satu sama lain dengan baik sehingga hubungan di antara mereka pun bisa menjadi lebih dekat dan harmonis. Bersama dengan anggota dari denominasi Kristen, Kokosia menjadi suatu perhimpunan yang sungguh-sungguh nyata karena memberi perhatian khusus kepada pelayanan, bukan hanya bagi orang Kristen saja melainkan juga bagi masyarakat termasuk negara dan orang banyak.
            Dalam pertemuan pertama, Kokosia lebih bersifat eksklusif: mereka merefleksikan tentang kemungkinan-kemungkinan bagaimana Sabda Allah dapat dibagikan dan bagaimana Gereja dan media Kristen dapat menyebarkan Injil. Pertemuan kedua terjadi di Batu, Malang, 22-27 Februari 1980. Pertemuan ketiga diadakan di Jakarta pada 7-10 September 1982. Dalam pertemuan ini mereka, tidak hanya merubah nama Konsultasi menjadi Koordinasi, tetapi tujuannya pun dirumuskan kembali. Topik utama dari pertemuan yang ketiga ini adalah pembentukan lembaga koordinasi. Dalam pertemuan tersebut alat penyebaran Injil dibagi dalam tiga kelompok: media cetak, media elektronik dan kelompok. Hasil dari diskusi tentang tiga pengelompokkan ini dibahas oleh sebuah tim yang terdiri dari tiga orang: Ir. Samuel (YASKI), Y. B. Priyanahadi (Kanisius) dan Harry Nugroho (Yakoma), yang membuat konsep akhirnya. Hasilnya adalah sebagai berikut: nama konstitusi koordinasi tetap sama, Kokosia, tetapi singkatannya menjadi Koordinasi Komunikasi Kristen Indonesia yang sebelumnya adalah Konsultasi Komunikasi Kristen Indonesia. Lembaga ini mempunyai tugas untuk merangkum semua aspirasi pada saat pertemuan, merealisasikan program bersama (keputusan bersama) dan membuat laporan dalam pertemuan berikutnya.
Kokosia yang keempat diadakan di Jogyakarta, pada 6-9 september 1986. Dalam pertemuan ini dirumuskan dan diterbitkan undang-undang dan peraturan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 75 peserta dari 45 lembaga komunikasi. Di sana juga terjadi pameran produk-produk oleh komunikator Kristen Indonesia dan juga beberapa kelompok komunikasi lainnya seperti vokal grup, teater dan seni musik. Pameran-pameran serta pementasan vokal grup, teater dan seni musik dilakukan sebagai salah satu usaha mewartakan kabar gembira.
Dengan antusias dan tema yang sama, maka diadakanlah pertemuan Kokosia yang kelima di wisma pratista, Bandung pada tanggal 2-5 september 1986. Kali ini ada 99 peserta dari 52 lembaga komunikasi. Ada beberapa pertunjukan seni tradisional Kristen dan musik Kristen untuk orang-orang muda (Jazz dan kelompok vocal). Hasil pertemuan yang kelima ini kurang lebih sama dengan pertemuan yang keempat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dua pertemuan pertama Kokosia lebih berbicara tentang tugas pewartaan bagi para penginjil. Dalam pertemuan yang ketiga poin utamanya diubah lagi lebih ke arah bagaimana berkomunikasi dengan cara   yang lebih baik dan bagaimana para komunikator Kristen dapat belajar satu sama lain untuk memberikan kontribusinya bagi perkembangan Kerajaan Allah di dalam masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, para komunikator Kristen dapat memberikan sumbangannya bagi perkembangan Negara.
Kompas-Gramedia, Sinar Harapan
Dalam bidang pers dan media di Indonesia, orang-orang Kristen juga memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat secara keseluruhan. Kompas didirikan pada tanggal 28 juni 1965. Para pendiri Kompas ini adalah Jakob Oetama dan P. K. Ojong. Partai Katolik, yang pada saat itu diketuai oleh I. J. Kasimo dan FransSeda turut menunjang berdirinya Kompas. Pada awalnya nama dari surat kabar ini adalah People’s Herald (Bentara Rakyat), sebagai tanggapan bagi para komunis yang juga mempunyai surat kabar bernama People’s Daily (HarianRakyat), tetapi presiden Soekarno sendiri menyarankan agar memberi nama Kompas bagi surat kabar tersebut. Alasannya karena menurutnya nama tersebut mau memberi arah kepada bangsa Indonesia yang sedang berada dalam masa-masa sulit. Kompas mempunyai perhatian dan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia.Oleh karena itu, mereka memberi judul kecil di bawah kompas, yakni Amanat Hati nurani Rakyat. Oleh karena P. K. Ojong telah mempunyai begitu banyak pengalaman dalam bidang tulis-menulis, khususnya dalam surat kabar, maka ia menjadi manajer Kompas. Sedangkan, Jakob Oetama, yang pada saat itu mengajar di sekolah dan editor dari majalah sosial Katolik Penabur, diangkat menjadi editor umum. Setelah P. K. Ojong meninggal pada tanggal 31 Mei 1980, Jakob Oetama menggantikan posisinya sebagai manajer Kompas-Gramedia.
            Kompas adalah surat kabar masyarakat pertama yang berasal dari Katolik. Kompas terbit bukan untuk memberikan berita-berita Katolik, melainkan memberikan sumbangan bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Kompas menjadi cermin pluralitas masyarakat Indonesia, yang mottonya adalah: Bhineka Tunggal Ika. Para karyawan Kompas, terdiri dari beragam agama, ras dan budaya di Indonesia. Filosofi Kompas sebagaimana yang dikembangkan oleh Dr. Jakob Oetama dapat digambarkan dalam tiga hal: humanisme transendental, terjemahan filsafat pancasila bagi masyarakat Indonesia dan Kompas sebagai forum untuk berdialog. Filosofi Kompas ini, dimulai oleh Katolik dan hal ini memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan masyarakat Indonesia dalam arah demokratis dan masyarakat humanitarian.
            Sinar Harapan muncul pertama kali sebagai sebuah surat kabar petang pada tanggal 27 April 1961 di bawah tanggungjawab PT. Sinar Kasih. Motto Sinar Harapan adalah berjuang demi kebebasan, keadilan dan perdamaian dengan dasar cinta kasih. Pada awalnya, Sinar Harapan bergabung dengan Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) dan pada tahun-tahun awal Sinar Harapan menjadi saluran suara orang-orang Kristen. Namun demikian, oleh karena ikatan gereja dengan partai ini mulai menurun, maka Sinar Harapan melepaskan diri dan berkembang menjadi sebuah surat kabar umum. Latar belakang kekristenannya tidak tampak dengan jelas, namun masih ada unsur kekristenannya di mana dalam majalah tersebut terdapat kolom meditasi mingguan yang sering digunakan oleh para pendeta Indonesia. Oleh karena pengolahan surat kabar tersebut berada di bawah tanggungjawab orang-orang Kristen di Sumatera Utara (Batak) dan Sulawesi Utara (Manado), maka mereka sangat berani untuk menulis secara tegas, membuat artikel-artikel yang keras dan kadang-kadang isu-isu politik yang kontroversial. Oleh karena gaya pengkritikan yang sangat keras ini maka surat kabar tersebut dilarang oleh pihak yang berwenang pada tahun 1965, 1973 dan 1978 dan akhirnya dilarang secara total pada tanggal 8 oktober 1986.
Empat bulan setelah Sinar Harapan diberhentikan, PT. Sinar Kasih memulai sebuah sesi baru dengan menerbitkan Suara Pembaruan yang merupakan revisi dari Sinar Harapan. Motto dari Suara Pembaruan adalah berjuang bagi semua orang demi perkembangan nasional di bawah dasar Pancasila. Pada tahun 1991 Suara Pembaruan menjadi surat kabar keempat yang banyak terjual. Bagaimanapun juga, orang-orang Kristen telah begitu banyak memberikan sumbangannya bagi Negara Indonesia. Surat-surat kabar ini merupakan salah satu contoh kontribusi orang Kristen dalam memberikan sumbangan terbesar melalui informasi-informasinya tentang bagaimana Negara Indonesia harus berkembang.
Penutup
            Pada bagian akhir tulisan ini, kita perlu mengajukan pertanyaan demikian: siapa saja yang terlibat atau seharusnya terlibat dalam usaha untuk menghidupkan dan mengejawantahkan nilai-nilai  luhur Kristianitas? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan masyarakat Indonesia yang beragam. Dengan demikian, upaya menghidupkan nilai-nilai Kristinitas di tengah masyarakat yang majemuk ini tidak bisa disangkal begitu saja.
            Para misionaris telah memberikan teladan bagaimana mereka memberikan dirinya bagi pemberdayaan manusia di bumi Indonesia ini melalui publikasi-publikasi. Mereka hadir, bekerja, dan melayani banyak orang hingga ke daerah-daerah terpencil. Semangat pelayanan dalam diri para misionaris patut kita batinkan dan kita wujudnyatakan dalam tindakan berpikir kritis dan menulis. Sebab dari menulis kita belajar bagaimana menata gagasan-gagasan kita dan memperjuangkan ideologi kita. Dalam hal ini, pemberdayaan manusia menjadi titik fokus bersama yang perlu diperhatikan terus-menerus. Bagaimana mungkin kita memberdayakan sesama kita jika kita sendiri dari sekarang tidak melatih membaca dan menulis?
Dari para misionaris kita belajar bahwa pendidikan menjadi salah satu jalan terbaik bagi  pewartaan iman dan pemberdayaan manusia. Menutup tulisan ini, kiranya patut kita renungkan ungkapan khas Jakob Oetama: ”Kalau kita menghadapi tembok, jangan ditabrak, melainkan harus jalan menyamping untuk untuk mencari celah”.





Daftar Pustaka
Aritonang, Sihar Jan dan Karel Steenbrink (ed.) A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2008.
Maryono, R, dkk. Yayasan Kanisius Setelah 75 Tahun. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Disusun oleh:
  1. Benediktus Nama Koro Kaha (0203203210)
  2. Fransiskus Kristino Mari Asisi (0207610110)
  3. Vian Budiarto (0205203210)
  4. Yanuarius Yeremias Parung (0206403210)



[1] (Pada 1624,  orang-orang Gereja membeli sebuah mesin cetak dario Belanda, tetapi keberadaan mesin ini belum sepenuhnya membantu Gereja dan pemerintah kolonial dalam melaksanakan tugas mereka. Jan Sinar Aritonang dan Karel Steenbrink(Ed), A History  of Christianity  in Indonesia, Leiden: Koninklijke Brill NV: 2008,  hlm. 951).
[2] ( Pada 1819, sebuah mesin cetak tiba di kepulauan Maluku. Ibid., hlm, 951). 
[3] (Antara 1823-1842, percertakan ini menjadi paling produktif, karena manerbitkan sekitar  189,294 berbagai tulisan yang terdiri dari renungan, bagian tertentu dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian  Baru, kamus Cina-Bahasa Inggirs, dan beberapa pamflet yang tidak bercorak religius. Ibid., hlm. 952-953) 
[4] Surat kabar pertama yang menggunakan bahasa melayu di Indonesia, Soerat Kabar bahasa melaijoe yang diterbitkan pada 5 Januari 1856 di Surabaya oleh seorang Belanda, E. Fuhri. Ibid., 953.
[5] Dengan dibukanya jaringan telegram pada 1856 dan dimulainya pengiriman yang lebih modern, diikuti oleh  pembukaan jalur kereta api pada 1867, secara tidak langsung telah mendukung perkembangan pers. Pemerintahan kolonial juga menerbitkan UU Pers. Ibid., hlm.954.
[6] (Pada 1867 John Muhleisen Arnold, seorang pendeta Anglikan di Parapatan (Batavia) mengawali sebuah koran misioner mingguan bernama Bialng Lala. Ibid., hlm. 954)
[7] (Surat kabar Kristiani yang kedua adalah Tjahaja Sijang, diterbitkan di Minahasa menjelng akhir 1868 dan diberi nama Kertas Chabar Minahasa. Surat kabar ini diprakarsai oleh Nicholaas, seorang misionaris dari NedherlandsGgenootschap, dan diterbitkan oleh H. Bettink. Ibid., hlm. 955.)
[8] (dua tahun kemudian, sebuah surat kabar saingan Pewarta manado diterbitkan tetapi karena Tjahaja Sijang bertahan lebih lama karena mendapat dukungan dari Gereja dan harga jualnya  lebih rendah. Ibid., hlm.956).
[9]( Tjahaja Sijang lebih terbuka dalam mengkritik orang-orang Muslim, misalnya dengan menerbitkan berita yang mempermalukan agama Islam an nabi Muhhamad. Ib id., hlm. 956). 
[10] Majalah Immanuel untuk pertama kalinya diterbitkan pada 1 Januari 1890. J.h. Meerwaldt, dan seorang guru dari seminari Pansur Napitu, yang telah menjadi editor, mendirikan mejalah ini. Ibid., hlm. 957
[11] Pada awalnya, Immanuel merupakan tulisan tangan. Ibid., hlm 957
[12] Van Aernsbergen 1934:164-165. Otterspeer 1995:148-149. Steenbrink 2003-I:42-44.
[13] Lihat G. Vriens: Muskens 1972-II:175-176; M. Stigter in: Muskens 1974-IIIa:471.
[14] Sebagian besar judul-judul  majalah misionaris Protestan berbahasa Belanda tentang Indonesia dari abad 19 dan 20 dapat ditemukan di dalam Jan A. B. Jongeneel 1990. A. G. Hoekema 1994:341-350 membaut daftar majalah Kristiani dalam bahasa Indonesia di atas 1960. Lihat juga: Van Randwijck 1981: 461-464, 716-721.
[15] Hoekema 1994: 105-106.
[16] Hoekema 1994: 165. Bdk. Jan S. Aritonang 2004:226.
[17] A. Heuken SJ 1989-3:322-326 and passim, with slight additions from the 4th edition (1993).
[18] Yayasan Kanisius merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa. Didirikan di Muntilan pada tahun 1918 sebagai “Canisius Vereniging”, yang berarti Perkumpulan Kanisius. Selanjutnya, pada tahun 1927 karena alasan-alasan praktis diubah statusnya menjadi “Canisius Stichting”, yang berarti Yayasan Kanisius. Lihat R. Maryono, Sj, dkk. Yayasan Kanisius setelah 75 Tahun. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 13
[19]Kokosia adalah singkatan dari KOnsultasi KOmunikasi KriSten IndonesiA, yang kemudian diubah pada pertemuan Kokosia yang ketiga menjadi KOrdinasi KOmunikasi kriSten IndonesiA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar