Pengantar
Dalam rangka mengejawantahkan ajaran Kristiani,
peran media massa
menjadi sangat penting. Manisfestasi ajaran Kristiani dalam media massa tampak jelas dalam tulisan-tulisan, sebagaimana dalam
sejarah kristianitas di Indonesia ,
tidak bisa dilepaskan dari peran para misionaris. Dengan bantuan mesin cetak
dan dana finansial dari lembaga-lembaga misi, secara bertahap ajaran Kristiani
mulai menyebarluas dan merasuk ke dalam hati banyak orang. Media massa secara perlahan membantu orang tidak hanya mengerti
berbagai macam informasi, tetapi juga melatih untuk berpikir kritis atas
gejala-gejala sosial, ekonomi, politik, budaya, dan religius, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia .
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran
historis tentang media kristiani mulai dari abad 17 sampai abad 20. Lebih dalam
lagi, masalah serius yang perlu direfleksikan bersama adalah pemberdayaan
manusia melalui pendidikan. Para misionaris
melihat permasalahan ini dan kemudian mereka terdorong untuk membantu
orang-orang di tanah misi supaya mereka bisa membaca, belajar bersama,
bekerjasama, dan memperkaya satu sama lain. Dengan kata lain, berbagai macam
percetakan tidak hanya bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristiani saja,
tetapi juga memberikan informasi dan pendidikan bagi penduduk pribumi.
Harapan dari adanya media kristiani ini supaya dapat
merangsang orang-orang Kristiani Indonesia untuk membagikan pemikiran-pemikiran
mereka dan merumuskan ide-ide mereka dengan jelas supaya mereka menumbuhkembangkan
kedewasaan berpikir. Kemudian, salah satu pokok permasalahan dalam perkembangan
media kristiani adalah kurangnya jurnalis-jurnalis profesional dari masyarakat Indonesia . Dalam hal ini, kita mesti berterima
kasih kepada para misionaris yang memberikan dirinya untuk membuat tulisan,
mengedit artikel-artikel, dan membantu mempublikasikan media kristiani hingga
ke daerah-daerah terpencil.
Pada
bagian ini akan dijelaskan gambaran singkat Pers dan Media Protestan dari abad
XVII sampai abad XIX, Media Protestan pada tahun-tahun awal Perkembangan Pers
di Indonesia, Media Kristen yang Bertujuan Komersial, Media Kristen yang tidak
bertujuan Komersial,
Gambaran Singkat Pers dan Media Protestan dari abad
XVII sampai abad XIX
Upaya untuk menyebarluaskan ajaran Kristiani melalui
media massa
mulai dipikirkan oleh Gereja. Pada saat itu Gereja mulai menyadari akan
pentingnya pewartaan melalui media masa. Gereja Protestan di Hindia Belanda
yang memprakarsai berdirinya percetakan yang menerbitkan dan menyebarluaskan
ajaran-ajaran Kristiani. Pada 1624, umat Protestan membeli sebuah mesin cetak
dari Belanda. Namun, keberadaan mesin cetak ini, awalnya, tidak membantu mereka
dalam menjalankan misi pewartaan sebab belum ada orang yang mampu mengoperasikan
mesin ini.[1]
Untuk mengatasi hal ini, Gereja mengusulkan supaya pemerintahan Hindia Belanda
mengirim seorang operator yang terampil
dari Belanda. Pada 1659, keinginan itu terwujud. Seorang bernama Kornelis Pjil
mendirikan sebuah percetakan yang mendukung penyebaran ajaran Kristiani. Dalam
perkembangannya, percetakan ini dikelolah oleh pemerintahan Kolonial dan
berkerja sama dengan pihak swasta untuk menerbitkan dukumen-dokumen yang
berkaitan dengan pemerintahan.
Pada 1819, sebuah mesin cetak milik seorang
misionaris, Joseph Kam tiba di kepulauan Maluku.[2]
Tujuan Kam dengan mendatangkan mesin cetak di Maluku adalah menghidupakan
kembali kekristenan lokal dengan penyaluran Alkitab, buku nyanyian, buku-buku
renungan dan juga buku-buku untuk murid-murid Sekolah Dasar (SD). Pada saat
itu, Kam mulai melibatkan penduduk lokal dalam menerbitkan dan membantu
penyebaran ajaran Kristiani. Sementara itu, pada 1819 di Bengkulu, Nathaniel
Ward, misionaris Inggris dari Serikat Misionaris Baptis (Baptis Missionari Soceity) mendatangkan sebuah mesin cetak untuk
menerbitkan tulisan-tulisan yang bercorak religius dan sekuler. Namun,
kegiataannya ini terhenti karena pada 1826 Bengkulu diserahkan kepada pihak
Kolonial.
Sekolah seminari yang didirikan oleh Walter Walter
Henry Medhurst yang berasal dari Serikat Misinaris London (London
Missionary Society) memiliki sebuah mesin cetak. Mesin cetak ini
menerbitkan berbagai tulisan dalam bahasa Inggris ,
China , Belanda,
Jepang, dan Melayu. Mesin cetak ini menjadi percetakan yang paling produktif
antara 1823-1842 karena menerbitkan berbagai kotbah, beberapa tulisan dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Kamus China-Inggris, dan beberapa artikel
nonreligius lainnya.[3]
Pada abad kesembilan-belas, tulisan-tulisan ini mulai beredar ke luar Jawa,
terutama di Temohon, Tondano, Banjarmasin , dan Ambon . Adapun hal-hal yang dipublikasikan adalah:
buku-buku, literatur gereja, dan buku-buku untuk sekolah misi.
Dengan kehadiran mesin cetak di berbagai tempat
seperti di Batavia, Maluku, Bengkulu, dan di berbagai daerah lainnya, para
misionaris semakin menyadari pentingnya peranan pers dan berbagai media lainnya
dalam mendorong perkembangan pewartaan Kerajaan Allah. Dari berbagai penjelasan
di atas, dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu antara abad ke XVII dan XIX,
telah didirikan berbagai macam percetakan yang tidak hanya bertujuan untuk
menyebarkan ajaran Kristiani tetapi juga untuk memberi informasi dan pendidikan
bagi penduduk pribumi. Dari segi pewartaan, keberadaan percetakan ini sangat
membantu para misionaris dalam menyebarluasakan pokok-pokok ajaran Kristiani.
Dari segi pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, keberadaan
percetakan ini dapat mendorong pekembangan intelektual dari bangsa
pribumi.
Media Protestan pada
tahun-tahun awal Perkembangan Pers di Indonesia
Sampai pada 1856, hampir semua surat kabar, majalah, dan
jurnal menggunakan bahasa Belanda. Hal ini disebabkan karena banyak para
pekerja di percetakan berasal dari Belanda. Surat Kabar pertama yang diterbitkan
dengan menggunakan bahasa Melayu adalah Soerat
Kabar Bahasa Melaijoe. Surat Kabar ini diterbitkan pada 5 Januari 1956 oleh
orang Belanda, E. Fuhri.[4]
Pada tahun yang sama, H. Nygl dari Rotterdam
juga menerbitkan jurnal pertama dalam bahasa Melayu, Bintang Oetara. Pada pertengahan abad ke XIX, muncul majalah Biang Lala (1867) dan Tjahja Sijang (1868/1869) yang
menggunakan bahasa Melayu. Berbagai surat
kabar orang Kristen mengalami perkembangan yang pesat pada pertengahan abad 19.
Hal ini disebabkan karena penggunaan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca. Selain itu, ada perubahan kebijakan pemerintahan
kolonial terkait dengan pendidikan dalam lembaga pemerintahan antara 1863
sampai 1871.
Dengan
diberlakukannya jaringan telegram pada 1856 dan pengenalan layanan pos
(pengiriman surat) yang lebih modern di tahun 1862, diikuti dengan pembukaan
jalur kereta api pertama di 1867, secara tidak langsung telah membantu
pertumbuhan pers. Pemerintahan kolonial juga telah mengeluarkan UU Pers tahun
1856.[5]
Keberadaaan UU tersebut dianggap sebagai perkembangan positif sebab sebagai sarana
untuk mencegah tindakan sewenang-wenang pemerintah dalam mengendalikan opini
publik dan kritik terhadap pemerintah kolonial.
Dari penjelasan di atas, dapat
dilihat bahwa keberadaan media protestan sangat berperan penting dalam
mengemban misi pewartaan. Media Protestanlah yang mengawali misi pewartaan
melalui media cetak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penggunaan bahasa
Melayu dalam koran, majalah, ataupun dalam jurnal sangat mendorong perkembangan
media di Indonesia . Dengan
menggunakan bahasa Melayu, minat penduduk pribumi terhadap koran, majalah,
ataupun jurnal terus meningkat. Upaya inkulturasi ini ternyata membawa dampak
yang positif tidak hanya terhadap perkembangan misi tetapi juga terhadap
perkembangan media tersebut.
Media Kristen yang
Berorientasi Komersial
Seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya
bahwa media Kristen yang berorientasi komersial merupakan media yang dipegang
oleh kelompok misionaris. Berkaitan dengan hal ini, ada dua media masa yang dijelaskan
secara khusus, yaitu: Biang Lala dan Tjahaja
Sijang. Pada bagian ini, kami akan mendeskripsikan secara spesifik terkait
dengan dua media massa
ini.
Biang Lala
Pada 1867, John Muhleisen Arnold, misionaris
Anglikan di Parapatan (Batavia ), memulai surat kabar mingguan di Batavia bernama Biang Lala.[6]
Untuk melancarkan usahanya ini, Arnold
bekerja sama dengan Ogilvie & Co
untuk mencetak dan menerbitkan Biang Lala.
Nama Biang Lala diambi dari sebuah
buletin Belanda yang diterbitkan oleh Lange
& Co di Batavia pada tahun 1852. Bagi para misionaris, pengetahuan akan
budaya setempat sangat membantu mereka dalam merumuskan ajaran iman ke dalam
kebudayaan setempat. Biang Lala
pertama kalinya diterbitkan pada 11 September 1867. Surat kabar ini dijadwalkan akan diterbitkan
setiap Rabu, terdiri dari empat halaman, dengan biaya langganannya adala 12
gulden per tahun. Seperti surat
kabar lainnya pada waktu itu, Biang Lala tidak
hanya berisikan berita lokal dan internasional, tetapi juga berisikan artikel
dan cerita agama Kristen atau ajaran moral Kristiani. Sekalipun Biang Lala tidak menyembunyikan misi
religiusnya, surat
kabar ini merupakan salah satu surat
kabar yang bertahan cukup lama. Surat kabar ini
tidak hanya mendapat dukungan dari orang-orang Kristen, tetapi juga oleh para
editior surat
kabar populer, seperti Selompret Melajoe
dan Bintang Timoer.
Sebagai sebuah surat
kabar misionaris, Biang Lala
didistribusikan ke seluruh pulau Jawa. Biang
Lala juga tercatat sebagai surat
kabar pertama sejak 1867 yang menggunakan gambar dalam kolomnya dan ilustrasi
yang tebuat dari ukiran kayu. Gambar-gambar (peta) ini melukiskan berbagai
macam negera seperti: China ,
Belanda, Inggris, atau Rusia. Gambar-gambar ini diberikan gratis kepada para
pelanggan untuk menarik minat dan perhatian mereka sehingga mereka tetap
menjadi pelanggan. Dengan demikian, Biang
Lala juga memberikan informasi dan pengetahuan umum kepada para pembacanya.
Pada 1872, sebuah surat
kabar yang juga bertujuan komersial diterbitkan di Batavia
dengan nama Hindia Nederland . Surat
kabar ini mampu menyaingi popularitas berbagai macam surat kabar yang telah terkenal saat itu,
termasuk Biang Lala. Munculnya Hindia Nederland membuat Biang Lala ditutup untuk sementara
waktu. Namun, surat kabar ini diterbitkan kembali pada 13 Juli 1872 dengan
seorang kepala editor baru, F.L. Anthung, seorang misionaris yang terkenal.
Pada 1 Januari 1873, Biang Lala
berubah nama menjadi Bintang Djohar
dan juga mengubah formatnya dengan menyediakan halaman terakhir dalam bahasa
Belanda. Kegagalan surat
kabar ini dalam menarik minat pembaca yang mayoritasnya menggunakan Melayu
memaksa Biang Lala mengarahkan
perhatiannya kepada orang-orang Belanda.
Tjahaja Sijang
Surat Kabar Kristen lainnya adalah Tjahaja Sijang. Surat Kabar ini
diterbitkan di Minahasa pada akhir 1868. Oleh para misionaris, surat kabar ini biasa
disebut dengan nama Koran Chabar Minahasa
(Koran Minahasa). Surat
kabar ini diprakarsai oleh Nicholaas Graafland, seorang misionaris yang dikirim
oleh Zendeling Genootschap.[7]
Surat kabar ini,
untuk pertama kalinya, diterbitkan pada 1868 dan mulai diterbitkan secara
reguler sejak 1 Januari 1869. Surat kabar ini
merupakan surat
kabar yang dipegang oleh kelompok misionaris dan dipublikasikan tidak hanya untuk
menyebarkan ajaran Kristen, tetapi juga untuk menyediakan bahan bacaan bagi
orang Kristen pribumi dan bagi guru-guru di Tondano, dan juga kepada
siswa-siswa yang bersekolah di Amurang dan Tanawangko. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sebagian pembacanya adalah penduduk pribumi.
Pada awalnya, Tjahaja
Sijang merupakan surat
kabar bulanan, tetapi memasuki abad 20 diterbitkan dua kali dalam seminggu. Surat kabar ini menggunakan
bahasa Melayu yang sangat sederhana sehinga dapat dipahami oleh kebanyakan
penduduk pribumi. Biaya bagi pelanggannya adalah empat Gulden pertahun. Tjahaja Sijang dipimpin oleh Graafland
dan dibantu oleh para kontributor dan korespondennya. Mayoritas koresponden dan
kontributornya adalah alumni dari sekolah-sekolah misi. Secara berkala Tjahaja Sijang mempublikasikan isu-isu
yang berkaitan dengan agama dan pendidikan, seperti esai tentang agama Kristen,
Mazmur. Tjahaja Sijang juga berisikan
teka-teki dan berita-berita dari berbagai belahan dunia. Selain itu, artikel
agama seperti refleksi terhadap bacaan Injil, meditasi, pemahaman tentang
kematian dan kebangkitan Kristus, dan penjelasan mengenai muculnya berbagai
sekte ditempatkan dalam kolom tambahan.
Meskipun pada waktu itu pendidikan di Minahasa lebih
berkembang dari pada di Jawa, mayoritas orang Minahasa belum mendapat
pendidikan karena penyebaran sekolah-sekolah hanya terbatas pada wilayah
perkotaan. Tjahaja Sijang hanya
didistribuksikan terbatas kepada daerah-daerah di mana sekolah telah didirikan
oleh para misionaris. Pada tahun 1902, ketika berusia genap 33 tahun,
percetakan dipindahkan dari Tanah Wangko ke Manado . Sementara itu, dua tahun kemudian, sebuah
surat kabar Pewarta Manado muncul sebagai saingan.
Namun, karena mendapat sokongan dana yang kuat dari gereja dan harga
berlanggganan lebih rendah, Tjahaja
Sijang dapat bertahan lebih lama.[8]
Perbedaan Antara Biang
Lala dan Tjahaja Sijang dalam Kaitannya dengan Pewartaan
Perbedaan utama antara Biang Lala dan Tjahaja Sijang
adalah: Biang Lala merupakan surat kabar mingguan yang menyediakan
banyak kolom untuk berita. Dalam mewartakan Kabar Gembira di Batavia, Biang Lala sangat memperhatikan reaksi
dari kaum Muslim yang menjadi kelompok mayoritas. Sementara itu, Tjahaja Sijang lebih terbuka dalam
menyampaikan Kabar Gembira dan lebih terbuka dalam menyerang agama Islam.
Misalnya, menerbitkan cerita yang mempermalukan orang Muslim dan nabi Muhhamad.[9]
Sekalipun, di bawah kepemimpinan Arnold
Biang Lala dapat mengkritik pemimpin
Muslim, namun mereka tidak pernah mengkritik para editior surat kabar kontemporer. Dalam Biang Lala selalu ada informasi tentang
jadwal pelayanan Gereja di Batavia. Untuk menarik perhatian pembaca, Biang Lala tidak menerbitkan berita yang
berkaitan dengan pembunuhan, perampokan, pelanggaran terhadap hukum, dan
artikel-artikel yang memfitnah.
Berbagai Surat Kabar Lainnya
Di Ambon juga terdapat surat kabar Kristen bernama Penghentar yang muncul pada Oktober
1894. Surat kabar ini untuk pertama kalinya
diterbitkan oleh Ambonsche Drukkerij
dan selanjutnya oleh Ong Kie Hong, seorang China
yang tinggal di Ambon . Pengehentar merupakan kelanjutan dari sebuah jurnal dengan nama Penabur.
Media Kristen yang
tidak Bertujuan Komersial
Kelompok misi di Batak menilai bahwa keberhasilan
penginjilan tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan dan pelatihan terhadap
penduduk pribumi. Hal ini akan meningkatkan peran dan keterampilan mereka.
Proses pendidikan yang perlu menjadi prioritas adalah pendidikan untuk para
guru. Sejak 1883, misi Batak telah mengadakan pembaharuan seluruh pendidikan
termasuk dalam pendidikan dasar. Majalah Immanuel
diterbitkan pada 1 Januari 1890 bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
J.H Meerwaldt adalah salah satu guru di seminari Pansur Napitu, yang kemudian
menjadi pemimpin redaksi.[10]
Majalah Immanuel
merupakan majalah yang tertua di Indoensia. Pada awalnya, majaah ini berbentuk surat edaran, yang
menggunakan bahasa Batak, dan target pembacanya adalah para misionaris atau
pengkotbah, tua-tua jemaat, guru, dan orang-orang yang bisa membaca huruf
Latin. Adapun yang menjadi isi dari surat edaran ini adalah berkaitan dengan
topik-topik pastoral, refeleksi, pengetahuan Alkitab, ajaran teologi termasuk
dogma Kristen, pengajaran dan sejarah, berita tentang misi dan pengetahuan
umum.
Pada awalnya majalah Immanuel ditulis dengan tangan dan
berfungsi sebagai surat
edaran.[11]
Majalah ini diterbitkan setiap bulan. Pada tahun 1895, majalah ini mulai
dicetak di Padang
dan sejak 1904 telah dicetak di Narumonda. Dalam perkembangannya, majalah Immanuel juga menyajikan
informasi-informasi tentang aljabar, geologi, pengetahuan umum, pengetahuan
Alkitab, dan metode pedagogik yang berguna bagi guru dan murid. Selain itu,
kadang-kadang majalah ini juga menerbitkan saran atau peringatan kepada para
siswa seminari dan guru. Aktivis dari penduduk pribumi juga didorong untuk
menulis dan mempublikasikan tulisan-tulisan mereka di dalam majalah ini.
Pers
Katolik, media, dan majalah-majalah 1890-1942
Superior misi Jesuit dan kepala
paroki di Batavia ,
Petrus Jacobus van Santen mengambil inisiatif pertama untuk mempublikasikan
koran Katolik. Untuk tujuan ini maka kerjasama dicari dengan pengiklanan kecil
seperti De Express. Bermula dari minggu pertama Juni 1891, beberapa isu
mempunyai artikel-artikel Katolik yang spesifik. Setiap bulannya bayaran kecil
sebesar lima
puluh sen dibebankan. Tibalah Godefridus Jonckbloet, SJ dan kemudian Antonius
Dijkmans, SJ memberi kepedulian pada isi majalah. Tema-tema umum yang disajikan
sangat jarang berkaitan dengan situasi religius dalam Hindia di mana Islam
merupakan agama yang besar dan Kristianitas hanyalah minoritas. Latar belakang
polemik-polemik di Batavia tidak berbeda dari latar belakang orang-orang Eropa
di masyarakat Batavia .
Bagi orang-orang Katolik, partner dalam debat adalah Freemasonri dan
Protestantisme. Setelah satu tahun kerjasama dengan pemilik De Express berakhir,
Jonckbloet kemudian melanjutkan publikasi artikel-artikel Katolik dalam Bataviaasch
Handelsblad, dari 1 Juli hingga 31 Desember 1892. Alasannya adalah besarnya
kerugian keuangan bagi partai Katolik.[12]
Sejak 14 Maret 1903, De Java Post dipublikasikan
sebagai mingguan Katolik, tetapi dengan sub-judul netral Weekblad van
Nederlandsch-Indie. W. H. Boogardt adalah editor pertama yang dipilih sebagai
anggota parlemen Belanda hingga akhir 1905. Artikel-artikel dalam mingguan ini
menunjukkan perkembangan kesadaran diri komunitas Katolik. Mulai 11 November
1905 Boogaardt digantikan oleh seorang Jesuit bernama W. van den Heuvel dan
sejak saat itu para jesuit memimpin mingguan sampai dihentikan pada bulan
Desember 1927. Supaya membuat koran harian sukses, De Koerier sebagai
harian baru Katolik, maka mingguan Java Post dihentikan. Sejak awal mula
sebenarnya kelemahan De Koerier adalah kurangnya jurnalis profesional.
Pada 1 April 1937 kantor dan percetakan De Koerier pindah ke Batavia . Pimpinan-pimpinan
Katolik memperkirakan bahwa harian Katolik sangatlah penting sebagai suara
komunitas Katolik kepada pemerintah dan kelompok-kelompok lain.
Pada 1 Juni 1909 seorang jesuit bernama A. van
Velsen memulai bulanan Geredja Katholik di Minahasa. Mulai 1910 dan
seterusnya suplemen Iman dan Ilmoe ditambahkan dalam bentuk
brosur-brosur berseri. Dari 1920 hingga 1958 majalah ini dipublikasikan oleh
tarekat MSC . Mereka menghiasi
tampilan dan mengubah nama suplemen menjadi Ibadat, Iman, Ilmoe.
Artikel-artikel selain variatif juga memberikan banyak informasi mengenai
pengembangan kehidupan Katolik di seluruh dunia dan doktrin Katolik dipelihara
tanpa polemik yang kaku[13].
Percetakan Arnoldus di Ende mempublikasikan bulanan Kristus
Ratu Itang dalam bahasa Sikka mulai dari 1926 hingga 1938. Arnoldus juga
menerbitkan bulanan Bintang Timur dalam bahasa Melayu/Indonesia mulai
1928-1937. Bulanan ini berisi artikel-artikel tentang agama Katolik, kehidupan
keluarga, pendidikan dan memberikan beberapa berita regional.
Pada 28 Maret 1909 Bond van Katholieken diterbitkan
di Surabaya .
SCU (Surabaya Catholic Union) ini dimulai pada tahun 1910 dengan majalah
Onze Bode. Pada bulan Juni 1912 Onze Bode berubah menjadi minguan
Orgaan van den ‘Bond voor Katholieken’ di Surabaya. Setelah beberapa tahun,
mingguan ini menjadi bulanan dan diterbitkan sampai 1919. Pada 12 Mei 1913 Katholieke
Sociale Bond (KSB) ditemukan di Batavia .
Pada 1922 bulanan Sociaal Leven dan Sociaal Streven keduanya
disatukan ke dalam mingguan dengan judul: Sociaal Leven en Streven.
Hingga akhir abad 20 nyaris tidak ada kontribusi dari klerus. Perubahan terjadi
pada 1930 saat P. Victorius Beekman, OFM menjadi editornya dalam waktu yang
cukup panjang. Pada 1938 Sociaal Leven en Streven diganti menjadi Toorts
van Sociale Leven, tetapi bulanan ini berhenti pada pertengahan 1938.
Sejak 1928 Swara Tama juga menerbitkan edisi
dalam bahasa Melayu yang disebut Soeara Katholiek, yang pada tahun 1930
menjadi mingguan. Publikasi-publikasi ini mempromosikan realisasi
pengajaran-pengajaran sosial Katolik. Pada mulanya Swara Tama lebih
netral, tetapi dari 1924 ia mulai menunjukkan secara jelas identitas
Katoliknya. Bagi anak-anak mereka mempunyai suplemen: Taman
Poetra. Pakempalan Politik Katolik Djawi yang dipimpin I. J. Kasimo
dapat menggunakan Swara Tama, tetapi majalah tidak pernah terbatas pada
politik saja. Pada 1918 orang-orang Katolik Eropa mendirikan Indische
Katholieke Partij. Atas dasar ketidaksetujuan terhadap artikel-artikel
dalam koran Katolik, De Koerier, pada tahun 1913 Kerstens mengawali
majalah khusus dua-mingguan yang bernama De Nieuwe Tijd. Kemudian
Kanisius di Yogyakarta mencetak Poesari Dewi Maria (1926) yang kemudian
menjadi malajah bulanan dalam bahasa Jawa dari Konggregasi Maria dengan nama
baru Tamtama Dalem Dewi Maria (1928-1941), yang diterbitkan di Muntilan.
Tujuannya adalah memperdalam iman.
Mulai 1928 bulanan Veritas diterbitkan di Padang yang dengan daya
tahan yang besar mempertahankan ketertarikan pada sekolah-sekolah Katolik. Pada
1936 W. Dekkers MSC memulai dengan
bulanan apologetis, De Waarheid di Makasar. Kemudian Dr. G. Giezenaar
CICM meneruskannya dan mengedarkannya dalam skala yang besar di Sulawesi dan
seluruh Indonesia sampai
1942.
Pers
Protestan, media dan majalah-majalah 1910-1945
Dalam kalangan Protestan ada banyak majalah.
Sebagian besar bukanlah majalah-majalah nasional Indonesia ,
namun diterbitkan oleh kelompok misionaris regional, asosiasi misionaris, dan
sinode-sinode.[14]
Meskipun beberapa pengamat melihat Biang-Lala dan Tjahaja Sijang sebagai
koran-koran Kristiani, E. J. Hoogerwerf menyatakan bahwa orang-orang Protestan
tidak berhasil mempublikasikan koran dalam skala nasional berbahasa Belanda
pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II. Sebagaimana telah dibicarakan
sebelumnya bahwa publikasi-publikasi awal tidaklah seutuhnya membaktikan dirinya
pada doktrin Kristiani dan praksisnya.
Selama Konferensi kedua-puluh NIZB (Nederlandsch-Indische
Zendingbond, Netherlands-Indies Mission Union) 18-26 Agustus 1906, komisi
untuk distribusi bahan-bahan bacaan Kristiani di Jawa diajukan. Kelompok ini
pada tahun 1917 disebut “komisi untuk naskah misionaris”, untuk waktu yang lama
tidak aktif dan karena itu pada 1912 diorganisasi ulang sebagai “komisi
literatur NIZB”. Pada 1 Mei 1927 komisi
ini dilengkapi dengan kantor pusat untuk literatur. Menurut H. Kraemer, yang
menjadi ketua komisi sesudah kedatangannya di Jawa pada tahun 1922, ada
kebutuhan literatur yang bermacam-macam untuk kelompok yang berbeda.
Bagi orang-orang Kristiani dengan pendidikan sejarah
Kitab Suci yang baik dibutuhkan buku untuk memberikan gambaran tentang Kristus.
Di samping bahwa ikhtisar sejarah Gereja dengan menampilkan biografi-biografi
orang-orang kitab suci yang terkemuka dan periode-periode selanjutnya juga
dibutuhkan. Sedangkan, bagi orang-orang yang berpendidikan kitab suci yang
lebih rendah, kisah-kisah orang Jawa yang terkemuka tetap diperlukan. Bagi
mereka yang non-Kristiani, literatur yang bersifat polemik dan apologetis memang
dibutuhkan. Literatur ini bertujuan bukan untuk menyerang Islam, melainkan
untuk menunjukkan betapa orang-orang Kristiani mungkin dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pergulatan perbedaan pendapat.
Salah satu inisiatif dari Komisi literatur adalah
edisi Zaman Baroe (New Era) antara tahun 1926 dan 1931. Ini
merupakan tindak lanjut dari Bentara Hidup (The Indian Herald)
yang berakhir pada 1925 sebagaimana halnya yang terjadi pada Tjahaja Sijang.
Mingguan Zaman Baroe beredar di antara 2000 pembaca. Dalam
majalah-majalah terkemuka orang-orang Indonesia
dapat menulis bermacam-macam tulisan aktual perkembangan dalam Gereja dan masyarakat.
Mingguan tidak dapat dilanjutkan setelah 1931 karena lemahnya finansial dari
organisasai-organisasi misionaris. Namun ini bukanlah hanya majalah yang muncul
sekitar 1925. Di samping majalah-majalah berbahasa Belanda seperti De Banier dan Het Algemeen
Protestantsch Kerkblad, yang
nyaris tidak ada kontribusi dari penulis-penulis Indonesia .
Ada lebih dari
seratus majalah yang melayani umat Kristiani dalam bahasa Melayu, Jawa, Batak
atau bahasa-bahasa daerah lainnya. Proporsi majalah-najalah ini langsung
diarahkan kepada kelompok-kelompok tertentu, kaum muda, para wanita, dan
persatuan para guru atau hanya menyebar ke daerah-daerah lokal. Kebanyakan dari
majalah itu ditulis dan diedit oleh para misionaris. Di Jawa Tengah beberapa
dicetak dalam jumlah yang tinggi, misalnya Mardi Rahardja yang
mencapai puncak 80.000 kopi.
Majalah-majalah ini
merangsang orang-orang Kristiani Indonesia
untuk membagikan pemikiran-pemikiran mereka dan merumuskan ide-ide mereka
dengan jelas supaya mereka memperkaya kedewasaan berpikir. Untuk diskusi dengan
orang-orang Belanda dan dengan kaum elit di sekitar orang-orang Kristiani Indonesia yang berbicara dengan bahasa Belanda, De Opwekker dipakai dan terkadang Eltheto dan Rondom
ons Zendingsveld.[15]
Hanya sebelum
pendudukan Jepang (1942-1945) masih ada terbitan-terbitan baru seperti Theologische Stemmen (Theological
Voices) dari
Seminari Teologi di Jakarta yang muncul enam kali pada tahun 1941.
Pada bulan Desember 1940
majalah Semangat
Baru muncul dengan
isi yang sama dengan pendiri Zaman
Baroe. Majalah ini
bertujuan untuk menjadi suara dari orang-orang Kristiani Protestan di
Indonesia, tanpa afiliasi dengan partai Kristiani. Selama pendudukan Jepang hal
ini sangat sulit dan nyaris tidak
mungkin untuk menerbitkan majalah-majalah tetapi ada pengecualian bagi edisi
khusus Badan
Persiapan Persatoean Kaoem Kristen, Christmas.[16]
Pers, Media, dan Jurnal
Katolik 1945-1990
Setelah
zaman pendudukan Jepang (15 Agustus 1945) terdapat berbagai majalah Katolik,
tetapi tak satu pun majalah yang benar-benar (sepenuhnya) menggambarkan
identitas Katolik. Di Ende diterbitkan majalah Bentara (1946-1958) bersama majalah Anak Bentara dan Pandoe
Pendidikan (1946-1959). Di Yogyakarta, Kanisius menerbitkan majalah
mingguan Praba yang kemudian berganti
nama menjadi Peraba sebagai majalah
Keuskupan Agung Semarang, yang kemudian diikuti dengan penerbitan majalah Swara Tama, antara tahun 1949 dan 1972.
Kanisius juga menerbitkan majalah Basis
yang sejak 1951 mulai diterbitkan sebagai majalah bulanan oleh Prof. Dr. N.
Driyarkara SJ, L. Subiyat, dan G Vriens SJ. Sebagai majalah yang terbit dua
kali sebulan majalah budaya tertua di Indonesia
ini dipimpin oleh Pater G.P. Sindhunata, SJ sebagai kepala redaksi. Majalah Rohani mulai terbit pada 1954 sebagai
majalah bulanan bagi anggota tarekat atau biara. Majalah ini berisi tema-tema
tulisan yang berhubungan dengan iman, spiritualitas dan hidup membiara dalam
masyarakat dan realisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sejak 1975 mahasiswa
teologan Yesuit, dibantu oleh beberapa suster dan awam, bertanggungjawab
mengolah majalah ini, di bawah bimbingan seorang Pastor Yesuit yang
berpengalaman. Bagi para remaja, siswa SMP
diterbitkan majalah semangat (awalnya
bernama Spirit). Pada 1968-1973
diterbitkan majalah berwarna pertama kalinya, yang diterbitkan sampai 1974.
Majalah bulanan Trubus diterbitkan sejak 1969 oleh
organisasi sosial Tani Membangun,
majalah ini memberi informasi tentang pertanian dan perkebunan kepada para
petani; dan sejak 1975 majalah Utusan
yang diterbitkan sebagai majalah tentang hidup spiritual Komunitas Katolik yang
berisi berbagai artikel reflektif. Majalah Familia
yang baru-baru diterbitkan dengan tujuan pendewasaan iman Keluarga Kristiani.
Antara 1946 dan 1969 di Jakarta majalah terbit dua kali seminggu Penabur diterbitkan di bawah pimpinan
para Fransiskan. Majalah ini mendiskusikan banyak hal tentang permasalahan
sosial.
Majalah Katolik mingguan Hidup mulai diterbitkan pada 1946
awalnya bernama Kerkelijk Weekblad.
Pada 1948 namanya diganti menjadi Khatoliek
Leven dan sejak 1958 namanya diganti menjadi majalah Hidup. Yayasan majalah Hidup
di bawah tanggung jawab Keuskupan Agung Jakarta dan Uskup Agung Jakarta
memiliki hak dalam mengangkat anggota-anggota dewan direksi. Majalah ini
menyediakan informasi, memberi bahan refleksi dan bahan bacaan lain tentang
kehidupan komunitas Katolik di Indonesia dan di seluruh dunia. Sejak surat
perizinan untuk mengedit dan mempublikasikan majalah dihapuskan oleh pemerintah
pada 1998 sebuah majalah Katolik baru, Sabda, muncul untuk melawan
majalah-majalah Islam fanatik seperti Sabili. Pada awalnya majalah ini
diterbitkan setiap minggu, setelah itu diterbitkan tidak teratur, dan sebagian
besar didistribusikan secara gratis pada hari Minggu di pintu gereja.
Konferensi
Wali Gereja (KWI) memiliki beberapa divisi. Sebagian besar di antara mereka
memiliki majalahnya masing-masing. KWI menerbitkan majalah bersama bernama Spektrum sejak 1971. Selain itu sebagian
besar keuskupan dan beberapa paroki di Indonesia
juga memiliki majalah terbitan sendiri dengan peredaran, jumlah halaman, dan
frekuensi terbitan yang sangat bervariasi.[17]
Majalah
dan Jurnal Protestan 1945-1990
Setelah
zaman pendudukan Jepang hanya terdapat beberapa majalah Kristiani berbahasa Indonesia dan lokal secara berkelanjutan dapat
diterbitkan. Salah satu yang paling dikenal adalah majalah Immanuel milik HKBP (Gereja Batak) yang diterbitkan sejak 1890.
Majalah berbahasa Belanda De Zaaier
(penabur) diterbitkan pada 1923, kemudian diterbitkan lagi pada 1945 sampai
1957. Pada 1946 konferensi misionaris meminta sebuah majalah yang mulai diterbitkan
sebagai majalah Pedoman Goeroe dan pada 1949 melanjutkan
penerbitan dengan mengganti nama majalah dengan nama Pedoman Masjarakat Kristen, tetapi hal tersebut tidak berhasil.
Pada 1945 majalah Pedoman dari Partai
Kristen Indonesia diterbitkan. B. Probowinoto menjadi editor dari beberapa
majalah seperti Warta Salam dan Sadulur (yang kemudian berganti nama
jadi Sabda Rahaya) dalam bahasa Jawa
dan majalah Richtlijn dalam bahasa
Belanda. Beberapa divisi Dewan Gereja Indonesia
(DGI/DPI) memiliki majalah terbitan sendiri. Sejak 1952 terdapat majalah Berita D.G.I. (majalah Dewan Gereja Indonesia ).
Majalah paling penting dari DGI/DPI adalah jurnal ilmiah Peninjau, yang diterbitkan dari 1974 sampai 1995.
Sejumlah
fakultas teologi dan seminari Katolik dan Protestan memiliki majalah sekolahnya
sendiri. Sebagai contoh majalah bulanan Panjadar,
Madjalah Theologia yang diterbitkan sejak 1954 di Jawa Tengah yang
sepenuhnya berisi tulisan dari para guru seminari Duta Wacana.
Penerbit
Kanisius Katolik, BPK Gunung Mulia Protestan, dan penerbit-penerbit lain
Pada
abad XIX para misionaris mulai menerbitkan di beberapa daerah di Indonesia dan ke dalam beberapa bahasa lokal
Doktrin Gereja dalam bentuk katekismus, buku doa dan liturgi, dan beberapa
bagian tulisan Kitab Suci. Tujuannya untuk mendukung tugas misi Gereja Katolik.
Salah satu kegiatan misi yang sangat penting adalah karya pendidikan, dan
penerbitan yang secara berkelanjutan terhadap buku yang dibutuhkan bagi
pendidikan sekolah dasar dan lanjutan.
Kanisius di Yogyakarta secara nyata
mulai menjadi Yayasan sekolah Katolik pada 1918.[18]
Pada 1987 yayasan ini memanajemen 87 Taman Kanak-kanak, 157 Sekolah Dasar, 38
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan 8 Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas di Keuskupan Agung Semarang . Sejak 26 Januari 1922 yayasan ini
juga mengatur rumah penerbitan dan percetakan. Mereka telah menerbitkan
berbagai macam buku doa, buku kursus religius, buku sekolah, dan buku-buku
teologi. Sejak 1954 yayasan ini juga mengoperasikan pabrik kayu sebagai tempat
pelatihan bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan untuk Industri Kayu di Semarang.
Sejarah
Perkembangan Kanisius dapat dibagi menjadi tiga periode yang berbasis pada
pertanggungjawaban operasional manjemen. Pertama, praktik operasional
manajemen penerbit dan percetakaan Kanisius antara tahun 1922 dan 1966 yang di
bawah kontrol Bruderan FIC bersama
beberapa awam (Menejer Umum: 1922-1927 Br. Bellinus FIC ,
1928-1933 Br. Bertinus FIC ,
1933-1942 dan 1949-1965 Br. Baldewinus FIC ).
Kedua, antara 1967 dan 1993 Kanisius di bawah kontrol pastor-pastor
Yesuit dan beberapa awam (menejer umum: J. Lampe SJ). Ketiga, setelah
1993 seluruh pertanggungjawaban praktik operasional manajemen Kanisius dipegang
awam (manejer umum: E. Surono). Dilihat dari sudut pandang Katolik dalam tubuh
Kanisius terdapat dobel proses peralihan kepemimpinan: Pengindonesiasian, karena semua manejer umum sebelum E. Surono
adalah orang-orang bukan warga negara Indonesia ,
dan transformasi tanggungjawab dari kaum religius ke awam.
Penerbit
Nusa Indah di Ende, dijalankan oleh
Provinsi Serikat Sabda Allah (SVD) Indonesia, dan mengikuti tradisi SVD dalam
pelayanan Gereja dan masyarakat dengan media massa, dan sejak 1875 ditetapkan
berada di bawah yayasan SVD oleh Arnoldus Janssen. Pusat publikasi di Ende saat
ini terdiri atas percetakan Arnoldus (sejak 1926), toko buku Nusa Indah (sejak 1956), dan penerbit Nusa Indah, dimulai sejak 1970. Visi
awal dari formasi media massa
ini adalah membangun kemanusiaan yang baik melalui pendidikan keimanan. Visi
ini memberi bentuk nyata dalam penerbitan buku-buku dan majalah religius
sebagai penuntun bagi doa dan sebagai sarana pendidikan iman Katolik; juga
diterbitkan beberapa buku, majalah, dan koran untuk mendukung proses
pembangunan masyarakat. Realisasi strategi ini sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor eksternal: finansial, ketertarikan masyarakat dalam membaca buku, dan
daya beli masyarakat. Nusa Indah
merupakan anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Beberapa penerbit awalnya
memberi subsidi pada Nusa Indah pada
1970 sampai 1985 untuk membantu pelayanan terhadap masyarakat. Pada periode
ini, dengan diterbitkan buku seperti buku “Bapa Kami”, terjemahan Kitab suci
dan beberapa buku non-religius
lainnya, Nusa Indah memiliki pengaruh
yang sangat besar di seluruh Indonesia. Nusa
Indah menerbitkan sekitar 32 judul buku baru tiap tahun. Kemiskinan dan
rendahnya tingkat melek huruf membuat minat baca dan pembelian buku sangat
rendah. Walaupun setelah tahun 1986 Direktur Hendri Daros SVD, dan Wakil
Direktur, Frans Ndoi SVD, mulai melakukan proses penerbitan secara modern, Nusa Indah tetap mengalami krisis,
karena tidak tersedianya dana subsidi dan banyak terjadi bencana alam, sehingga
pada periode 2002 ke atas hanya terdapat rata-rata 10 judul publikasi yang
diterbitkan tiap tahun. Tetapi Nusa Indah
tetap berkomitmen untuk melayani masyarakat dan menjadi rekan dalam usaha
peningkatan kualitas.
Pada
1951 beberapa penerbit Katolik Belanda dan para misionaris dari empat ordo
mendirikan penerbit Obor. Penerbit
ini mengambil alih toko buku Glorieux,
yang didirikan pada 1949 oleh Bruderan Budi Mulia (BM), di jalan Gunung Sahari,
Jakarta. Awalnya Obor bertujuan untuk
menerbitkan, mengimpor, dan mendistribusikan buku tentang dokumen Katolik dalam
bentuk buku sekolah, khususnya untuk sekolah-sekolah di luar pulau Jawa. Sejak
1957 yayasan Ekapraya yang didirikan
oleh Yesuit, SVD, dan 4 Vikaris Apostolik menjadi pemilik penerbit dan toko
buku Obor. Sejak 1960-an Obor
mengurangi kegiatan penerbitannya. Untuk memperkuat arah dasar firma Obor
dilakukan pengalihan terhadap KWI pada 1979 dan penerbitan (khususnya dokumen
KWI dan Dokumen katolik lainnya), toko buku, pendistribusian buku-buku dan
artikel devosional ditingkatkan lagi. Sejak 1970 yayasan Cipta Loka Caraka melanjutkan kerja Konggregasi Maria 1936.
Kegiatan ini berganti nama pada 1967 menjadi Komunitas Hidup Kristiani (CLC ). Staff dari CLC
dikepalai oleh pastor Yesuit, Adolf Heuken, yang menulis, menerjemahkan,
menerbitkan dan medistribusikan brosur dan buku, yang berisi informasi bagi
komunitas Katolik tentang Gereja beserta dokumennya, materi untuk pendidikan
iman dan bagi kerasulan awam.
Dioma (singkatan dari Diosesan Malang)
adalah salah satu Penerbit Katolik yang sejak 1987 telah menerbitkan seri buku
religius berjudul ‘Karmelitana’. Ini
adalah buku tentang kerasulan awam dan berisi pertanyaan-pertanyaan penting
menyangkut karya pastoral. Buku ini dicetak dalam jumlah yang terbatas.
Seperti
yang telah ditulis di atas, sebagian besar organisasi misionaris Protestan
memiliki penerbitannya sendiri. Bersama dengan bertumbuhnya nasionalisme di Indonesia sebelum 1942, beberapa kelompok
Protestan mengembangkan keinginan untuk menjadi lebih koorporatif. Selama zaman
pendudukan Jepang sebagian besar orang Belanda, termasuk pendeta Protestan
bertemu satu sama lain dan merencanakan kerja sama. Setelah zaman pendudukan
Jepang beberapa di antaranya secara langsung mengakui kemerdekaan Indonesia dan dalam Gereja-gereja dimulai proses
kerjasama Ekumene, dengan harapan bahwa hal ini dapat memberi pengaruh terhadap
penerbitan Gereja-gereja. Sebelum zaman pendudukan Jepang sebagian besar
penerbit dari organisasi misi dan gereja-gereja menerbitkan majalah dalam
bahasa Melayu, Belanda, atau dalam bahasa daerah setempat. Pada 1946
gereja-gereja secara bersama merasa perlu memulai penerbitan dalam bahasa Indonesia . Pada oktober 1946 (tidak diketahui
secara pasti tanggalnya, tetapi kemudian dinyatakan menjadi 31 Oktober
dirayakan hari Reformasi). Sebuah komisi sementara bagi literatur gereja-gereja
dan organisasi misi terbentuk. Inilah yang menjadi cikal-bakal BPK Gunung
Mulia, dan menjadi organisasi legal pada 31 Agustus 1951.
Orang yang
paling berpengaruh dalam pembentukan BPK adalah Dr. J. Verkuyl. Komisi ini
didukung oleh Indische Kerk atau
Partai Gereja Protestan ‘Putih’ di Hindia Belanda, Gereja Reformasi lainnya,
YMCA, Organisasi misionaris, dan beberapa tokoh Kristiani Indonesia terkemuka
di antaranya Dr. J. Leimena, A.M. Tambunan, Pendeta B. Probowinoto dan Pendeta
W.J. Rumambi. Sejak awal untuk menyukseskan kerjasama dalam melayani
masyarakat, secara khusus terhadap Gereja dan komunitas Kristen di seluruh Indonesia yakni, menyediakan buku-buku yang
diterbitkan dalam bahasa Indonesia .
Ketika DGI didirikan pada Mei 1950, BPK menjadi badan dari DGI. Pemimpin
pertama dari DGI adalah Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia. Ia menjadi seorang
tokoh yang sangat berpengaruh dalam BPK dan karenanya sejak 1971 namanya
diasosiasikan dengan BPK, sehingga perusahaan itu berganti nama menjadi BPK
Gunung Mulia.
BPK
sebagai sebagai badan dari DGI juga didirikan sebagai lembaga resmi dengan tiga
tugas utama, yaitu: pertama, meningkatkan produksi literatur Kristiani ke dalam
bahasa Indonesia ; kedua,
menerbitkan bacaan-bacaan Kristiani; dan ketiga, mendistribusikan literatur-literatur
Kristiani. Karena situasi politik dan ekonomi di Indonesia, pada 1949 komisi
sementara mampu menerbitkan paling banyak 25 buku tiap tahun, sebagian besar
buku-buku tersebut berupa buku kecil (brosur). Sejak 1950 jumlah dan kualitas
buku yang diterbitkan meningkat. Sebagai hasilnya terdapat 17 kategori atau
seri buku dan rata-rata jumlah copy-an
tiap buku diterbitkan antara 5.000-10.000 eksemplar. Pada mulanya sebagian buku
ditulis dalam bahasa-bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia . Namun di antara para penulis asing
buku tersebut terdapat seorang penulis Indonesia
seorang teolog yakni Dr. J.L.Ch.
Abineno. Sampai ia meninggal dunia pada 22 Januari 1995 lebih dari 70 buku yang
ditulisnya diterbitkan oleh BPK. Para penulis Indonesia yang kemudian mengikuti
jejaknya adalah O. Notohamidjojo, R. Soedarmo, W.B. Sidjabat, T.B. Simatupang,
Eka Darmaputera, dan Andar Ismail. BPK mencoba melayani, tulisan-tulisan lain
dari seminari-seminari dan Perguruan Tinggi Teologi, Gereja-gereja, relasi
inter-religius, Universitas, sekolah-sekolah, dan organisasi-organisasi
professional.
Karakteristik
lain dari BPK GM adalah membangun kerjasama dengan beberapa institusi, yang
memperkuat identitas ekumenis dan
internasional BPK. Segera setelah Perang Dunia II di Asia, BPK berpartisipasi
dalam beberapa pertemuan ekumene di Asia dan
secara Khusus di Asia Tenggara. BPK juga menerbitkan beberapa buku yang ditulis
oleh teolog-teolog Asia di antaranya V.S.
Azariah, Choan Seng Song, R.S. Sugirtharajah, dan Tissa Balasuriya. Di level
global mereka berpartisipasi dalam Pengembangan Literatur Kristiani dan sejak
1975 tergabung dalam Asosiasi Dunia bagi Komunitas Kristiani (WACC).
Sejak
1970 Kanisius menjadi rekan kerja BPK dalam menerbitkan buku secara bersama dan
keduannya berpartisipasi dalam WACC. Sejak 1970 strategi kerjasama yang
dibangun adalah menerbitkan dalam bahasa Indonesia majalah Roma terpopuler The Upper Room, dari Nashville, Amerika,
dengan judul Saat Teduh (A Quiet
Time). Setelah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Spanyol, edisi dalam bahasa
Indonesia adalah salah satu edisi terbesar mereka. BPK membangun kerja sama
lebih jauh dengan Dewan Kerjasama Gereja dalam Misi Dunia dari Gereja Lutheran
Australia, penerbitan Lutheran ada di Adelaide, Australia Selatan, Bina Kasih (Persahabatan Misionaris Luar
Negeri, yang didirikan pada 1995 dan bertempat di Indonesia), dan beberapa
Gereja dan misi di Eropa, secara khusus di Belanda.
BPK
GM juga mulai menerbitkan buku-buku aktual tentang perkembangan Indonesia , mulai dari perhatian terhadap keempat
permasalahan teologis: Pluralisme, Kekerasan, Gender, dan Ilmu pengetahuan dan
Agama. Penerbitan buku-buku ini membantu Gereja-gereja mampu menangani isu-isu
sehari-hari. Oleh karena topik-topik ini juga diterbitkan oleh Agama-agama
lain, mereka secara intensif membangun kerjasama antara BPK GM dengan
institusi-institusi dari agama lain. Sebagai contoh pada 10 April 2002 Memorandum
of Understanding (MOU) antara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
di Jakarta dan BPK GM ditandatangani bersama. Tindak lanjut dari surat pernyataan tersebut
adalah dengan membangun kerjasama dalam menerbitkan buku-buku dan
artikel-artikel khusus tentang pluralisme agama dan kerjasama membangun
kemanusiaan.
Kerjasama
Ekumenis selanjutnya: Kokosia
Pada tanggal 1 Agustus 1978, menteri agama Indonesia
mengeluarkan sebuah aturanbagi agama-agama dalam mempropagandakan agamanya,
yang mana pada tanggal 2 Januari 1979 menjadi sebuah keputusan bersama antara
menteri agama dan menteri dalam negeri. Keputusan ini berbicara tentang
propaganda agama-agama dan bantuan luar negeri bagi organisasi-organisasi agama
di Indonesia . Salah satu
keputusannya adalah melarang agama-agama untuk mempropagandakan agamanya kepada
orang atau kelompok yang telah memeluk agama lain dengan cara sebagai berikut:
menyebarkan pamflet, majalah, buletin, buku, dan barang-barang lainnya yang
berkaitan dengan penyebaran agama. Menanggapi keputusan ini, orang-orang
Kristen mulai memikirkan cara lain dalam menghadapi situasi seperti ini.
Dua minggu setelah keputusan
tersebut dikeluarkan, orang Kristen mulai membentuk suatu kelompok untuk
membahas masalah ini. Maka, pada tanggal 22-25 Agustus 1978, diadakanlah sebuah
pertemuan yang dinamakan Kokosia[19]
atau Koordinasi Komunikasi Kristen Indonesia yang diselenggarakan di
Seminari Baptis Teologi di Semarang. Tujuan pertemuan ini sebagaimana yang
dirumuskan oleh M. S. Anwariyakni sebagai berikut: “untuk menciptakan
kemungkinan bahwa orang-orang Kristen di Indonesia dapat bersatu, berdoa,
belajar dan berbagi pengalaman bersama di tempat pelayanan.” Hal ini dilakukan
dengan harapan bahwa semoga dengan pertemuan ini setiap orang saling mengenal
satu sama lain dengan baik sehingga hubungan di antara mereka pun bisa menjadi
lebih dekat dan harmonis. Bersama dengan anggota dari denominasi Kristen,
Kokosia menjadi suatu perhimpunan yang sungguh-sungguh nyata karena memberi
perhatian khusus kepada pelayanan, bukan hanya bagi orang Kristen saja
melainkan juga bagi masyarakat termasuk negara dan orang banyak.
Dalam
pertemuan pertama, Kokosia lebih bersifat eksklusif: mereka merefleksikan
tentang kemungkinan-kemungkinan bagaimana Sabda Allah dapat dibagikan dan
bagaimana Gereja dan media Kristen dapat menyebarkan Injil. Pertemuan kedua
terjadi di Batu, Malang ,
22-27 Februari 1980. Pertemuan ketiga diadakan di Jakarta pada 7-10 September 1982. Dalam
pertemuan ini mereka, tidak hanya merubah nama Konsultasi menjadi Koordinasi,
tetapi tujuannya pun dirumuskan kembali. Topik utama dari pertemuan yang ketiga
ini adalah pembentukan lembaga koordinasi. Dalam pertemuan tersebut alat
penyebaran Injil dibagi dalam tiga kelompok: media cetak, media elektronik dan
kelompok. Hasil dari diskusi tentang tiga pengelompokkan ini dibahas oleh sebuah
tim yang terdiri dari tiga orang: Ir. Samuel (YASKI), Y. B. Priyanahadi
(Kanisius) dan Harry Nugroho (Yakoma), yang membuat konsep akhirnya. Hasilnya
adalah sebagai berikut: nama konstitusi koordinasi tetap sama, Kokosia, tetapi
singkatannya menjadi Koordinasi Komunikasi Kristen Indonesia yang sebelumnya
adalah Konsultasi Komunikasi Kristen Indonesia. Lembaga ini mempunyai tugas
untuk merangkum semua aspirasi pada saat pertemuan, merealisasikan program
bersama (keputusan bersama) dan membuat laporan dalam pertemuan berikutnya.
Kokosia yang keempat diadakan di
Jogyakarta, pada 6-9 september 1986. Dalam pertemuan ini dirumuskan dan
diterbitkan undang-undang dan peraturan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 75
peserta dari 45 lembaga komunikasi. Di sana
juga terjadi pameran produk-produk oleh komunikator Kristen Indonesia dan juga
beberapa kelompok komunikasi lainnya seperti vokal grup, teater dan seni musik.
Pameran-pameran serta pementasan vokal grup, teater dan seni musik dilakukan
sebagai salah satu usaha mewartakan kabar gembira.
Dengan antusias dan tema yang sama,
maka diadakanlah pertemuan Kokosia yang kelima di wisma pratista, Bandung pada tanggal 2-5
september 1986. Kali ini ada 99 peserta dari 52 lembaga komunikasi. Ada beberapa pertunjukan
seni tradisional Kristen dan musik Kristen untuk orang-orang muda (Jazz dan
kelompok vocal). Hasil pertemuan yang kelima ini kurang lebih sama dengan
pertemuan yang keempat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dua pertemuan pertama
Kokosia lebih berbicara tentang tugas pewartaan bagi para penginjil. Dalam
pertemuan yang ketiga poin utamanya diubah lagi lebih ke arah bagaimana berkomunikasi
dengan cara yang lebih baik dan bagaimana
para komunikator Kristen dapat belajar satu sama lain untuk memberikan kontribusinya
bagi perkembangan Kerajaan Allah di dalam masyarakat Indonesia .
Dengan kata lain, para komunikator Kristen dapat memberikan sumbangannya bagi perkembangan
Negara.
Kompas-Gramedia,
Sinar Harapan
Dalam
bidang pers dan media di Indonesia ,
orang-orang Kristen juga memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat secara
keseluruhan. Kompas didirikan pada tanggal 28 juni 1965. Para pendiri Kompas ini adalah Jakob Oetama dan P. K.
Ojong. Partai Katolik, yang pada saat itu diketuai oleh I. J. Kasimo dan FransSeda
turut menunjang berdirinya Kompas. Pada awalnya nama dari surat kabar ini
adalah People’s Herald (Bentara Rakyat),
sebagai tanggapan bagi para komunis yang juga mempunyai surat kabar bernama
People’s Daily (HarianRakyat), tetapi
presiden Soekarno sendiri menyarankan agar memberi nama Kompas bagi surat
kabar tersebut. Alasannya karena menurutnya nama tersebut mau memberi arah kepada
bangsa Indonesia yang sedang
berada dalam masa-masa sulit. Kompas mempunyai perhatian dan harapan bagi
seluruh masyarakat Indonesia.Oleh karena itu, mereka memberi judul kecil di bawah
kompas, yakni Amanat Hati nurani
Rakyat. Oleh karena P. K. Ojong telah mempunyai begitu banyak pengalaman dalam
bidang tulis-menulis, khususnya dalam surat
kabar, maka ia menjadi manajer Kompas. Sedangkan, Jakob Oetama, yang
pada saat itu mengajar di sekolah dan editor dari majalah sosial Katolik Penabur,
diangkat menjadi editor umum. Setelah P. K. Ojong meninggal pada tanggal 31 Mei
1980, Jakob Oetama menggantikan posisinya sebagai manajer Kompas-Gramedia.
Kompas
adalah surat kabar
masyarakat pertama yang berasal dari Katolik. Kompas terbit bukan untuk memberikan
berita-berita Katolik, melainkan memberikan sumbangan bagi perkembangan masyarakat
Indonesia . Kompas menjadi
cermin pluralitas masyarakat Indonesia ,
yang mottonya adalah: Bhineka Tunggal Ika. Para karyawan Kompas, terdiri
dari beragam agama, ras dan budaya di Indonesia .
Filosofi Kompas sebagaimana yang dikembangkan oleh Dr. Jakob Oetama dapat
digambarkan dalam tiga hal: humanisme transendental, terjemahan filsafat pancasila
bagi masyarakat Indonesia
dan Kompas sebagai forum untuk berdialog. Filosofi Kompas ini,
dimulai oleh Katolik dan hal ini memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan
masyarakat Indonesia dalam arah
demokratis dan masyarakat humanitarian.
Sinar
Harapan muncul pertama kali sebagai sebuah surat kabar petang pada tanggal 27 April 1961
di bawah tanggungjawab PT. Sinar Kasih. Motto Sinar Harapan adalah berjuang
demi kebebasan, keadilan dan perdamaian dengan dasar cinta kasih. Pada awalnya,
Sinar Harapan bergabung dengan Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) dan pada
tahun-tahun awal Sinar Harapan menjadi saluran suara orang-orang
Kristen. Namun demikian, oleh karena ikatan gereja dengan partai ini mulai menurun,
maka Sinar Harapan melepaskan diri dan berkembang menjadi sebuah surat kabar umum. Latar belakang
kekristenannya tidak tampak dengan jelas, namun masih ada unsur kekristenannya di
mana dalam majalah tersebut terdapat kolom meditasi mingguan yang sering digunakan
oleh para pendeta Indonesia .
Oleh karena pengolahan surat kabar tersebut berada di bawah tanggungjawab
orang-orang Kristen di Sumatera Utara (Batak) dan Sulawesi Utara (Manado), maka
mereka sangat berani untuk menulis secara tegas, membuat artikel-artikel yang
keras dan kadang-kadang isu-isu politik yang kontroversial. Oleh karena gaya pengkritikan
yang sangat keras ini maka surat kabar tersebut dilarang oleh pihak yang
berwenang pada tahun 1965, 1973 dan 1978 dan akhirnya dilarang
secara total pada tanggal 8 oktober 1986.
Empat bulan setelah Sinar Harapan
diberhentikan, PT. Sinar Kasih memulai sebuah sesi baru dengan menerbitkan Suara
Pembaruan yang merupakan revisi dari Sinar Harapan. Motto dari Suara
Pembaruan adalah berjuang bagi semua orang demi perkembangan nasional di bawah
dasar Pancasila. Pada tahun 1991 Suara Pembaruan menjadi surat kabar keempat yang
banyak terjual. Bagaimanapun juga, orang-orang Kristen telah begitu banyak memberikan
sumbangannya bagi Negara Indonesia .
Surat-surat kabar ini merupakan salah satu contoh kontribusi orang Kristen
dalam memberikan sumbangan terbesar melalui informasi-informasinya tentang bagaimana
Negara Indonesia harus berkembang.
Penutup
Pada
bagian akhir tulisan ini, kita perlu mengajukan pertanyaan demikian: siapa saja
yang terlibat atau seharusnya terlibat dalam usaha untuk menghidupkan dan
mengejawantahkan nilai-nilai luhur
Kristianitas? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan masyarakat Indonesia yang beragam. Dengan demikian, upaya
menghidupkan nilai-nilai Kristinitas di tengah masyarakat yang majemuk ini
tidak bisa disangkal begitu saja.
Para
misionaris telah memberikan teladan bagaimana mereka memberikan dirinya bagi
pemberdayaan manusia di bumi Indonesia
ini melalui publikasi-publikasi. Mereka hadir, bekerja, dan melayani banyak
orang hingga ke daerah-daerah terpencil. Semangat pelayanan dalam diri para
misionaris patut kita batinkan dan kita wujudnyatakan dalam tindakan berpikir
kritis dan menulis. Sebab dari menulis kita belajar bagaimana menata gagasan-gagasan
kita dan memperjuangkan ideologi kita. Dalam hal ini, pemberdayaan manusia
menjadi titik fokus bersama yang perlu diperhatikan terus-menerus. Bagaimana
mungkin kita memberdayakan sesama kita jika kita sendiri dari sekarang tidak
melatih membaca dan menulis?
Dari para misionaris kita belajar
bahwa pendidikan menjadi salah satu jalan terbaik bagi pewartaan iman dan pemberdayaan manusia. Menutup
tulisan ini, kiranya patut kita renungkan ungkapan khas Jakob Oetama: ”Kalau
kita menghadapi tembok, jangan ditabrak, melainkan harus jalan menyamping untuk
untuk mencari celah”.
Daftar
Pustaka
Aritonang, Sihar Jan dan Karel
Steenbrink (ed.) A History of Christianity in Indonesia .
Leiden :
Koninklijke Brill NV, 2008.
Maryono, R, dkk. Yayasan
Kanisius Setelah 75 Tahun. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Disusun oleh:
- Benediktus Nama
Koro Kaha (0203203210)
- Fransiskus
Kristino Mari Asisi (0207610110)
- Vian Budiarto
(0205203210)
- Yanuarius Yeremias
Parung (0206403210)
[1] (Pada
1624, orang-orang Gereja membeli sebuah mesin
cetak dario Belanda, tetapi keberadaan mesin ini belum sepenuhnya membantu
Gereja dan pemerintah kolonial dalam melaksanakan tugas mereka. Jan Sinar
Aritonang dan Karel Steenbrink(Ed), A
History of Christianity in Indonesia, Leiden : Koninklijke Brill NV: 2008, hlm. 951).
[2] ( Pada 1819, sebuah
mesin cetak tiba di kepulauan Maluku. Ibid.,
hlm, 951).
[3] (Antara 1823-1842,
percertakan ini menjadi paling produktif, karena manerbitkan sekitar 189,294 berbagai tulisan yang terdiri dari
renungan, bagian tertentu dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kamus Cina-Bahasa Inggirs, dan beberapa
pamflet yang tidak bercorak religius. Ibid.,
hlm. 952-953)
[4] Surat kabar pertama
yang menggunakan bahasa melayu di Indonesia, Soerat Kabar bahasa melaijoe yang diterbitkan pada 5 Januari 1856
di Surabaya oleh seorang Belanda, E. Fuhri. Ibid., 953.
[5] Dengan dibukanya
jaringan telegram pada 1856 dan dimulainya pengiriman yang lebih modern,
diikuti oleh pembukaan jalur kereta api
pada 1867, secara tidak langsung telah mendukung perkembangan pers.
Pemerintahan kolonial juga menerbitkan UU Pers. Ibid., hlm.954.
[6] (Pada 1867 John
Muhleisen Arnold, seorang pendeta Anglikan di Parapatan (Batavia ) mengawali sebuah koran misioner
mingguan bernama Bialng Lala. Ibid., hlm.
954)
[7] (Surat kabar Kristiani yang
kedua adalah Tjahaja Sijang,
diterbitkan di Minahasa menjelng akhir 1868 dan diberi nama Kertas Chabar Minahasa. Surat kabar ini
diprakarsai oleh Nicholaas, seorang misionaris dari NedherlandsGgenootschap, dan diterbitkan oleh H. Bettink. Ibid., hlm. 955.)
[8] (dua tahun kemudian,
sebuah surat kabar saingan Pewarta manado
diterbitkan tetapi karena Tjahaja
Sijang bertahan lebih lama karena mendapat dukungan dari Gereja dan harga
jualnya lebih rendah. Ibid., hlm.956).
[9]( Tjahaja Sijang lebih terbuka dalam mengkritik orang-orang Muslim,
misalnya dengan menerbitkan berita yang mempermalukan agama Islam an nabi
Muhhamad. Ib id., hlm. 956).
[10] Majalah
Immanuel untuk pertama kalinya diterbitkan pada 1 Januari 1890. J.h. Meerwaldt,
dan seorang guru dari seminari Pansur Napitu, yang telah menjadi editor,
mendirikan mejalah ini. Ibid., hlm.
957
[12] Van Aernsbergen
1934:164-165. Otterspeer 1995:148-149. Steenbrink 2003-I:42-44.
[13] Lihat G. Vriens:
Muskens 1972-II:175-176; M. Stigter in: Muskens 1974-IIIa:471.
[14] Sebagian
besar judul-judul majalah misionaris
Protestan berbahasa Belanda tentang Indonesia dari abad 19 dan 20 dapat
ditemukan di dalam Jan A. B. Jongeneel 1990. A. G. Hoekema 1994:341-350 membaut
daftar majalah Kristiani dalam bahasa Indonesia di atas 1960. Lihat juga: Van
Randwijck 1981: 461-464, 716-721.
[15] Hoekema 1994:
105-106.
[16] Hoekema 1994: 165.
Bdk. Jan S. Aritonang 2004:226.
[18] Yayasan
Kanisius merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa. Didirikan di Muntilan
pada tahun 1918 sebagai “Canisius Vereniging”, yang berarti Perkumpulan
Kanisius. Selanjutnya, pada tahun 1927 karena alasan-alasan praktis diubah
statusnya menjadi “Canisius Stichting”, yang berarti Yayasan Kanisius. Lihat R.
Maryono, Sj, dkk. Yayasan Kanisius setelah 75 Tahun. (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm. 13
[19]Kokosia adalah singkatan
dari KOnsultasi KOmunikasi KriSten IndonesiA, yang kemudian diubah pada pertemuan
Kokosia yang ketiga menjadi KOrdinasi KOmunikasi kriSten IndonesiA .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar